Bagi Torang Sitorus (36), selembar kain ulos tak sekadar selembar kain tradisional kebanggaan suku Batak. Makna ulos yang membekas di benaknya adalah sebagai "pangait ni holong" yang berarti jembatan penaut kasih sayang.
Ulos merupakan kain tenunan khas Batak dengan motif dan ukuran tertentu dengan benang-benang berjuntai di kedua ujungnya. Kain tradisional yang ditenun oleh kaum perempuan ini semula dikenakan untuk pelindung tubuh.
Dalam berbagai ritual adat, kain ulos berperan penting. Mangulosi, misalnya, merupakan salah satu ritual adat pemberian ulos dan bisa juga diberikan kepada orang lain di luar suku Batak sebagai lambang penghormatan dan kasih sayang.
Terlahir di keluarga Batak yang cukup kuat memegang adat, Torang telah terbiasa dengan ulos sejak kanak-kanak. Ibunya, Senty Sirait, seorang penggiat Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang kerap mengumpulkan ulos dari sejumlah daerah di Sumatera Utara.
â€Setiap kali Ibu pulang dari kegiatan PKK di mana saja, pulangnya pasti membawa ulos. Baru kemudian sejak SMA saya juga ikut mengumpulkan kain ulos dan belajar ulos,†kata Torang di sela-sela pameran Ulos Pangait ni Holong di Museum Tekstil, Jakarta.
Kini jumlah koleksi ulos milik Torang, termasuk yang dikumpulkan ibunya, sudah mendekati 1.000 lembar. Sebagian besar masih disimpan secara sederhana di rumahnya di Medan, Sumatera Utara. Sejak 27 Desember 2013 hingga 30 Januari 2014, sebagian dari koleksinya, yakni 120 lembar ulos, dipamerkan di Museum Tekstil, Tanah Abang, Jakarta.
â€Saya berencana membuat semacam museum mini di Medan untuk koleksi ulos keluarga sehingga bisa dinikmati siapa saja,†kata Torang.
Lima tahun terakhir Torang juga tak sekadar mengumpulkan ulos, tetapi juga berupaya membangun bisnis yang mengusung kain ulos. Dengan begitu, menurut dia, ulos sebagai salah satu peninggalan budaya Batak yang berharga dapat terus hidup.
Di bawah label Sumatra Loom, Torang mengembangkan ulos dengan mengontrol kualitasnya sebaik mungkin. Saat ini, Torang bekerja sama sekaligus membina 50 partonun (petenun) ulos di Tarutung, Tapanuli Utara. Pada setiap helai ulos terdapat nama petenun yang menenun. Dengan begitu, Torang mengajak setiap petenun menenun ulos benar-benar dengan hati, seperti sejatinya ulos ditenun di masa silam.
â€Saya ingin setiap anak muda di berbagai daerah mau terjun menggeluti kain tradisional khas daerahnya masing-masing. Lalu membangun bisnis dari kekayaan tradisi kita sendiri supaya kelestariannya terjaga.
Kalau bisa mengoleksi tas Hermes, kenapa tidak mengoleksi kain tradisional?†ujar Torang.
Torang menggagas konsep pengembangan ulos untuk berbagai produk kerajinan dan mode, seperti tas, taplak meja, dan dompet. Sejauh ini banyak dari produk yang digarapnya dipasarkan di Bali. Torang sendiri sempat tinggal dua tahun di Bali untuk belajar membangun bisnis dan memperluas jejaring.
"Tondi"
Torang pun tidak sembarangan memanfaatkan kain ulos untuk dijadikan produk mode dan kerajinan. Dia masih menjaga jenis ulos yang digunakan untuk keperluan sakral tidak dimodifikasi menjadi turunan produk lainnya, selain untuk sarung dan selendang.
Torang menambahkan, bagi masyarakat Batak, ulos adalah harta yang berharga yang patut dijaga sebaik mungkin. Bahkan, warisan ulos pantang dijual sembarangan karena ulos diyakini memiliki jiwa atau tondi yang dapat memengaruhi tondi si pemilik ulos.
Oleh karena itu, masyarakat Batak, terutama generasi tua, menyimpan warisan ulosnya dengan hati-hati dan jarang dikeluarkan. Bahkan, terkadang si penyimpan warisan ulos cenderung enggan menunjukkan ulos tersebut kepada orang lain. Tak sembarang orang boleh menyentuh warisan ulos leluhur tersebut sekalipun anak sendiri.
Sebagian besar koleksi ulos keluarga Torang yang dipamerkan di Museum Tekstil pun ditempatkan di dalam lemari-lemari kaca. Banyak dari koleksi ulos yang dipamerkan tersebut secara subtil memancarkan aura magis yang memikat. Perpaduan beragam motif dan warna-warna dari ulos-ulos itu membiaskan pesona yang dalam dan khidmat.
Dari beragam jenis ulos, menurut Torang, setidaknya ada 10 ulos yang kerap digunakan masyarakat. Di antaranya ulos ragi hotang yang diberikan mertua kepada menantu laki-laki dengan maksud agar ikatan batin kedua pengantin teguh seperti rotan. Ulos sedum tarutung diberikan kepada anak kesayangan yang membawa kegembiraan kepada keluarga.
Harapannya sang anak membawa kebaikan dan mampu mencapai cita-citanya. Sementara ulos ragi idup, yang khusus untuk laki-laki, dapat dikenakan pada upacara dukacita dan sukacita. Ulos ini juga dapat diberikan kepada seseorang yang tengah berulang tahun atau baru memangku jabatan tertentu ataupun naik pangkat.
Saat ini, sentra penghasil ulos di daerah Batak Toba, antara lain, Bakkara, Balige, Silalahi, Paropo, Tongging, Meat, Samosir, Lumban Suhi-suhi, Toba Holbung/Uluan, Muara, dan Tarutung.
Sejatinya pembuatan ulos dimulai dari pembuatan benang. Pemintalan kapas yang disebut mamapis telah lama dikenal masyarakat Batak sejak zaman dahulu. Kapas dipintal dengan alat yang disebut sorha.
Namun, saat ini, masyarakat lebih banyak memilih benang jadi di pasaran yang populer disebut benang seratus. Kemudian, proses menenun atau disebut martonun dimulai sejak memasukkan benang ke dalam alat tenun (gedokan) yang terbuat dari kayu. (Kps/h)