Jakarta (SIB)
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah meminta Polri menindak tegas oknum masyarakat yang melakukan kekerasan terhadap para mahasiswa dan mahasiswi Universitas Pamulang yang tengah menjalankan ibadah di kawasan Babakan, Cisauk, Tangerang. Menurutnya, tindakan mereka tak sejalan dengan ruh Pancasila dan amanat UUD NRI 1945 serta berpotensi tindakan pidana.
"Tindakan masyarakat yang main hakim sendiri itu menurut saya sudah mengarah tindakan pidana, apalagi sampai ada yang berdarah akibat ditusuk atau dibacok. Apa salahnya orang berdoa di sebuah negara Pancasila yang mengakui prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa? Saya mengecam keras tindakan membabi buta ini," ujar Basarah dalam keterangannya, Selasa (7/5).
Basarah menilai tindakan yang dilakukan oknum Ketua RT bersama sejumlah warga jelas bertentangan dengan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Adapun pasal tersebut menegaskan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Baca Juga:
"Ayat 2 Pasal 29 UUD NRI 45 itu bahkan menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi, apa yang dilakukan para mahasiswa dan mahasiswi itu sah menurut konstitusi negara kita," tegas Basarah.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Lakpesdam PBNU ini pun mengungkapkan doa yang dipanjatkan generasi muda Katolik itu adalah bagian dari ibadah Rosario yang memang biasa dipanjatkan pada bulan Mei dan Oktober. Dengan demikian, ibadah serupa ini tidak memerlukan izin siapa pun, termasuk izin Ketua RT Diding yang di dalam video itu disebut memerintahkan para mahasiswa dan mahasiswi agar berdoa di gereja.
Baca Juga:
"Kalau beribadah Rosario yang dilakukan di rumah dijadikan alasan pelarangan, umat Islam juga sering bertahlilan kapan saja di rumah tidak apa-apa. Saya juga seorang muslim dan sering menggelar atau menghadiri tahlilan di rumah, nyatanya saya tak perlu izin. Masa berdoa harus minta izin kepada pemerintah," jelasnya.
Atas kejadian ini, Basarah mendukung Polres Tangerang yang saat ini tengah menyelidiki kasus ini. Berdasarkan informasi yang diterima, ia menyebut Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polres
Tangerang Selatan, AKP Alvino Cahyadi, telah mengecek tempat kejadian perkara (TKP) hingga mengecek fakta-fakta terkait kasus tersebut.
"Saya berharap Polres Tangsel segera melakukan klarifikasi dan memanggil semua tokoh masyarakat di tempat kejadian perkara, mulai dari Ketua RT, Ketua RW, Kepala Kelurahan, tokoh-tokoh agama di Forum Komunikasi Umat Beragama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan lain-lain. Ini persoalan kebangsaan kita yang tak boleh dianggap remeh," pungkasnya.
Jadi Tersangka
Sementara itu, polisi menetapkan empat tersangka di kasus tersebut. Keempat tersangka yang dimaksud sebelumnya berstatus saksi.
"Dalam proses penyidikan dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, dan dilakukan penyitaan barang bukti yang menjadi petunjuk, untuk selanjutnya dilaksanakan gelar perkara peningkatan status," ujar Kapolres Tangsel AKBP Ibnu Bagus Santoso dalam konferensi pers di Polres Tangsel, Selasa (7/5).
"Dalam serangkaian proses gelar perkara maka terhadap perkara disimpulkan cukup bukti sehingga terhadap beberapa saksi yang terlibat ditetapkan sebagai tersangka," imbuh dia.
Ibnu menyebut keempat tersangka berinisial D (53), I (30), S (36), dan A (26). Keempatnya adalah pria.
Sedangkan korbannya adalah perempuan muda berinisial A. "Korban pelapor tadi inisial A perempuan 19 tahun," imbuh dia.
Bawa Sajam
Keempat tersangka memiliki peran berbeda.
Salah satu tersangka inisial D berperan memprovokasi dan meneriaki para mahasiswa yang sedang beribadah.
"Tersangka inisial D meneriaki dengan suara keras dengan nada umpatan dan intimidasi kepada korban beserta temannya," kata Ibnu.
Selanjutnya, tersangka I berperan melakukan intimidasi. Tersangka I mendorong korban yang menolak perintah tersangka untuk pergi.
"Tersangka inisial I turut meneriaki korban dengan ucapan intimidasi dan, karena korban menolak perintah Tersangka untuk pergi, maka Tersangka mendorong badan korban dengan tenaga sebanyak dua kali," tambahnya.
Sedangkan tersangka inisial S dan A sama-sama membawa senjata tajam jenis pisau. Mereka membawa pisau untuk melakukan ancaman agar korban membubarkan diri.
"Membawa senjata tajam jenis pisau dengan maksud bersama Tersangka lainnya melakukan ancaman kekerasan untuk supaya korban dan rekannya merasa takut dan pergi membubarkan diri," sebutnya.
Diteriaki Ketua RT
Polisi menjelaskan awal mula terjadinya kasus itu. Kegiatan pembubaran dan kericuhan itu diawali satu tersangka D (53) yang meneriaki kegiatan ibadat agar bubar.
Ibnu menjelaskan peristiwa itu terjadi pada Minggu (5/5) sekitar pukul 19.30 WIB, ketika beberapa orang sedang melakukan ibadah. Kemudian datang tersangka D, yang merupakan Ketua RT setempat membubarkan kegiatan itu dengan berteriak.
"Sedang dilaksanakan kegiatan doa bersama yang dilakukan oleh beberapa orang, selanjutnya datang seorang laki-laki dengan inisial D berupaya membubarkan kegiatan tersebut dengan cara berteriak," ujar Ibnu.
Kemudian datang sejumlah orang yang mencoba mencari tahu setelah adanya teriakan tersebut. Kegaduhan pun muncul hingga terjadi kekerasan.
"Kemudian tidak lama berselang, datang beberapa orang yang mencari tahu apa yang terjadi, sehingga akibat teriakan tersebut terjadi kegaduhan dan kesalahpahaman yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dan menimbulkan korban," sebutnya.
Keributan itu juga terekam oleh salah satu penghuni di kontrakan. Dalam rekaman itu, terlihat 2 orang laki-laki membawa senjata tajam.
"Kegaduhan dan kekerasan tersebut terekam oleh salah satu penghuni kontrakan di TKP, di mana terdapat 2 (dua) orang laki-laki terekam membawa senjata tajam jenis pisau," sebutnya.
Para tersangka pun disangkakan Pasal 2 ayat 1 UU Darurat RI No. 12 Tahun 1951 juncto Pasal 170 KUHP terkait Pengeroyokan juncto Pasal 351 KUHP ayat 1 penganiayaan juncto Pasal 335 KUHP ayat 1 tentang pemaksaan disertai ancaman kekerasan atau perbuatan kekerasan juncto Pasal 55 KUHP ayat 1.
EvaluasiMenyikapi kasus tersebut, Pemkot
Tangerang Selatan (Tangsel) akan mengevaluasi semua ketua RT hingga RW. Jajaran RT dan RW akan diminta tidak cepat reaktif.
"Semua (evaluasi RT dan RW se-Tangsel), namanya evaluasi harus kita sampaikan, ini ada kejadian," ujar Kepala Kesbangpol Tangsel, Bani Khosyatulloh, di Polres Tangsel.
"Itu yang harus kita sama-sama jaga, jangan cepat reaktif, jangan tidak berpikiran panjang, dan itu manusiawi siapa pun bisa mengalami hal-hal seperti itu," tambahnya.
Bani mengatakan, setiap ada suatu kejadian, pasti akan dijadikan bahan evaluasi. Terutama kejadian yang mengganggu keamanan.
"Setiap event setiap kejadian pasti kita evaluasi, hal-hal yang memang bisa mengganggu Kamtibmas, meresahkan itu harus kita evaluasi, artinya itu jadi pelajaran bagi kita," sebutnya.
Bani mengatakan, terkait kejadian ini, telah ada upaya mendamaikan dari sejumlah pihak. Dia mengatakan pembinaan juga terus dilakukan untuk jajaran RT hingga RW.
"Ada (upaya mendamaikan) dari kemarin teman-teman dari FKUB, Polres maupun Kemenag sudah turun ke kelurahan langsung," sebutnya.
Serius Atasi Intoleransi
Sementara itu, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) menilai insiden penggerudukan peribadatan mahasiswa di Setu, Tangsel bisa saja dialami oleh agama minoritas lainnya di Indonesia. Oleh sebab itu PMKRI berharap Pemerintah serius dalam menyikapi tindakan-tindakan inteloran.
"Ini bukan persoalan salah satu agama, maupun suku. Tetapi hal ini bisa saja terjadi terhadap semua agama minoritas di daerah mayoritas. Maka hal ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan stakeholders agar tindakan intoleransi dan arogansi di negara yang beragam ini bisa teratasi," kata Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI periode 2022-2024, Billy Claudio, dalam keterangan tertulis pada Selasa (7/5).
Dia mengatakan semangat menjaga kebinekaan harus terus digaungkan. Billy menegaskan identitas Indonesia yang multikulturalisme, pluralisme dan toleransi.
"(Slogan, red) 'Kita Bhinneka, Kita Indonesia' harus tetap digaungkan agar semangat kebinekaan tetap terjaga, sehingga multikulturalisme, pluralisme dan toleransi yang menjadi identitas bangsa Indonesia mampu mempererat mozaik kebangsaan yang retak akibat ulah oknum-oknum yang mereduksi semangat kebinekaan," ujar dia.
Billy juga menyinggung soal bunyi sila pertama dalam Pancasila. Billy menambahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 juga menjamin kebebasan setiap warga beribadah.
"Dalam sila pertama itu sudah jelas 'Ketuhanan Yang Maha Esa', yang artinya Bangsa Indonesia telah menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu kerukunan hidup dan toleransi antar sesama umat beragama perlu dijaga," tutur dia.
"Tidak boleh ada intervensi dan pemaksaan terhadap agama tertentu karena UUD sudah menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya," tambah Billy.
Berikut 6 poin sikap PMKRI menyikapi kasus penggerudukan peribadatan mahasiswa di Tangsel:
1. PMKRI mendesak Polri, dalam hal ini Polres Metro
Tangerang Selatan untuk segera mengusut tuntas kasus dugaan penganiayaan dan pembatasan kebebasan beragama (sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP dan Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945)
2. PMKRI meminta Negara harus hadir dan memberikan perlindungan hukum bagi korban dugaan penganiayaan serta menjamin kebebasan beragama untuk segenap warga Indonesia.
3. PMKRI meminta negara perlu rutin melakukan fit and proper test tentang wawasan kebangsaan terhadap pejabat pemerintahan dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, serta RT/RW sebagai lembaga kemasyarakatan desa/kelurahan yang bertugas untuk membantu pemerintah desa/kelurahan dalam memberdayakan masyarakat
4.PMKRI mendesak Kementerian Agama Republik Indonesia untuk segera menyikapi atas insiden yang terjadi
5.PMKRI akan turut mengawal proses hukum yang sedang ditempuh sampai tuntas
6.PMKRI menghimbau kepada seluruh umat dan masyarakat Katolik untuk tidak terprovokasi atas insiden yang terjadi. (**)