Di tengah sawah, mereka menari dan berlakon dengan topeng-topeng di muka. Malam itu, topeng dalang tampil di tengah pusat kekuatannya, yakni warga desa yang berduyun-duyun menyaksikan.
Gelap menutup sempurna Desa Slopeng, Kecamatan Dasuk, Sumenep, Madura, pertengahan Desember 2013 lalu. Namun, di tengah kepekatan malam dan hamparan sawah, keriaan baru dimulai. Bayangan hitam warga satu per satu mengisi bentangan terpal di depan panggung, tak berjarak dengan pengrawit.
Penjual makanan dan minuman berderet di pinggir jalan, berlindung dalam temaram lembayung cahaya lampu minyak, ikut menghangatkan malam.
Juedeeeer...!!! Petasan meledak kencang di samping panggung. Terdengar suara lantang dalang mengenalkan tarian dan cerita malam itu. Juedeer...!!! Duarrr...!!! Petasan lagi-lagi meledak heboh sebelum akhirnya layar terbuka dan lampu warna-warni melimpah ke panggung kayu kecil, sederhana, tetapi dicat seronok.
Penari-penari malam itu mengguncang panggung dengan entakan kaki dan gemericing goseng, giring-giring di sekeliling pergelangan kaki.
Lalu, pemain tampil membawakan perannya. Malam itu, mereka membawakan epik Mahabarata yang berkisah seputar pertarungan kelompok Pandawa dengan Kurawa. Suara dalang berkicau menuturkan kisah dan dialog yang lalu dikuatkan melalui gerak pemain. T
openg-topeng pewayangan menyembunyikan wajah pelakon yang aslinya petani desa.
Grup Rukun Perawas Si Banjir tampil demi memeriahkan rokat desa alias ruwatan sehabis panen. Sejak pagi doa telah dihaturkan, berlanjut dengan ocung (seni petarungan), dan malamnya giliran topeng dalang. Pimpinan Rukun Perawas, Merto (50), mengatakan, selain rokat desa, grup itu kadang ditanggap untuk pernikahan, khitanan, atau rokat tasek.
Itulah jejak kehadiran topeng dalang sebagai bagian dari ritual masyarakat, meskipun fungsinya kini lebih untuk hiburan warga.
Ada 35 pemusik, penari, dan pemain terlibat dalam pertunjukan topeng dalang pada malam itu. Semuanya laki-laki. â€Dari dulu, perempuan tidak boleh. Sudah tradisi,†ujar Merto. Bagaimana dengan peran perempuan? Tentu dipilih pria langsing dan tidak gempal berotot.
Evolusi topeng wayang
Seni pertunjukan menggunakan topeng sesungguhnya renta. Guru besar pendidikan seni, Tati Narawati, dan guru besar sejarah seni dan budaya, Soedarsono, menuliskan dalam buku Dramatari: di Indonesia, Kontinuitas, dan Perubahan bahwa tari mengenakan topeng merupakan pertunjukan tertua di jagat ini.
Topeng menjadi benda upacara penting dalam berbagai suku bangsa di dunia. Topeng melambangkan roh-roh nenek moyang yang dipakai dalam upacara berupa tarian-tarian dan drama sakral.
Di Nusantara, tarian menggunakan topeng hadir antara lain dalam kultur Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, termasuk Madura.
Di Madura, topeng dalang merupakan salah satu jejak tuanya hubungan kultural antara Jawa dan Madura di masa lampau (Narawati, Soedarsono: 2011). Sejak abad ke-14, ketika Gadjah Mada melebarkan sayap kekuasaan Majapahit ke seluruh Nusantara, Madura kian bersentuhan dengan Jawa.
Tradisi Majapahit memiliki dramatari bernama wayang wong. Ada pula tulisan lain yang menyebutkan, pengaruh Jawa hadir sejak masa Kerajaan Singasari.
Hubungan itu makin lekat pada zaman Mataram Islam di Jawa Tengah.
Dramatari topeng tetap dilanjutkan oleh raja-raja Islam dan para wali. Topeng dalang menjadi sarana menarik massa untuk kemudian wali menanamkan ajaran. Pertunjukan itu dilestarikan raja-raja Mataram dan pengaruhnya sampai ke Madura yang pernah berada di bawah pengaruh Mataram.
Peneliti dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta dalam tulisan Topeng Dalang Madura, dari Seni Keraton ke Seni Pertunjukan Rakyat menyebutkan, sampai abad ke-19 topeng dalang Madura merupakan pertunjukan istana dan baru pada awal abad ke-20 lebih berkembang ke rakyat, utamanya di Pamekasan dan Sumenep.
Seiring waktu, seni pertunjukan yang bersifat ritual itu cenderung bergeser lebih sekuler atau bersifat hiburan di masa modern. Seni tradisi yang semakin lepas dari adat dan ritual kemudian sulit bertahan. Apalagi, penghasilan dari pertunjukan minim serta muncul hiburan massa lewat televisi dan film.
Sisa tenaga
Kelompok topeng dalang Rukun Perawas ibaratnya sisa tenaga seni tradisi untuk bertahan. Bagi pimpinan grup itu, Merto, topeng dalang adalah amanah. â€Saya menerima titipan ayah saya, ’tolong topeng jangan dimusnahkan’, begitu kata ayah,†ujarnya sebelum pertunjukan dimulai.
Enam topeng tua dengan karakter antara lain Arjuna, Gatotkaca, Bima , Dharmawangsa, dan Srikandi yang dimiliki turun- temurun oleh keluarga Merto menyertai pesan sang ayah.
â€Topeng itu sudah ada sejak zaman kakek saya dan sampai sekarang masih dipakai,†ujar Merto yang memiliki sekitar 40 topeng karakter hasil pahatan sang ayah dan dirinya sendiri. Topeng-topeng dijaga dengan diasapi kemenyan pada malam tertentu.
Namun, menjaga agar topeng dalang tetap tampil tidak semudah membakar kemenyan. Bermain topeng dalang tidak memberi penghasilan memadai. Sekali manggung, grup itu mendapat Rp 3,5 juta yang kemudian dibagikan kepada lebih dari 30 orang yang terlibat. Undangan pun tak selalu datang. â€Kami ini bertani untuk hidup,†ujar Merto yang sejak umur 15 tahun sudah menari topeng.
Merto mengatakan, hanya ada dua grup topeng dalang tersisa di Desa Slopeng. Grup lain itu pun dikelola oleh kerabat Merto. Pembuat topeng karakter pewayangan dari kayu juga semakin langka. Di Slopeng, tersisa keponakan dari Merto, Saleh (45), yang setia membuat topeng.
â€Membuat topeng ini harus telaten. Satu topeng bisa siap tiga hari. Kecuali, tokoh Batara Kala, itu paling sulit, jadi butuh lima hari,†ujar Saleh yang sehari-hari menjadi buruh tani dan sopir truk pengangkut barang. Dalam sebulan Saleh sanggup membuat 10 topeng yang dijual ke Surabaya atau pemesan.
Bagi Saleh, meneruskan tradisi topeng dalang juga sebuah pesan. â€Ini wasiat kakek. Dia bilang, kalau cucu dan anak-anaknya tidak ada yang suka seni, topeng-topeng warisan itu diharuskan ditaruh di kuburan,†ujar Saleh sambil menunjuk ke deretan topeng di hadapannya. (Kps/h)