Sebuah kapal kecil mendarat di dermaga Tiga Raja Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Sabtu (2/4). Seorang kernet sigap melompat ke galangan. Tangannya cekatan mengikatkan tali pada tiang batu, agar kapal tidak lepas. Para penumpang bergegas keluar.
Dari barisan penumpang itu, seorang ibu yang biasa disapa Nai Jeges Boru Siallagan, warga Dusun IV Kelurahan Repa Sipolha, Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun memeluk erat bayi dalam gendongannya. Ia berusaha keluar dari sesaknya penumpang. Ia berjalan pelan. Diperhatikan betul langkahnya. Begitu kakinya menginjak dermaga, ia tersenyum lega.
Hari itu cuaca begitu cerah. Langit biru nyaris tanpa awan. Hanya bau keringat manusia yang kentara akibat dikipas-kipas angin danau, setelah para penumpang melintasi danau dengan kepala terjerang matahari.
Nai Jeges turut membawa anaknya mengarungi Danau Toba karena tidak ada yang bisa menjaganya di rumah. Padahal ia harus belanja bahan pangan ke pasar tradisional di seberang kampung mereka. Pasar hanya berlangsung sekali seminggu. Sampai saat ini jalan raya dari desanya menuju Parapat, tak pernah dibangun. Jika tidak belanja, keluarganya akan kesulitan mendapatkan pangan. Karena itulah ia rela berdesak-desakan dengan para penumpang lainnya.
Nai Jeges tidak sendiri. Ada lebih dari 100 kepala keluarga di Sipolha yang tidak bisa menikmati akses jalan darat menuju kota Parapat. Para warga di dusun tersebut hanya bisa gigit jari bila mendengar desa-desa tetangga bisa leluasa memiliki kendaraan berkat adanya jalan beraspal. Tak hanya mengiri soal cerita-cerita dari desa tetangga tentang berkendara, warga juga remuk hati tatkala banyak keperluan sehari hari begitu sulit diperoleh.
"Tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, kami tak pernah merasakan nikmatnya infrastruktur. Tak ada listrik. Tak ada sarana jalan desa, sehingga kami kesulitan dalam berbagai keperluan seperti mengangkut hasil bumi, untuk berobat dan lainnya," tutur Theodore G Bakkara, penduduk setempat.
Bahkan, menurut Bakkara, desa mereka itu seperti anak tiri yang terbuang. Puluhan tahun warga di sana seperti terperangkap di dalam jerat penderitaan. Anak-anak terpaksa belajar di bawah penerangan lampu semprong. Atau mengandalkan.genset yang bahan bakarnya terbatas, hanya bisa dibeli dari seberang pulau, sekali seminggu. Tak heran, anggapan warga di sana negara sudah melupakan mereka.
Eksodus
Ketiadaan infrastruktur jalan desa tersebut, cetus Bakkara telah memaksa warga eksodus ke kota. Selain tiada jalan, juga sebagai dampak dari sulitnya mengakses sekolah yang berpusat di ibukota provinsi. "Dulu, anak-anak di kampung ini untuk dapat sampai ke sekolah, mereka harus mengarungi danau dengan mendayung perahu kecil ke Desa Sipolha sejauh 8 kilometer," beber Bakkara.
Jarak itu, sambungnya, baru sekali jalan. Jika pulang pergi, anak-anak wajib menempuh jarak 16 Km. Itu belum termasuk jalan kaki dari dermaga ke sekolah. Belum juga diperhitungkan kondisi cuaca buruk. Jika cuaca buruk, angin kencang dan ombak akan menerjang perahu. Itu bisa mengakibatkan buku-buku rusak dan seragam sekolah anak-anak kuyup.
Keadaan ini memaksa sebagian besar warga di sana untuk meninggalkan kampung. Itu sebabnya, puluhan rumah warga kosong karena ditinggalkan. Sejak ditinggal pergi, rumah-rumah itu lapuk dimakan rayap. Sebagian rusak diterpa angin dan ditindas hawa dingin atau jerangan matahari. Tak hanya rumah penduduk, bahkan sejumlah rumah ibadah (gereja) dan dua sekolah SD negeri juga tutup akibat kehabisan jemaat dan murid. Gedung gereja itu kini tak ubahnya gudang kosong dan telah dililit semak belukar. Gedung sekolah berubah menjadi sarang walet dan kandang anjing.
***
Kehidupan penduduk yang jauh dari arus listrik dan infrastruktur jalan kontras dengan gemerlap kota. Dan ketika pemerintahan era Jokowi mencoba membenahi Danau Toba, sebuah harapan pun tumbuh. Sayangnya, ketika Danau Toba sudah ditetapkan sebagai destinasi wisata bertaraf internasional, dan anggaran sebanyak Rp 20 triliun digelontorkan guna percepatan pembangunan kawasan, namun perhatian pada daerah-daerah pinggiran Danau Toba belum juga masuk daftar untuk dibenahi.
Desa tersebut sudah berstatus kelurahan. Meski berstatus kelurahan, kesejahteraan masyarakat di sana memprihatinkan. Tak heran jika desa ini tertinggal jauh dari kemajuan desa lainnya. "Pemerintah harus membenahi infrastruktur. Di republik ini kenapa tempat-tempat prostitusi bisa berkilau-kilau, sementara di sini rumah ibadah seperti gereja sampai tutup karena infrastruktur dan listrik tak ada," gerutunya.
Cluody Ginting, seorang petani, warga Sipolha menuding pemerintah Simalungun gamang dalam membenahi Danau Toba. Perhatian pemerintah yang minim kepada para warga pinggiran Danau Toba telah menambah rasa pesimisme penduduk di sana. Menurut Ginting, infrastruktur jalan merupakan kebutuhan mendasar.
Kesulitan
Ketiadaan infrastruktur jalan telah menyulitkan para petani di desa mengangkut hasil ladang untuk dijual ke pasar. Selama ini, Ginting dan petani lainnya memikul hasil pertaniannya sejauh 3 Km dengan menuruni bukit terjal menuju tepi pantai. Transportasi air dengan perahu kecil satu-satunya cara mengangkut hasil pertanian untuk dipasarkan.
Menurut Ginting, dampak lain dari kondisi ini, puluhan hektar lahan pertanian kian tak terurus. Banyak ladang berubah jadi semak belukar. Hal itu efek dari derasnya arus urbanisasi. Produksi pohon cengkeh yang merupakan komoditas unggulan daerah tersebut bahkan kini merosot. Ladang-ladang cengkeh telah berrganti jadi semak-semak. Padahal, dengan luas lahan sekitar 90 hektar ini, Sipolha berpotensi menjadi sentra produksi cengkeh. "Untuk daerah Simalungun, saya rasa lahan 90 Hektar ini bahkan lebih dari cukup. Jadi sangat disayangkan hanya karena infrastruktur yang tak memadai, lahan ini harus tidur,"sebutnya.
Lurah Dusun IV Kelurahan Repa Sipolha, Bistok Ambarita mengaku, pembenahan infrastruktur sangat dibutuhkan warga. Ia mengusahkan, beberapa kali ada warganya yang tengah sekarat akibat terserang sakit, karena susahnya membawa si korban ke Rumah sakit di kota, akhirnya warga tersebut meninggal di perahu saat dalam perjalanan. "Itu menjadi tragedi menyakitkan bagi saya. Saya ingin sekali berteriak, namun telinga pemerintah kurang lebar. Sekiranya kejadian tersebut dulu terekspos media, mungkin kematian di kapal tak kan terjadi," bebernya.
Maka, demi menghindari kejadian serupa, sejak 2013 lalu, Bistok bersama masyarakatnya mengusulkan persoalan itu pada Musyawarah Rencana Pembangun (Musrembang) Kabupaten Simalungun, namun belum ada respon. Sampai hari ini, Bistok dan para warganya hanya bisa berharap datangnya hari penuh keajaiban, berharap pemerintah mau menyambangi dusun mereka untuk merasakan penderitaan warga di sana.
Menurut lurah, pada sektor pertanian sebenanrnya daerah ini tidak kalah dengan daerah lain di Indonesia. Hal itu terbukti sejak puluhan tahun lalu Repa Sipolha mampu menghasilkan kualitas cengkeh terbaik untuk dipasok ke berbagai pabrik rokok yang ada di republik ini.
Pada sektor pariwisata sendiri, Repa Sipolha juga memiliki panorama yang tak kalah indah. Ada pantai pasir putih yang mengkilau dan lembahnya yang hijau. Tebing-tebing batunya yang memanjang dan curam potensial untuk wisata panjat tebing. Namun semua itu belum jadi perhatian Pemkab Simalungun.
Mansur Damanik (76) warga asal Repa yang sudah berdomisili di Sidamanik sejak tahun 80-an turut mengisahkan alasannya meninggalkan kampung Repa. Katanya, supaya anak-anaknya dapat melanjutkan pendidikan lebih baik. Ia terpaksa berubah profesi dari petani menjadi sopir beca. Hal itu dilakukannya, karena ia tak sampai hati melihat anak-anaknya setiap hari harus bertarung mengalahkan angin dan ombak danau agar bisa tiba di sekolah. Sehingga Sidamanik menjadi daerah pilihannya agar anak-anak tak lagi menderita sepanjang hari di dalam perahu kecil.
"Alasan saya meninggalkan kampung Repa Sipolha karena sulitnya anak-anak saya menjangkau sekolahnya. Apalagi kalau cuaca tak bersahabat. Kadang diterjang ombak sampai baju basah kuyup, buku-buku juga koyak,"kisahnya.
***
Potret Hidup Sehari-hari
Dalam kunjungan penulis di hari berbeda, pagi di tepi danau itu, kabut embun menyaput. Seorang nenek bernama Tiarmy Situmorang sudah bangun pada subuh hari. Ia harus bergegas lebih cepat mengemas hasil ladangnya. Ia berlari sambil menjunjung barang bawaannya. Langkahnya terburu-buru menuju dermaga, supaya ia tidak ketinggalan kapal kayu kecil yang akan membawanya ke Pasar Tradisional Pekan Tiga Raja, Parapat.
"Walau masih ngantuk, tapi saya harus bangun subuh setiap Sabtunya. Kalau tidak, akan ketinggalan kapal," ungkap nenek berusia 65 tahun ini sembari berharap cuaca cerah hari itu.
Sebab, bila cuaca buruk, ia terpaksa mengurungkan niatnya pergi ke Pekan Tiga Raja. Ombak dan hujan terkadang menjadi pasangan yang tak baik untuk melintas di danau. Bisa berbahaya. Semuanya, dikarenakan tidak adanya sarana jalan darat. Dan harus melalui jalur transportasi air. Nenek yang sudah berusia ujur tersebut juga terpaksa harus berjerih lelah memikul hasil ladangnya ke tepi pantai. Selama puluhan tahun ia berjalan kaki pulang pergi sejauh satu kilometer dari ladang ke tepi pantai untuk bisa menjual hasil ladangnya.
Sekolah Tutup
Tak hanya merugikan petani dan peladang. Ketiadaan infrastruktur jalan dan listrik juga merugikan sektor pendidikan. Sejumlah sekolah harus tutup.
Andareas Damanik mantan Kepala SD N 091278 di dusun itu mengakui pada 2002 Dinas Pendidikan Simalungun melakukan penggabungan sekolah akibat berkurangnya jumlah siswa. Kala itu, jumlah siswanya tinggal 60 anak. Maka mau atau tidak, dilakukan penggabungan dengan SD N 095135 di desa tetangganya. Tak hanya siswa, bahkan 6 guru dan 1 penjaga sekolah pun ikut diboyong sesuai daerah asal masing-masing. Termasuk Andareas dan istrinya N Boru Ginting.
Andareas mengaku, penyebab sekolahnya dulu tutup, dikarenakan tidak adanya jalan. Kondisi itu memicu orang-orang di sana untuk eksodus ke kota. Kian waktu, siswa semakin berkurang. Dan akhirnya sekolah ditutup. Ia sendiri masih berharap SDN itu dibuka kembali. Tentunya diikuti dengan pembangunan jalan desa. Ia yakin, bila jalan desa memadai, pasti banyak orang yang akan kembali ke kampung. Dengan demikian, kepadatan penduduk di kota juga berkurang.
Ketika dipertanyakan, Sekda Simalungun Drs Gideon Purba MSi tidak berani mengungkap apa penyebab kesenjangan pembangunan di sana. Ia hanya bisa berjanji, pihaknya akan memperhatikan nasib kampung tersebut. Sejalan dengan adanya pembangunan dan percepatan kawasan Danau Toba, katanya, beberapa infrastruktur akan dibenahi.
Selain itu, katanya akan ada dana dari APBD untuk dianggarkan bagi pembanguan jalan desa dan sarana penerangan listrik di Repa Sipolha pada 2016.ini. "Ya, akan kami benahi nanti. Apalagi untuk mendukung program Presiden Jokowi dalam rangka percepatan membangun kawasan Danau Toba. Repa Sipolha akan jadi prioritas," sebutnya.
Ternyata Repa tak sendiri. Masih banyak warga negara Indonesia di daerah lain yang belum menikmati listrik. Kementerian ESDM mencatat ada 12.659 desa di nusantara yang belum mendapat aliran listrik PLN. Dari angka itu, 2.519 desa betul betul tak tersentuh arus listrik. Karena itu, warga Sipolha berharap megaproyek Jokowi melalui program "Indonesia Terang" semoga bisa menghadirkan arus listrik bagi daerah itu.
Kesenjangan pembangunan yang terjadi di daerah Simalungun, turut membuat Anggota DPRDSU Sutrisno Pangaribuan, Antropolog (Guru Besar Unimed), Usman Pelly Kepala Pusat Studi HAM (Pusham) Unimed Majda El Muhtaj, Tunggul Sihombing, Dosen Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara (USU) angkat bicara.
Ketimpangan pembangunan di Simalungun, menurut anggota DPRD Sumut Sutrisno, dipicu kebijakan pemerintah Kabupaten Simalungun yang masih berorientasi etnis kesukuan. "Mestinya pembangunan janganlah melihat etnis atau kesukuan, tetapi global," pungkasnya.
Selama ketimpangan pembangunan Simalungun tidak dibereskan, kata dia, akan terjadi banyak tindakan diskriminasi dialami penduduk di sana. Karena itu, ia meminta Pemkab Simalungun segera membereskan persoalan tersebut. Bila fakta tersebut tidak disikapi secara baik, Sutrisno menegaskan, ia sendiri yang akan mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi.
Kepala Pusat Studi HAM (Pusham) Unimed Majda El Muhtaj turut remuk hati mendengar ternyata di republik ini masih ada ratusan warga yang sama sekali belum pernah merasakan akses kepada arus listrik serta infrastruktur jalan. Tiadanya pembangunan infrastruktur jalah telah memutus koneksi antar wilayah. "Padahal tiap daerah harus terkoneksi untuk saling membantu," katanya.
Majda berpendapat, ketika daerah yang satu dengan lainnya terkoneksi, serta aliran listrik sudah mencukupi serta ada akses jalan raya, warga di Dusun IV Repa Sipolha akan dengan mudah mendistribusikan hasil-hasil alamnya yang pada gilirannya akan mendongkrak perekonomian masyarakat sekaligus menyejahterakan warga di sana. Karena itu, pembangunan di Simalungun musti inklusi sekaligus berbasis HAM. Pembangunan berbasis HAM merupakan pembangunan tanpa pengkotak-kotakan. Pembangunan inklusi harus bisa menjadikan pendidikan di sana jauh lebih baik
Kondisi Sipolha yang saban malam gelap-gelapan, menurut analisis Usman Pelly, adalah potret pembangunan di daerah yang diskriminatif. Akibat kesenjangan pembangunan itu, memaksa masyarakat hijrah ke daerah-daerah lain yang lebih maju, tak heran jika orang desa merantau ke kota.
Mendarah Daging
Fenomena ini, kata Guru Besar Unimed itu, bukan terjadi beberapa tahun terakhir, tetapi sudah ada sejak kerajaan- kerajaan Hindu berkuasa di Nusantara. Dalam falsafah Hindu, orang desa itu adalah kaum budak, sedangkan kaum keraton adalah orang-orang sejahtera dan beradab. Karena itu, jika ingin meningkatkan strata, orang desa harus berjuang merangkak menjadi orang keraton (kota).
Paradigma hijrah ke kota ini pun lama-lama tertancap kuat di benak masyarakat kita. Bahkan telah mendarah daging. Itu sebabnya, terangnya, orang desa berusaha hijrah ke kota. Dengan pergi ke kota, mereka merasa status sosialnya otomatis terdongkrak, padahal belum tentu. Tren ‘membangun dari desa†atau “membangun dari pinggiran,’ hanya slogan. Anak-anak sekolah dasar di desa saja sudah meyakini, begitu mereka tamat SMP, mereka akan hijrah ke kota. Mereka telah melihat gambar-gambar di buku perbedaan mencolok antara kota dan desa. Mereka membangun kesadaran di benaknya, bahwa desa selalu ketinggalan dan tak ada peluang untuk maju di sana. Sedangkan kota menunjukkan pesonanya, laksana gadis muda nan cantik, penuh harapan.
Di saat bersamaan, pemerintah masih saja menggencarkan tren pembangunan di pusat kota. Mereka fokus ke kota. Anggaran pembangunan masih satu banding empat. Hanya seperempat bagian anggaran dialokasikan untuk pembangunan desa. Tiga perempat bagian lagi telah dianggarkan untuk pembangunan kota. Dan pembangunan cenderung berfokus di sektor-sektor modern dengan raupan anggaran fantastis.
Pembagian APBN yang tidak adil itu tampak jelas dalam foto-foto di surat kabar tentang sekolah di desa dan di kota, jalan raya di desa dan di kota, pembangunan dermaga dan bandara yang masih fokus di kota. "Jadi bagaimana kita yakin pembangunan dari pinggiran bisa terjadi? Niat pemerintahnya sangat buruk,†terang Usman Pelly.
Pandangan serupa juga dilontarkan Tunggul Sihombing, Dosen Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara (USU), kasus Sipolha adalah potret perencanaan pembangunan yang selama ini tidak pernah berpihak pada rakyat. Tak heran, sambungnya, ketika pemerintah menetapkan Danau Toba sebagai daerah destinasi wisata nasional, tetapi sejumlah daerah di pinggiran danau itu masih belum teraliri arus listrik serta tak punya infrastruktur jalan. "Jadi tagline: pembangunan dari pinggiran hanya sebatas slogan," cetusnya.
Anggota DPRD Simalungun Rospita mengaku, sejak dulu sampai hari ini, listrik memang belum pernah masuk ke daerah yang menjadi basis suaranya itu. Penyebab utamanya, kata dia, karena daerah Sipolha memiliki topografi tanah yang berbukit-bukit. "Kami dari DPRD Simalungun sudah pernah mengajukan proposal ke PLN, namun pihak PLN belum merestui dengan alasan sangat sulit memasang jaringan listik di daerah itu," bebernya.
Selain bentuk topografi tanah, penyebab lainnya, menurut Rospita, persoalan anggaran yang minim di Pemkab Simalungun. Minimnya anggaran untuk pembangunan infrastruktur jalan dan listrik, akhirnya mendorong pihak DPRD Simalungun untuk mencari solusi lain. Salah satunya meminta bantuan dari Pemerintahan Provinsi Sumut. "Alhasil, tahun 2015 silam, Pemprovsu menyumbangkan solar cell. Namun baru beberapa rumah yang mendapatkannya. Karena itu, kami masih meminta bantuan ke provinsi agar kiranya terus mengirimkan solar cell bagi warga lainnya yang masih belum mendapatkan," ungkapnya.
Kesenjangan antara sejumlah daerah pinggiran dengan pusat pemerintahan di Kabupaten Simalungun juga diakui Rospita. Kesenjangan itulah, terang dia yang memaksa ratusan warga hijrah ke luar daerah Sipolha untuk mencoba penghidupan yang lebih layak. Saat ini saja, ungkapnya, ada sekitar 2800 Km jalan belum dibuka sehingga jalur darat sama sekali terputus. Dampak dari ketiadaan infrastruktur dan listrik, sambungnya, menjadi satu kelemahan Pemkab Simalungun.
"APBD Simalungun 2016 sekitar Rp2,3 triliun. Hanya kecil dianggarkan untuk infrastruktur jalan dan listrik. Inilah keterbatasan kami," pungkasnya.
Mustafa Rizal, Humas PLN Sumut mengatakan, tidak adanya akses jalan adalah penyebab sulitnya desa tersebut untuk mendapatkan jatah listrik. Dipastikan, selama ini untuk mengangkut material seperti tiang listrik dan pemasangan kabel kewalahan. "Kendala utama yang dihadapi adalah susahnya mengangkut material karena tidak tersedianya jalan. Kami kewalahan menarik kabel dan tiang untuk dipasangkan ke desa itu," ucapnya.
Kendati demikian, kondisi itu baginya bukan alasan untuk masyarakat tidak mendapatkan jatah listrik. Ia menyarankan agar masyarakat mengajukan permohonan kembali ke PLN Rayon Siantar. "Silahkan masyarakat kembali memasukkan permohonan ke PLN area Siantar secepatnya. Pasti kami terima di provinsi untuk kami tindaklanjuti segera," sebutnya.
Ia juga manambahkan bahwa PLN memiliki program listrik desa yang pendanaannya dianggarkan dari APBN. Anggaran datang dari kementerian. Program tersebut digelar untuk mendukung Nawacita Presiden Jokowi. Ia berharap ada sinergisitas antara PLN dengan Dinas PU Provinsi Sumut yang prinsipnya membangun dari desa dan mendukung Danau Toba sebagai destinasi wisata bertaraf internasional.
Parlindungan Purba, anggota DPD RI asal Sumut yang juga merupakan putra asli Simalungun juga merespon. Ia bertekad akan menyampaikan persoalan tersebut ke pemerintah. Diharapkanya, tiga tahun ke depan sebaiknya sudah harus selesai pembangunannya, termasuk jalan desa yang merupakan tanggung jawab kabupaten. Diakuinya, sampai saat ini masih banyak yang belum mendapatkan listrik. Dari 5.400 desa, sekitar 400 desa di antaranya belum mendapat aliran listrik.
Dengan adanya program nasional mempersolek Danau Toba, Tunggul Sihombing menganjurkan, pemerintah pusat segera membentuk Badan Otorita Kawasan Destinasi Wisata Nasional Danau Toba. Badan itu kemudian ditugasi salah satunya untuk menyikapi persoalan kelistrikan dan infrastruktur jalan di desa-desa di pinggiran Danau Toba. Itu menjadi salah satu bukti keseriusan pemerintah pada pembangunan yang berkeadilan di wilayah Danau Toba.
Jika tidak, sambungnya, tagline "Membangunan dari Desa" atau "Membangun dari Pinggiran" yang dihalo-halokan pemerintah, hanyalah slogan. Kenyataannya, daerah-daerah pinggiran masih sekarat karena tak pernah diperhatikan pemerintah. Untuk itu, pandangan Usman Pelly benar. Selama jurang pemisah antara desa dan kota masih kentara, arus urbanisasi takkan terbendung. Selama itu pula beragam persoalan akan muncul. Dan desa akan menjelma menjadi perkampungan mati. Jika tak ingin prahara ini terjadi berulang, maka harus segera diatasi.
(Tulisan ini diikutkan untuk lomba karya tulis Dinas Kominfo Provsu, menyambut HUT ke-68 Provinsi Sumut/ r)