Jakarta (harianSIB.com)
Sekitar 80 persen akses air minum di Indonesia
belum layak dikonsumsi. Peningkatan akses air minum layak hanya meningkat dari 11 persen menjadi 20,49 persen pada 2023 berdasarkan hasil
surveilans Kementerian Kesehatan RI.
Temuan ini dinilai mengkhawatirkan lantaran banyak sumber air minum yang dikonsumsi warga masih mengandung E coli. Terutama yang bersumber dari air isi ulang.
Baca Juga:
Direktur Penyehatan Lingkungan dr Anas Ma'ruf, MKM menyebut, perbandingan temuan E coli pada
air minum isi ulang dan PDAM relatif signifikan. Pada sumber
air PDAM cemaran 'hanya' berkisar 33 persen, sementara pada
air minum isi ulang mendekati 50 persen, yakni 45,4 persen.
"Jadi banyak rumah tangga yang dia lebih memilih air isi ulang untuk konsumsi sehari-hari, dibandingkan dari
air PDAM yang kemudian dikonsumsi setelah dimasak," beber dr Anas dalam konferensi pers Jumat (20/12) seperti yang dilansir Harian SIB.
Baca Juga:
"Karena masyarakat Indonesia belum percaya dengan kualitas airnya, karena mungkin baunya, warnanya tidak baik, masalah dengan perpipaan, jadi dia ragu untuk menggunakan sebagai sumber air minum, ini memang menjadi pekerjaan rumah. Tetapi data kita menemukan cemaran lebih tinggi di air isi ulang," tandas dia.
Anas menyebut
air minum isi ulang yang dinyatakan positif E Coli bisa dipicu beragam faktor. Baik dari proses pengisian air isi ulang maupun kemasan yang digunakan.
"Air minum isi ulang, masih ada yang
positif E coli, bisa dari sumber airnya, waktu pengolahan, mesinnya tercemar, galonnya tercemar, maupun tempat yang belum bersih sehingga masuk ke galon masih belum bersih," tandas dia.
Padahal, air isi ulang paling banyak digunakan sebagai sumber air minum sehari-hari masyarakat, lebih dari 30 persen. Dampak mengonsumsi air yang tercemar E coli 73 persen memicu keluhan diare, sementara 15 persen lainnya berisiko menyebabkan masalah stunting.