Jumat, 22 November 2024

“Menjual” Nias Selatan

* Oleh : Riswan H Gultom dan Hasan Hia, Wartawan SIB
- Kamis, 16 Agustus 2018 14:57 WIB
36.152 view
“Menjual” Nias Selatan
Nias Selatan menjadi wilayah kabupaten yang sangat beruntung di antara 5 kabupaten/kota di Pulau Nias. Mengapa tidak, alam yang indah anugerah Yang Maha Kuasa, termasuk sumber daya banyak terkandung, meski belum termanfaatkan secara optimal.

Kabupaten ini merupakan daerah otonomi baru setelah mekar dari Kabupaten Nias pada tahun 2003 silam. Kini Nias Selatan yang berpenduduk 457.757 jiwa dengan luas 1.825 Km persegi dikenal unik. Dari puluhan pulau, ada 4 pulau besar yang merupakan tempat asli bermukim masyarakat sejak zaman dahulu, yakni Pulau Tanah Bala, Pulau Tanah Masa, Pulau Tello, Pulau Pini dan daratan Nias Selatan sebagai pusat pemerintahan.

Sebagai wilayah yang dianugerahi keistimewaan alam, di daerah ini terdapat puluhan obyek wisata laut dan situs budaya yang telah diinventarisir dinas pariwisata setempat, serta berkali kali dilaporkan ke pemerintah pusat guna mendapat dukungan pembangunan.

Katakanlah Pantai Sorake, Luahagundree, Pulau Sifika, Pulau Sibaranum, Pulau Pini, Pantai Ladeha, Pantai Hilisataro, Pantai Moale serta banyak lagi pantai dan air terjun alam. Obyek-obyek wisata tersebut memiliki kelebihan tersendiri. Pantai Sorake misalnya, dikenal dengan ombak tinggi, menjadi wahana selancar bagi wisatawan lokal dan mancanegara.

Pulau Tello sebagai lokasi diving untuk menikmati keindahan batu karang, tumbuhan dan biota dalam air. Demikian sejumlah pantai yang disisir jalan nasional sepanjang Kecamatan Lahusa hingga Kecamatan O,ou melewati pusat pemerintahan kabupaten di Telukdalam.

Kekayaan alam Nias Selatan dilengkapi situs budaya dan desa tradisional yang mampu membius masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Daerah Kecamatan Gomo menjadi pusat peninggalan patung dan batu megalit hasil karya nenek moyang masyarakat Nias ratusan tahun lalu, situs itu terawat dan selalu membuat sejumlah peneliti asing geleng geleng kepala sebab takjub.

Sementara Desa Bawomataluo dikenal hingga seantero dunia dengan lompat batunya. Tatkala ritual lompat batu menjadi salah satu tampilan gambar mata uang Republik Indonesia, ada sebenarnya semacam penegasan bahwa Bawomataluo merupakan peninggalan yang dieksplorasi harus sejajar dengan budaya lainnya di nusantara.

Sejumlah keindahan alam dan pusat budaya di atas masih secuil dari potensi potensi alam Nias Selatan. Bila diinventarisir lebih jauh, tak terhitung jumlah obyek wisata yang pantas dibanggakan. Penulis pun hanya menyajikan lokasi yang paling top.

Melimpahnya obyek wisata di Nias Selatan ternyata tidak berbanding lurus dengan semarak kepariwisataan. Kemungkinan disebabkan masih lemahnya eksplorasi sehingga tidak memikat penikmat wisata dari berbagai kelompok pengunjung.

Pengelolaan oleh Pemkab Nisel terlihat berjalan dari waktu ke waktu, namun karena terkendala pendanaan dan kekurangan aparatur yang berkompeten, semarak wisata harus pada daftar "tunggu". Diakui, pengelolaan pariwisata Nias Selatan semakin gencar dalam 3 tahun terakhir namun masih bersifat memanfaatkan daya seadanya.

Lesunya pariwisata di antara maraknya obyek wisata berkualitas, tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Pemkab melalui dinas pariwisata harus lebih giat bekerja, lebih aktif berkomunikasi dengan Pemprovsu dan Kemenpar. Hubungan yang dijalin diharapkan tidak semata mata memenuhi perintah kerja, namun dapat menghasilkan output.

Beberapa langkah jangka pendek yang ditawarkan penulis dalam mempromosikan atau "menjual" potensi keindahan alam Nias Selatan, Pertama, Pemkab harus memanfaatkan perhelatan lomba selancar dan pesta Yaahowu (budaya) yang segera dilakukan. Lomba selancar menjelang akhir Agustus, pesta Yaahowu November mendatang.

Pada moment itu fungsi promosi harus dilakukan seluas-luasnya dengan melibatkan berbagai lembaga dan organisasi wisata di berbagai tempat serta media massa. Mengundang para pelaku wisata dari berbagai daerah serta menjalin kerjasama berkesinambungan.

Kedua, kedatangan wisatawan kelak harus dimanfaatkan dengan memperkenalkan puluhan bahkan ratusan obyek wisata di Nias Selatan. Tuan rumah harus menyediakan transportasi darat dan laut gratis dan mengajak wisatawan mengunjungi Sorake, Tello, situs budaya Gomo, Bawomataulo dan pulau pulau indah lainnya dengan memfasilitasi perjalanan di luar akomodasi dan konsumsi. Wisatawan diajak mengunjungi semua tempat wisata dipandu para petugas yang telah dihunjuk, untuk teknisnya diatur sendiri.

Kegiatan ini dibarengi ajakan penggunaan Medsos sebagai ajang berfoto dan mengunggah ke facebook, instagram dan media sosial lainnya. Ratusan bahkan ribuan wisatawan yang mengunggah foto dan wisata Nias Selatan akan tersebar kepada temannya di dunia maya ke berbagai belahan dunia. Dengan demikian sebuah promosi efektif dan efisien terlaksana baik. Jika disebut sedikit mengeluarkan biaya, ya. Memang jualan butuh modal, semakin tinggi modal semakin mendatangkan keuntungan lebih. Jika mau kerja aman aman saja, maka keuntungan menjadi milik yang lain.

Ketiga, Pemkab melalui Dinas pariwisata perlu menyentuh pengusaha restoran dan rumah makan untuk menyiapkan sajian lezat dengan menonjolkan masakan khas Nias. Perlu memunculkan kembali racikan tradisional berbahan rempah dan hasil bumi setempat, yang selain lezat bernilai tradisional, sehingga memiliki nilai pangan plus, sebab wisatawan sudah bosan dengan masakan masakan perkotaan yang gampang ditemui.

Pemkab harus merangsang pengusaha hotel dan pelaku kerajinan, menyediakan cinderamata yang bersifat kearifan lokal dan berkesan yang dapat dibawa pergi dan sebagai pengingat untuk kembali ke Nias Selatan.

Keempat, masyarakat harus disadarkan bahwa wisatawan adalah raja. Harus diperlakukan  ramah, sehingga kelak rindu untuk datang. Penyedia jasa pariwisata, pedagang kecil dan penjual makanan minuman ringan jangan membuat harga tak masuk akal. Harus mengembalikan sisa uang belanja tanpa potongan sepeserpun dan dengan alasan apapun. Hal hal seperti itu tergolong sederhana namun tidak disukai pengunjung.

Intinya, cara pandang masyarakat terhadap wisatawan harus dirobah. Kita perlakukan mereka sebagai kawanan istimewa, bukan sebagai mangsa. Dalam pemahaman psikologisnya, kesan baik akan membuat wisatawan mengulangi kunjungan.

Kelima, yang tidak kalah penting, Pemkab Nias Selatan harus mengupayakan kehadiran pejabat penting negara yang berwenang soal anggaran, misalnya Kemenpar, Menteri PU, Menteri Pemukiman dan lainnya. Pada moment pesta Yaahowu kelak, mereka diberi panggung dan "ditodong, dijebak" untuk menyatakan alokasi anggaran yang lebih untuk membangun pariwisata.

Implementasi paparan di atas dalam rangkaian pesta Yaahowu tentu akan menambah cost, sehingga komitment eksekutif dan legislatif diharapkan dalam pengupayaan dana. Kesulitan dana akan teratasi dengan adanya kesamaan pemikiran dan cita cita membangun dunia pariwisata.

Dengan melakukan berbagai hal di atas, ditambah dengan strategi dinas terkait yang tentu lebih kompleks, ratusan obyek wisata di Nias Selatan yang masih "tertidur" diharapkan bangkit pada moment pesta Yaahowu. 

Tulisan ini tidaklah sempurna, namun pesan semangat yang terkandung diharapkan menjadi motivasi bagi Pemkab serta stakeholder. Pembangunan pariwisata tidak akan lebih baik jika menunggu memulai pada saat tepat yang diinginkan, namun harus memulai lebih berani, memedomani teori teori baru, serta melibatkan pihak pihak berkompeten, tentu sekali dengan menaati aturan-aturan yang ada. 

Masyarakat perlu memberi semangat dan motivasi positif kepada pimpinan daerah serta Dinas Pariwisata untuk terus mengembangkan pembangunan pariwisata, sebab jika sudah bergairah, sektor ini bukan tidak mungkin menjadi indikator pemicu kesejahteraan masyarakat Nias Selatan. (f)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru