Jumat, 22 November 2024
Derita Masyarakat Adiankoting Diterpa Anjloknya Harga Karet

Laki-laki Eksodus Menjadi Buruh, Ibu-ibu Utang Beras dan Anak-anak Terancam Putus Sekolah

* Laporan : Posma Simorangkir SSos (Kabiro SIB Tapanuli Wilayah 1)
- Selasa, 01 September 2015 12:07 WIB
19.648 view
Laki-laki Eksodus Menjadi Buruh, Ibu-ibu Utang Beras dan Anak-anak Terancam Putus Sekolah
SIB/Batara Bongsu Sitompul
KARET ANJLOK : Tokoh masyarakat Pagaran Lambung III Kecamatan Adiankoting, Tapanuli Utara Manuasa Hutagalung dan mantan Kepala Desa Pagaran Lambung III Marolop Pandiangan menceritakan derita masyarakat daerah itu akibat anjloknya harga karet kepada Ketua
Harga karet di Kabupaten Tapanuli Utara mengalami penurunan drastis setahun ini. Posisi terparah sampai anjlok hingga harga terendah yaitu Rp 5.000/kg dari harga Rp 13.000, Juli 2014 lalu.

Jatuhnya harga karet ini membawa derita yang sangat mendalam bagi masyarakat Adiankoting, khususnya di tiga desa yaitu Desa Pagaran Lambung II, Pagaran Lambung III dan Pagaran Lambung IV. Padahal masyarakat daerah ini secara umum mengandalkan sumber penghidupan keluarga dari perkebunan karet.

“Ekonomi masyarakat Pagaran Lambung ini sekarang sangat terpuruk. Untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-haripun sudah sangat sulit. Demi menyambung hidup maka para laki-laki khususnya kaum bapak yang lebih muda terpaksa eksodus ke daerah lain menjadi buruh untuk mendapatkan pencaharian,” ujar tokoh masyarakat Pagaran Lambung, Manuasa Hutagalung dan mantan Kepala Desa Pagaran Lambung III Marolop Pandiangan saat menerima kunjungan Ketua Umum Pomparan Guru Mangaloksa (PGM) Torang Lumbantobing (Toluto) bersama Kabiro SIB Tapanuli Wilayah 1  Posma Simorangkir dan rombongan, Jumat (28/8).

Hasil perkebunan karet memang sudah menjadi andalan masyarakat daerah ini secara turun temurun untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Anjloknya harga membuat warga mengalami kesusahan karena tidak ada sumber penghasilan lain.

Menghindari jangan sampai terjadinya keterpurukan kehidupan bahkan kesulitan   memenuhi kebutuhan makan, terpaksa kaum bapak meninggalkan kampung menjadi buruh di daerah lain. “Sekitar 40 persen bapak-bapak muda dari  daerah ini mandah menjadi buruh. Umumnya menjadi buruh di salah satu perusahaan yang mengelola hutan di Parapat, Simalungun,” ucap Marolop.

Mereka pulang sekali sebulan. Itupun tidak seluruhnya pulang secara bersamaan guna menghemat penghasilannya. Mereka pulang bergiliran. Yang tinggal menitipkan penghasilannya untuk diserahkan kepada keluarganya di kampung guna dipakai memenuhi kebutuhan hidup anak istrinya.

Keberangkatan kaum bapak muda ini ternyata berdampak juga pada kehidupan adat budaya di daerah Pagaran Lambung. “Kalau ada pesta adat, kami mengalami kesulitan melaksanakannya karena sudah terbatas “parhobas” (membantu mempersiapkan makanan pesta). Terpaksa yang menjadi “parhobas” kaum bapak yang tua-tua lah,” sebutnya.

Persoalan masyarakat semakin besar karena umumnya kebutuhan hidup sehari-hari harus dibeli. Daerah ini tidak memiliki hamparan lahan persawahan untuk bertanam padi sebagai bahan kebutuhan pangan. Kalaupun ada warga yang bertanam padi, hanya padi  darat di celah-celah tanaman karetnya. Produksi yang dihasilkan pun tidaklah mencukupi untuk kebutuhan pangan keluarga.

Selain harga karet yang anjlok, ternyata produksinya juga mengalami penurunan. Getah yang menetes saat dideres tidak sederas dua tahun lalu.

Seorang ibu, Lesme br Hutagalung memperjelas bahwa kondisi ekonomi mereka saat ini benar-benar sangat terpuruk. “Kondisinya memang seperti inilah, sudah harga tidak ada, getah yang diderespun tidak lancar menetes. Paling yang dapat 20 kg-lah satu minggu. Berapalah harganya itu, cuma Rp 100 ribu-nya,” ucap Oppung Nora br Sihite.

Dengan pendapatan Rp 100 ribu/minggu dari hasil karet dipastikan tidak dapat mencukupi kebutuhan makan keluarga. Misalnya satu keluarga yang mempunyai tiga orang anak, rata-rata satu minggunya menghabiskan 1 kaleng beras yang harganya Rp 150 ribu. “Untuk beli beras aja tidak cukup. Jadi tidak malu kami mengakui kalau para ibu-ibu saat ini mempunyai utang beras pada toke-toke beras,” sebutnya.

Lebih tragis lagi, ibu empat orang anak ini menuturkan anak-anak dapat terancam putus sekolah. “Kalau ada anaknya yang kuliah bagaimana lagi membiayai itu. Ya terpaksa pulang kampunglah tidak kuliah lagi,” ucapnya sembari menjelaskan bahwa dia saat ini mempunyai dua anak sekolah SMA sudah mulai kewalahan.
Ketika harga karet masih bagus-bagusnya di sekitaran Rp 13.000/kg keadaan ekonomi warga termasuk lumayan. Kala itupun produksi karet cukup menggembirakan karena per rumah tangga masih dapat menghasilkan 30-40 kg setiap minggu.

Keadaan pun makin diperparah berhubung tanaman lainnya juga tidak menghasilkan buah seperti durian dan petai. Kedua jenis tanaman ini tumbuh dan berbuah banyak di Adiankoting serta menjadi sumber tambahan penghasilan warga.    

“Durian sekarang “sambang” (berbuah sedikit-red), hanya satu dua saja yang jatuh. Petai apalagi sudah tidak berbuah lagi, bahkan sudah mau punah di daerah ini. Banyak yang mencoba meremajakan petai, tapi begitu batang sebesar tangan orang dewasa langsung gugur dan batangnya busuk. Satu tahun terakhir ini kepunahan itu mulai terjadi,” ucap Opung Nora dengan penuh haru.

Cerita kepunahan petai ini sudah pernah disampaikan mantan Kepala Desa Simasom Toruan Binhot Panggabean dalam pembicaraan dengan penulis beberapa waktu lalu. Di desanya tersebut katanya tidak tumbuh lagi pohon petai, adapun tanaman lama sudah mulai punah.

Informasi lainnya juga menyebutkan bahwa di Kecamatan Purbatua dan secara umum Luat Pahae, tanaman petai mulai mengalami kepunahan. “Kita kurang tahu apa penyebabnya, tapi sudah tidak tumbuh lagi tanaman petai baru di daerah ini,” sebut Binhot.

Lesme br Hutagalung menambahkan, jika keadaan terus berlangsung bisa warga jatuh miskin. “Maunya ada sumber penghasilan baru warga daerah ini. Atau paling tidak ada yang menggerakkan warga menemukan model pertanian atau tanaman baru untuk dapat dijadikan sumber penghidupan,” sebutnya.

Boru Hutagalung mengaku dia sudah mulai mengembangkan tanaman ubi kayu untuk sumber penghasilan keluarga. Sebelumnya tanaman ini sama sekali tidak pernah dikembangkan. Semasa harga karet melambung tinggi, siapa yang menanam ubi pasti dicela di daerah ini.

“Warga di sini punya istilah,  oppung kita sudah sejak dulu makan ubi, untuk apa lagi ditanam ubi. Tapi kenyataan kami sudah merasakan manfaatnya. Soalnya satu pokok ubi kayu bisa menghasilkan umbi sampai 30 kg, harganya pun lumayan yakni Rp 1.000/kg dijemput toke di ladang. Itulah sumber penghasilan kami yang baru sekarang,” sebutnya.

Camat Adiankoting Drs Bernad Aruan yang dikonfirmasi SIB melalui telepon selularnya mengatakan anjloknya harga karet sudah hampir dua tahun ini. Masyarakat sudah tidak punya semangat lagi menderes karetnya karena biaya deres tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh.

Pemerintah telah mendorong masyarakat untuk mengembangkan tanaman tumpang sari mengatasi kesulitan penghasilan. “Melalui Dinas Pertanian sudah dilakukan sosialisasi dan pemberian bibit tanaman. Kami dari kecamatan juga terus menerus memotivasi,” sebutnya.

Kesulitan ekonomi masyarakat Adiankoting ini tentunya perlu mendapat perhatian serius untuk menghindari terjadi kemiskinan yang semakin dalam. Masyarakatpun harus lebih termotivasi untuk bekerja keras. “Parhaseang Tingki. Ayo Kerja, Ayo Kerja”. (f)




SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru