Jakarta (SIB)-
Siapa menyangka lukisan seapik itu, merupakan karya seni pelukis yang dahulu berkarya di jalanan. Seiring waktu tarian kuas pelukis ini, memiliki nilai yang fantastis.
Yarno (44) pria asal Pagar Alam, Sumatera Selatan ini terlihat asik menggerakan lekak-lekuk tangannya di kanvas putih. Karena keasyikannya, ia tidak menyadari tarian gemulai tangannya menjadi perhatian orang.
"Saya mengawali karir menjadi pelukis di Jalan Jogja dulu," imbuh Yarno ketika berbincang-bincang, di Galeri Seni Apik, Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan, Kamis (1/5).
Ia mengisahkan dirinya melalang buana sebagai seniman mulai jalanan hingga akhirnya menembus dunia international. Secara sekilas jika melihat tampilannya tentu orang tidak akan percaya, namun hasil karya seni tidak perlu diragukan lagi.
"Siapa yang sangka kalau akhirnya bisa begini," imbuhnya sambil tersenyum.
Sebagai seniman dirinya memiliki ciri khas tersendiri yakni hasil karyanya dikenal dengan makna kritik lingkungan. Salah satu lukisan yang berjudul Power Struggle bahkan menjadi kejaran kolektor.
"Lukisan saya memang bermakna kritik sosial. Tujuannya untuk keseimbangan kita sendiri. Masalah global warming yang saat ini ada bukan lagi menjadi isu, melainkan ancaman," terangnya.
Lukisan yang berjudul Power Struggle masuk ke Balai Lelang Masterpiece, Singapura. Ia pun tak menyangka ketika di pelelangan harga lukisan itu di taksir SGD 20.740 atau hampir sekitar Rp207 juta.
"Sebenarnya saya termasuk orang baru di tanah air, karya sendiri belum sampai 58 Kanvas," imbuhnya.
Perjalanan Pria asal Sumatera ini sangat berliku-liku awal Maret 2010, karya Yarno masih di harga Rp 9 juta dalam pameran bersama, perlahan namun pasti. Hasil karya dia mulai merangkak naik pada 2013 karya Yarno terus melambung hingga menyentuh angka Rp 40 juta.
Kepintarannya dalam menggores dalam kanvas putih memiliki kombinasi warna dan kekuatan penuh makna. Kritik lingkungan sarkastik menjadi sebuah karya seni modern menjadikan tampilannya menarik dengan warna-warna monochrome bersifat kontemporer tanpa membuat jiwa jenuh.
"Awalnya saya termasuk pelukis mengusung aliran surealisme dalam karya-karya seni modernnya sejak 2009. Hingga kini saya mulai mencoba ambil tema lingkungan keresahan terhadap pembabatan hutan, industrialisasi tanpa menunjukkan emosi dan banyak lagi," ungkapnya.
Sementara sang penemu talenta, Rahmat, mengungkapkan bahwa pada awal Maret 2010, karya Yarno masih di harga Rp 9 juta dalam pameran bersama. Lalu naik terus di akhir 2011 menjadi Rp 18 juta setelah dipamerkan di Seoul, Korea, dan Singapura. Di pertengahan 2012 harga tawar lukisannya naik lagi menjadi Rp25 juta. Dan pada 2013, karya Yarno terus melambung hingga menyentuh angka Rp40 juta.
"Pada pameran seni bergengsi di Art Stage Singapura 2014 lalu, lukisan-lukisan karya Yarno banyak mendapat decak kagum kolektor dan kurator seni museum mancanegara. Seluruh karya-karyanya juga habis dikoleksi. Banyak yang berminat untuk mengajak pameran. Rencananya November nanti Yarno akan berpameran di Taiwan," tukas Rahmat yang menjabat sebagai Direktur Galeri Apik.
(detikcom/f)