Rabu, 05 Februari 2025
Eksploitasi Anak Dibayar Jadi Jurkam

KPAI: Anak Dijadikan Pelaku Politik Uang

* Peserta Pemilu Diminta Tidak Libatkan Anak-anak dalam Kampanye
Redaksi - Selasa, 23 Januari 2024 09:04 WIB
247 view
KPAI: Anak Dijadikan Pelaku Politik Uang
(Foto: Antara/Lintang Budiyanti Prameswari)
DISKUSI: Anggota KPAI klaster Hak Sipil dan Kebebasan Sylvana Maria (2 kanan) sarankan anak-anak tidak dibawa dalam kampanye Pemilu 2024 saat diskusi bersama media tentang laporan akhir tahun KPAI tahun 2023 di kantor KPAI, Jakarta, Senin (22/1).
Jakarta (SIB)
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) klaster Hak Sipil dan Kebebasan Sylvana Maria mengungkap bentuk-bentuk eksploitasi anak pada Pemilu 2024. Ada peserta pemilu yang membayar anak untuk menjadi juru kampanyenya.
"Selama kampanye 2024 ini adalah anak-anak digunakan untuk menjadi juru bicara atau penganjur calon-calon tertentu. Itu pengaduannya ada 11 kasus dan ini dilakukan baik untuk oleh caleg ataupun oleh kelompok tim capres dan cawapres," kata Sylvana, di Kantor KPAI, Jakarta, Senin (22/1).
Menurutnya, anak-anak dijadikan target kampanye. Peserta pemilu ingin menarik suara orang tuanya dengan cara memberikan barang kepada anak-anak.
"Selain itu juga anak-anak yang dijadikan target kampanye. Jadi tujuan kampanyenya kepada orang tua tetapi anak-anak yang jadi target, di antaranya dengan memberikan barang-barang yang bukan alat kampanye kepada anak-anak," ucapnya.
Anak-anak juga dijadikan juru bicara kampanye hingga dijadikan objek politik uang yang kemudian dibayar untuk berkampanye.
"Kemudian yang terakhir yang juga cukup banyak pengaduannya adalah anak-anak yang dijadikan juru bicara kampanye lalu anak-anak yang dijadikan objek politik uang, dan dibayar oleh caleg untuk berkampanye," tutupnya.
KPAI mewanti-wanti peserta pemilu untuk tidak melibatkan anak-anak dalam kampanye.
"Karena itu kami selama bentuk dan praktik demokrasi masyarakat kita dalam kontes politik elektoral belum cukup mampu melindungi anak-anak maka KPAI menegaskan mendorong menyarankan agar anak-anak tidak dibawa dalam kampanye yang atau pertemuan-pertemuan yang melibatkan masa yang cukup besar," ujarnya.



Terbanyak
KPAI menemukan setidaknya 19 kasus eksploitasi anak selama masa kampanye Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Ini termasuk dalam pelanggaran hak anak kluster Hak Sipil dan Partisipasi Anak.
Menurut Sylvana Maria A, bentuk eksploitasi anak selama masa kampanye yang terbanyak adalah membawa anak dalam kerumunan kampanye.
“Eksploitasi ini yang paling banyak adalah anak yang dibawa ikut dalam keramaian selama masa kampanye. Ini memang fenomena yang cukup sulit dicegah,” kata Sylvana.
Dalam keramaian kampanye, lanjut Sylvana, orangtua cenderung kesulitan dalam memenuhi hak anak. Pasalnya, kerumunan kampanye terkadang tak dapat diprediksi, jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan orang.
Maka dari itu, kerumunan kampanye dinilai sebagai situasi yang berisiko untuk anak. Pasalnya kerumunan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan, dan keamanan anak.
“KPAI mendorong masyarakat untuk tak bawa anak dalam kampanye atau acara dengan massa yang besar karena mengancam kesehatan, kenyamanan, dan keamanan anak,” jelasnya.
Hingga hari ke-46 masa kampanye Pilpres-Pileg 2024 pada 17 Januari 2024, KPAI telah menerima enam pengaduan langsung kasus dugaan pelanggaran Pemilu dan pelanggaran hak anak. Serta mencatat 19 kasus lainnya, yang diberitakan oleh media maupun yang beredar di beberapa platform media sosial.


Baca Juga:


Lainnya
Selain membawa anak ke dalam kerumunan kampanye sambil mengenakan atribut Pemilu, bentuk kasus pelanggaran lain yang terjadi selama masa kampanye 2024 yakni:
Menjadikan anak sebagai “target antara” kampanye dengan cara membagi-bagikan benda/barang yang tidak termasuk sebagai alat kampanye, menggunakan (foto/profil berwajah) anak untuk iklan kampanye, menjadikan anak sebagai juru kampanye lewat video yang disebarkan di berbagai platform medsos, maupun langsung, menjadikan anak sebagai pelaku politik uang, mengarahkan anak untuk mengingat dan mempromosikan capres tertentu,menjadikan tempat pendidikan sebagai target kampanye, pemanfaatan ruang dan kreativitas komunitas digital secara kurang selektif, pendidikan politik dan kewargaan yang tidak tepat, partisipasi anak yang belum sesuai dengan prinsip dan bentuk ideal partisipasi anak. (**)


Baca Juga:


SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru