Bali (SIB)
Presiden Joko Widodo (
Jokowi) memprediksi perang di masa depan bisa dipicu kelangkaan air di berbagai belahan dunia. Hal itu ia sampaikan di Forum Air Dunia (
World Water Forum) ke-10.
Jokowi mengatakan air perlu dikelola dengan baik agar tak menjadi bencana. Menurutnya, jika tidak ada air, tak ada pula kedamaian, kehidupan, dan pertumbuhan.
"Kelangkaan air juga dapat memicu perang serta bisa menjadi sumber bencana. Too much water maupun too little water keduanya dapat menjadi masalah bagi dunia," kata
Jokowi dalam Pertemuan Tingkat Tinggi
World Water Forum di
Bali, Senin (20/5).
Baca Juga:
Kemudian,
Jokowi mengutip pendapat Bank Dunia soal pengaruh air bagi ekonomi. Dia menyebut kekurangan air dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi sampai 6 persen hingga tahun 2050.
Dia juga mengingatkan bahaya kelangkaan air dalam beberapa puluh tahun ke depan. Jokowo mengingatkan 72 persen permukaan bumi ditutup air, tetapi hanya 1 persen di antaranya yang bisa dikonsumsi.
Baca Juga:
"Bahkan di tahun 2050, 500 juta petani kecil sebagai penyumbang 80 persen pangan dunia diprediksi paling rentan mengalami kekeringan," ujar
Jokowi.
Dia mengajak para pemimpin dunia mengelola air bersama dengan bijak. Indonesia menawarkan empat inisiatif untuk pengelolaan air dunia.
Pertama, penetapan Hari Danau Dunia. Lalu pendirian Center of Excellence di Asia Pasifik. Ketiga, tata kelola air berkelanjutan di negara pulau kecil dan yang keempat penggalangan proyek-proyek air.
"Yang Mulia, air bukan sekadar produk alam, tetapi merupakan produk kolaborasi yang mempersatukan kita sehingga butuh upaya bersama untuk menjaganya," ucapnya.
Jaga Perdamaian
Sementara itu, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-78 Dennis Francis menegaskan bahwa kerja sama internasional dalam menangani masalah air dan mewujudkan keamanan air merupakan langkah menjaga perdamaian.
"Investasi dalam kerja sama air secara global merupakan investasi untuk perdamaian sebagai awal untuk mewujudkan stabilitas pasokan air jangka panjang," ucap Francis dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut.
Menurut dia, saat ini manusia hidup pada masa di mana perdamaian antarnegara dapat dengan sangat mudah terganggu, termasuk dipicu oleh masalah air. Terlebih, memulihkan perdamaian memerlukan upaya yang sangat keras begitu konflik terbuka terpicu.
Pragmatisme itu, kata Francis, mendorong komunitas internasional untuk melakukan semua hal yang diperlukan untuk mencegah ketegangan dan konflik terbuka dipicu akibat masalah air.
Dia mengingatkan bahwa keamanan air sangat penting dalam pencapaian seluruh 70 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), karena kelancaran pemenuhan target SDGs tergantung pada keberadaan air.
Oleh karena itu, kata Francis, demi menyelesaikan masalah air, komunitas internasional harus bersatu dan bertindak secara strategis, serta memperkuat inisiatif kerja sama di bidang air.
Dia juga optimistis WWF-10 yang baru saja dibuka dapat mendorong kerja sama internasional dalam menangani masalah air.
"Saya berharap forum ini secara berarti akan memacu perkembangan kerja sama internasional serta perumusan dan penerapan aksi konkret untuk menstabilkan ketersediaan dan manajemen air jangka menengah dan panjang," kata dia.
WWF-10 yang digelar di Nusa Dua,
Bali, pada 18-25 Mei, membahas konservasi air, air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi, serta mitigasi bencana alam.
Sebanyak 244 sesi pembahasan terkait air dalam WWF ke-10 diharapkan dapat memberikan hasil konkret mengenai pengelolaan air secara global.
Ajak Delegasi ke Tahura
Serangkaian dengan acara itu, Presiden
Jokowi dan para pemimpin delegasi
World Water Forum (WWF) ke-10 mengunjungi Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai,
Bali. Berbeda dari saat KTT G20 pada 2022,
Jokowi dan pemimpin negara peserta WWF-10 tidak menanam mangrove (bakau) secara langsung, melainkan memberikan bibit pohon kepada anak-anak sebagai simbol generasi penerus upaya konservasi lingkungan.
Berdasarkan keterangan tertulis dari tim media WWF ke-10, Tahura merupakan kawasan rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove. Kawasan ini mengimplementasikan prinsip ajaran
Bali, Tri Hita Karana, yang mengedepankan keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam.
"Kegiatan penyerahan bibit dan penanaman pohon di Tahura merupakan pencerminan tekad bersama untuk memajukan kerja sama dan aksi nyata untuk pembangunan global," kata
Jokowi.
Jokowi mengajak delegasi memasuki area tanaman mangrove yang terletak di sepanjang muara yang didukung dengan teknologi kelistrikan pembangkit tenaga surya.
Fasilitas itu dilengkapi dengan area panel surya yang berfungsi sebagai landasan pembangkit listrik di berbagai area konservasi mangrove.
Keberadaan panel surya di Tahura Ngurah Rai diadopsi dari proyek panel surya Cirata yang merupakan proyek gabungan antara Indonesia dan Persatuan Emirat Arab, diluncurkan di Provinsi Jawa Barat beberapa waktu lalu.
World Water Forum ke-10 mengusung tema 'Air untuk Kesejahteraan Bersama' yang mencerminkan perwujudan konkret komitmen Indonesia dan dunia dalam penanganan perubahan iklim, melalui aksi nyata pembangunan ekonomi hijau dan konservasi lingkungan secara berkelanjutan.
Tanaman mangrove yang terbentang luas di kawasan Tahura Ngurah Rai dipandang sangat penting untuk menunjang ekosistem dan kesejahteraan manusia, menyaring dan mengatur siklus air tawar serta menjadi solusi menghadapi ancaman perubahan iklim dan kepunahan keanekaragaman hayati.
Jokowi menekankan besarnya potensi hutan mangrove yang mampu menyerap dan menyimpan karbon 4-5 kali lebih tinggi daripada hutan biasa dan dapat mendukung peningkatan kelangsungan hidup masyarakat pesisir.
Penataan kawasan Hutan Mangrove Tahura
Bali diresmikan
Jokowi pada awal Februari 2023, bersamaan dengan peresmian Bendungan Danu Kerthi Tamblang di Kabupaten Buleleng.
Dalam kunjungan itu,
Jokowi dan para pemimpin negara
World Water Forum ke-10 juga melihat dan mendapatkan penjelasan mengenai proyek Cirata Solar Panel, pembangkit listrik tenaga surya terapung terbesar di Asia Tenggara, kerja sama Indonesia dengan Persatuan Emirat Arab (PEA). (**)