Upaya mencari penyelesaian konflik tanah adat tidak hanya dialami masyarakat Katu di Sulawesi Tengah tetapi juga berlaku untuk Orang Walsa di Papua dan penduduk asli Dayak di Kalimantan Timur. Gambaran ini setidaknya dapat diperoleh melalui hasil riset lapangan yang dituangkan dalam Petskha Vai: Konflik Tanah pada Orang Walsa di Papua (Kunci Ilmu, 2005) dan The Limits of Tradition : Peasants and Land Conflicts in Indonesia (Kyoto University Press, 2010).
Orang Walsa adalah suku yang bertempat tinggal di perbatasan antara Papua NiuginiĀ (PNG) dengan Kabupaten Kerom (Papua). Suku ini dikenal sangat agresif berperang. Bahkan, tanah adat yang diakui hak penguasaannya juga diperoleh melalui perang.
Adanya perubahan pemaknaan terhadap tanah adat menyebabkan munculnya sengketa di kalangan Orang Walsa. Kontak dengan dunia luar dianggap sebagai salah satu faktor pemicunya. Tanah adat pun mengalami pergeseran nilai, dari sosial ke ekonomi. Dampaknya, bagi Orang Walsa, tanah menjadi sumber daya yang dapat diperdagangkan dan mendatangkan banyak uang. Tanah diperlakukan sebagai komoditas peraup keuntungan, tentu saja bagi mereka yang mengaku sebagai pemilik. Akibatnya, tanah adat menjadi arena permainan dan persaingan kepentingan.
Kondisi ini mendorong munculnya mekanisme baru dalam penyelesaian konflik tanah, yaitu Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Lembaga ini dibentuk untuk menyuarakan dan menuntut hak-hak Orang Walsa yang tergusur kepentingan lain. Namun, cara kerja LMA (kini Dewan Adat Kerom/DAK) juga tidakĀ berjalan lancar.
Kinerja DAK yang dibangun tidak berbasis opsla (penyelesaian konflik lewat perundingan dengan tetua adat) menjadi kurang efektif. Lembaga ini hanya mengalihkan konflik struktural, tetapi tidak konsisten untuk mediasi dan memfasilitasi konflik. Bentuk inprovisasi budaya ini cenderung dilihat sebagai sebuah instrumen yang memayungi kepentingan bagi elite lokal dan nasional.
Lain lagi dengan persoalan sengketa tanah adat yang dialami masyarakat Dayak di kawasan Sungai Manis, Kalimantan Timur. Untuk kasus ini, penyebabnya adalah eksploitasi komersial industri kayu hutan yang terus meningkat. Kebijakan pembangunan ekonomi yang diterapkan pemerintah menjadi faktor pendorong yang memicu terciptanya kondisi tersebut.
Manipulasi oleh elite lokal terhadap masyarakat adat tentu saja tidak bisa diabaikan. Akhirnya, konflik perebutan penguasaan atas aset lokal tidak dapat dihindari. Penduduk asli menjadi terpinggirkan.
Gerakan sosial pun dibentuk untuk membantu penduduk lokal menyelesaikan sengketa. Banyak lembaga internasional, baik nasional maupun internasional, ikut terlibat di dalamnya, di antaranya media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan donor.
Advokasi dan pendampingan dilakukan oleh sejumlah LSM. Salah satu yang disasar adalah pemberdayaan peran masyarakat adat. Tujuannya agar mereka dapat mempertahankan dan melindungi aset-aset yang menjadi hak mereka. Tidak hanya itu, kegiatan berbagi informasi juga digelar agar penduduk asli mengenal dan memahami bagaimana mengelola sumber daya sekitar yang mereka miliki.
(Kps/c)