Pada acara Pesta Danau Toba (Lake Toba Festival) XV di Parapat pada 22-25 Juni 1995 silam, kontingen seni-budaya daerah Batak Karo mendapat kehormatan untuk tampil pertama dengan atraksi seni drama dan tari (Sendratari), usai acara seremoni tari massal Batak Simalungun pada sesi pembukaan oleh Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar.
Sendratari Karo itu disajikan secara teaterik oleh Drs Henry Bangun dengan grup Ikatan Seniman Karo Indonesia (ISEKIN) yang dibentuknya pada 1984 di sela-sela tugasnya sebagai staf (PNS) di Kantor Departemen Penerangan (Kandeppen) Kabupaten Karo. Sekilas info, penulis juga sempat bergabung dalam satu grup-forum kesenian dan wisata bentukan ISEKIN bersama Radio Budaya Karo (RBK) Kabanjahe pimpinan Andri Yansen alias 'Didiet Pranata' Bangun. Pembinanya langsung kepala Kandeppen Karo, ketika itu Drs Djakira Damanik dan kemudian Drs Rahdian Joehli.
Durasi satu jam lebih di pentas terbuka (open stage) kota turis Parapat, Henry Bangun langsung sebagai instruktur prolog babak demi babak sendratrari ISEKINdi hadapan kerumunan warga pengunjung PDT XV itu, pada 22 Juni 1995 mulai pukul 20.10 WIB. Para 'artis'nya tampil beragam sesuai peran lakonnya. Ada yang berbusana tradisional Karo untuk tampilan tari dan lagu daerah, ada yang pakai paju pendekar untuk atraksi 'Ndikkar' (bela diri khas Karo, mirip Mossak di Toba), ada yang pakai baju pengantin adat dan ada yang berpakaian bebas layaknya orang awam sehari-hari di pasar atau kampung.
Asal Muasal Nama Desa dan Benda
Babak pertama yang disajikan Henry Bangun ketika itu adalah adegan sekelompok warga yang melintas di satu desa, yang kini dikenal dengan nama Sembahe. Tiba-tiba muncul seorang tua dengan suara membahana (diperankan langsung oleh Henry), dengan seruan: Sembah e... (bahasa daerah Karo, artinya: Ayo, sembah itu. Ceritanya, kewajiban menyembah itu harus dilakukan siapa saja yang melintas di tempat yang terdapat gua keramat di bagian atas Desa Sembahe. Namanya Gua Kemang, tempat hunian mahluk 'Orang Umang' yang konon merupakan sosok nenek moyang orang Karo. Gua Kemang itu kini masih ada sebagai objek wisata lokal, namun pengunjungnya belum pernah sebanyak turis yang selalu ramai mandi-mandi di sungai sepanjang kiri-kanan jembatan Sembahe, pada jalur Medan-Berastagi.
"Seruan atau perintah 'sembah e...' itulah yang menjadi muasal nama desa Sembahe (Kecamatan Sibolangit) itu. Demikian juga nama Desa Sibolangit dan Binjei (kota), juga ada ceritanya, terlepas dari anggapan apakah itu hanya dongeng atau legenda. Tapi yang jelas, asal muasal nama desa atau beberapa benda di Karo itu punya cerita historik-kulturik sebagai cerita rakyat yang terpustaka secara turun temurun, walaupun kelak banyak pihak yang kemudian akan mengabaikannya," ujar Henry Bangun ketika itu, disaksikan Drs Pontas Pardede, Ketua Panitia PDT 1995 dan Arapen Sembiring, Kepala Cabang Natrabu Travel di Medan, juga salah satu panitia.
Masih dalam satu sesi episode, Henry Bangun kemudian menampilkan adegan satu keluarga yang tampak kebingungan dalam satu perjalanan melintasi satu desa. Merasa dan yakin cuaca masih siang, tiba-tiba tampak situasi sekitar seperti gelap, temaram atau remang tanpa ada tanda-tanda mendung. Mereka langsung bilang: kuga maka 'ben i jei'? (kok tiba-tiba gelap di sini?) Ben, bahasa Karo, artinya gelap temaram (belum sampai gelap gulita). I je, atau i jei artinya di sini
Sebutan ben i jei yang berulang, menurut Henry, lambat laun menjadi kata benjei, dan itulah yang kini baku dipakai untuk sebutan nama Kota Binjei sekarang. Alkisah, Kota Binjei sekarang dulunya adalah kawasan hutan rimbun bagian dari perhutanan Leuser dengan pepohonam tinggi-rindang yang teduh asri sehingga sering menghalangi sinar matahari. Areal sekitar jadi tampak seperti senja walau masih siang.
Demikian juga dengan nama Desa Sibolangit, yang ditampilkan Henry dengan adegan sekelompok warga yang tiba-tiba tutup hidung ketika berhirup uap menyengat yang 'bau langit' di sekitar Bandarbaru dan Desa Sukamakmur sekarang. Konon, kata si bau langit (yang berbau langit), inilah diyakini sebagai muasal nama Desa Sibolangit, karena dulunya warga belum kenal dengan aroma bau belerang (sulfur) yang menguap aktif dari arah atas, sehingga disebut bau langit. Uap belerang yang menyengat hidung itu masis terasa hingga sekarang, dan memang menyebar dari arah 'atas', yaitu Gunung Sibayak yang tampak dekat dari Sibolangit dan Bandarbaru.
"Selain nama-nama desa, ada juga nama benda-benda di Karo yang punya cerita unik. Misalnya lampu minyak sumbu (terbuat dari kaleng, bentuknya mirip piala). Di Karo, lampu itu disebut 'tendang' tapi pembuat dan penjualnya kebanyakan orang Tionghoa. Suatu hari ada orang Karo datang membeli dan bilang: saya mau (beli) tendang. Orang Tionghoa itu kaget dan bingung menduga si pembeli bercanda. Tapi karena berulang bilang 'mau tendang', si penjual merasa ditantang sehingga terjadi perkelahian. Untunglah si orang Karo itu kebetulan punya ilmu 'Ndikkar' sehingga duel saling tunjang (tendang) tampak imbang dan akhirnya dilerai warga sambil menjelaskan 'tendang' itu artinya lampu. Bisa jadi karena kasus itu, sebutan tendang sudah jarang terdengar di mayarakat Karo," ujar Henry seusai drama 'tendang' itu.
12 Tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 2017, Drs Sarjani Tarigan MSp, Ketua Umum Balai Adat dan Budaya Karo Indonesia (BABKI), membenarkan semua cerita Henry Bangun tentang asal muasal nama-nama desa atau benda di Karo itu, ketika me-launching bukunya berjudul 'Dongeng dan Mitologi Daerah Karo' dalam satu diskusi budaya dan pariwisata Karo, di sekolah YPK Pencawan Medan,
Bahkan, Sarjani mengungkapkan masih banyak nama-nama desa atau benda lain di Karo yang punya muasal cerita. Misalnya nama Kota Kabanjahe yang konon berasal dari kata kebun jahe, kemudiana disebut kebon jahe. Karena dulunya memang banyak menanam dan produksi jahe, Nama bukit Gundaling yang berasal dari sebutan 'good darling' ketika seorang pria atau turis Belanda mengacungkan jempol (memuji) begitu tiba di kota sejuk Berastagi dengan panorama bukit (Gundaling)nya.
"Nama Desa Sarinembah di Kecamatan Munthe, bagi warga Karo-Hindu, itu berasal dari kata 'seri nembah' (seri=sama, nembah=menyembah) karena tempat itu dulunya jadi pusat berhimpun atau ibadah bersama bagi warga Karo beragama Hindu. Demikian juga dengan nama Desa Seberaya yang berasal dari kata 'sembah raya' dan desa itu merupakan desa tertua di Karo, serta terkait dengan sebutan Sungai Laubiang yang dulunya dianggap sebagai 'Sungai Gangga'-nya orang Karo-Hindu," ujar Karma Perangin-angin, seorang penyuluh Hindu-Karo di Medan, dalam forum diskusi BABKI pada Minggu (14/2) pekan lalu.
Muasal yang 'Asal'?
Sejatinya. kendati hanya berupa cerita rakyat asal muasal suatu objek seperti nama desa atau benda maupun lokasi tertentu, harus mengandung kedekatan makna berdasarkan kronologi maupun morfologi. Misalnya nama Desa Hutadame (kampung damai) di Tarutung, Taput, yang bermula dari adanya pertikaian warga Batak yang pro-kontra agama (Kristen) dan adat (Batak) pada masa misionaris Nommensen. Nommensen kemudian mempertemukan dua kelompok warga bertikai itu untuk berdamai atas dasar kasih Kristiani, di tempat yang kini dikenal dengan nama Hutadame.
Begitu juga kisah muasal nama kota Tanjungbalai di Asahan, yang merupakan peristiwa hanyutnya satu unit balai yang semula tempat pertemuan para datu dengan segala bentuk sesajian pulut kuning dan ayam panggang. Balai itu tersangkut di satu daratan dan lama kelamaan menimbun jadi tanjung di antara Selat Lancang dan Sungai Silo-Asahan, sehingga kini disebut Tanjungbalai. (Syafwan Hadi Umri, 1998, dalam bukunya 'Cerita Rakyat Sumatera Utara', halaman 97-103).
Namun, ketika berkisah tentang asal mula nama Desa Tinggiraja (Simalungun) dan asal nama Kota Sidikalang (Dairi), Syafwan dalam buku itu tampaknya kurang paralel dengan aspek kronologi atau morfolologi yang memperkuat asal mula nama kedua lokasi itu, sehingga paparan muasal-nya terkesan 'asal', walau dia memang bertabik mohon maaf bila cerita itu kurang pas bagi publik (halm. 47 alinea ke-3). Artinya, kurang jelas argumen dasar dan final untuk penyebutan Tinggi-raja dan Sidi-kalang itu.
Pun pernah terjadi pada Pesta Danau Toba XV pada 1995 itu, ada staf Humas Pemda (kini Pemprov) Sumut berinisial 'SA' anggota Eddi Syofian yang 'asal' sebut kata Toba itu berasal dari kata 'Thaiba' yang artinya memang 'indah-jelita'. Itu sempat tertulis dalam buku acara PDT dengan sampul gambar Gorga warna merah hati. Tapi pada hari-H PDT, buku itu sudah diganti pihak humas Pemda yang juga jadi Humas PDT XV. Penulis yakini, hal itu disebabkan kritisi penulis selaku jurnalis, yang memper tanyakan referensi dan literatur kata 'Toba' ke 'Thaiba', pada saat konferensi pers yang dipimpin Ketua Panitia Pontas Pardede, sepekan sebelum berangkat ke Parapat.
Entah dari mana sumbernya, kalangan pihak panitia PDT di beberapa even berilkutnya pun latah mempublisir muasal yang asal tentang riwayat nama Samosir, pulau di atas Danau Toba. Samosir disebut (ditulis pada buku acara) berasal dari 'Samo', nama seorang anak Batak dalam legenda Danau Toba. Padahal, guru Bahasa Inggris R boru Pakpahan di STM HKBP Pematangsiantar pada 1978 pernah mengungkapkan nama Samosir berasal dari cetusan 'Some Sir' (kecil kok, tuan) oleh seorang turis yang menunjukkan pulau kecil (Samosir) kepada tuannya staf Ratu Wilhelmina (1905) yang memandang pulau itu dari bukit Tele, sebelum menyeberang lewat titi kecil Tano Magotap (tanah terpenggal) atau Tanoponggol sekarang.
Argumen ini tampak lebih mendekati dari aspek morfologi dan kronologinya. Ibu guru yang asli dari Samosir (Onanrunggu) itu pun bilang, dulunya pulau di atas perairan (Pulotao) Danau Toba belum disebut Samosir, melainkan Pusukbuhit atau Sianjurmula-mula. Tapi, pujangga Inggris William Shakespiere tetap bilang, 'apalah arti sebuah nama'. Hanya saja, hingga kini nyaris tak pernah terdengar nama 'Samo' di kalangan orang Batak, khususnya Samosir. Entah kalau besok lusa. (M04/c)
Sumber
: Hariansib edisi cetak