Jakarta (SIB)Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT)
Hadar Nafis Gumay dan
pegiat Pemilu,
Titi Anggraini, mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (
MK). Mereka meminta
MK mengubah syarat agar partai bisa mengusung calon presiden-wakil presiden.
Hal itu disampaikan oleh kuasa hukum keduanya, Sandy Yudha Pratama Hulu, dalam sidang perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 di Gedung
MK, Jakarta Pusat, seperti dilansir Harian SIB, Rabu (7/8). Sandy mengatakan, pengaturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tidak lagi didasarkan pada perhitungan jumlah kursi DPR hasil pemilu sebelumnya.
"Melihat fakta dalam dua kali pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pasca keberlakuan Pasal 222
UU Pemilu, yakni Pilpres 2019 dan 2024, dapat dilihat secara nyata bahwa partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPR maupun partai politik yang baru menjadi kontestan pada Pemilu berjalan tidak dapat merasakan dampak signifikan bila mendukung pasangan capres dan cawapres," kata Sandy.
Baca Juga:
Sandy mengatakan, efek
elektoral Pilpres telah menggerus suara parpol baru dan nonparlemen. Padahal, kata dia, parpol-parpol itu memiliki kesempatan untuk mengusung calon presidennya.
Pemohon mengajukan sejumlah alternatif pilihan mengenai pengaturan ambang batas pencalonan presiden. Dia meminta parpol yang punya kursi DPR dapat mengusung pasangan calon sendiri tanpa jumlah minimal kursi tertentu.
Baca Juga:
"Artinya setiap partai politik yang berhasil melewati ambang batas parlemen dalam pemilu sebelumnya berhak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya," jelasnya.
Sedangkan, kata dia, parpol baru dan nonparlemen harus ber
koalisi hingga memenuhi syarat ambang batas 20% dari jumlah parpol peserta pemilu yang ada. Artinya, Sandy menjelaskan ambang batas yang diberlakukan itu untuk parpol baru dan nonparlemen yang baru mengikuti pemilu, bukan hasil dari pemilu sebelumnya.
"Partai-partai politik non parlemen maupun partai-partai politik yang baru mengikuti pemilu berjalan dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan cara menggabungkan diri pada satu kelompok partai pengusul yang berjumlah sekurang-kurangnya 20% dari jumlah partai politik peserta pemilu berjalan," ucapnya.
Sandy menilai alternatif itu akan menyelesaikan permasalahan yang ada saat ini. Di mana, salah satunya, ialah akan menciptakan keadilan bagi partai politik baru maupun partai politik parlemen.
Berikut isi pasal 222
UU Pemilu yang digugat:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pemohon meminta agar
MK mengubah pasal itu menjadi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR dan/atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR yang jumlahnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu anggota DPR
atau
Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara 6109) adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR; dan
b. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang. (**)