Jakarta (SIB)
Dua peneliti menelisik propaganda era digital di Indonesia dan Malaysia. Mereka menjuluki realitas politik di dua negara itu sebagai 'demokrasi sesat' atau 'misguided democracy'.
Dua peneliti itu adalah Associate Professor of Public Policy and Management Monash University Indonesia, Ika Idris, dan Assistant Professor of Strategic Communications Oklahoma State University, Nuurrianti Jalli. Ika Idris dan Nuurrianti Jalli telah menuliskan tinjauannya ke dalam buku berjudul 'Misguided Democracy in Malaysia and Indonesia-Digital Propaganda in Southeast Asia'.
"Jadi di dalam buku ini kita fokus pada propaganda yang berlaku di seluruh Southeast of Asia, tapi dengan fokus ke Malaysia dan Indonesia," kata Nuurrianti Jalli secara virtual dalam acara diskusi buku 'Misguided Democracy in Malaysia and Indonesia-Digital Propaganda in South East Asia' di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/1).
Dia mengatakan ada enam bab dalam buku tersebut. Bab pertama membahas tentang pemahaman terhadap propaganda. Penulis menyajikan pembahasan soal teknik dan taktik propaganda.
"Menurut kami, chapter pertama ini adalah cocok sekali buat student atau orang-orang yang baru, one to know about propaganda," ujarnya.
Bab kedua mengenai propaganda di era digital, spesifiknya adalah propaganda via internet. Media sosial menjadi alat propaganda dibahas pada bab ketiga.
"Jadi di dalam chapter ini kita coba lihat setiap social media channel yang sering digunakan di Southeast of Asia, seperti YouTube, Facebook, Twitter, TikTok, Instagram yang digunakan propagandist in Southeast of Asia," ujarnya.
"Di dalam chapter ini juga kita talk a little bit about contoh propaganda di Indonesia. Kita ada Muslim Cyber Army sebagai salah satu case yang kita discuss di dalam chapter ini, bagaimana MCA menggunakan hateful propaganda di dalam Twitter, Facebook dan WhatsApp dengan intens untuk sharing," lanjutnya.
Pada bab selanjutnya, mereka membahas peperangan siber serta propaganda digital di Malaysia, berikut tren dan polanya. Bab berikutnya, mereka mendedah propaganda pemerintah di Indonesia. Maksud propaganda pemerintah di Indonesia adalah membentuk narasi tunggal yang diinginkan pemerintah.
Buku tersebut juga membahas disinformasi atau 'penyampaian informasi yang salah dengan sengaja untuk membingungkan orang lain'. Ada perbedaan antara yang terjadi di Indonesia dan di Malaysia.
"Kita lihat bagaimana narrative berkenaan dengan religion, berkenaan dengan ras atau etnik ya, sering dipermainkan dalam usaha propagandist untuk shaping public opinion," kata Nuurrianti Jalli.
Ika Idris menambahkan launching buku itu akan dilakukan pada 17 Mei 2024 di Malaysia. Dia berharap harga beli buku itu akan lebih murah di pasar Asia. Bagi Anda yang ingin menyimak 'unboxing' propaganda medsos yang dipaparkan di buku tersebut, harap sedikit bersabar sampai buku ini terbit di Indonesia.
"Karena memang saat ini bukunya ini untuk di pasar Amerika dan Eropa, jadi belum masuk di pasar Asia Tenggara. Jadi di Asia Tenggara harapannya nanti ini lebih murah karena soft cover," kata Ika.
Ika mengatakan buku itu tak hanya menulis tentang 'propaganda hitam'.' Propaganda putih' juga dibahas di buku ini. Ada perubahan konsep propaganda dewasa ini. Konsep propaganda dari top down kini sudah berubah menjadi propaganda partisipatoris dengan adanya media sosial yang memunculkan pekerjaan baru bernama 'pengusaha berita palsu'.
Ika mengatakan buku itu juga membahas persamaan narasi disinformasi di Indonesia dan Malaysia. Di antaranya terkait dengan agama dan investasi China.
"Kami juga membahas tentang persamaan narasi disinformasi di Indonesia dan Malaysia. Yang pertama itu ada disinformasi terkait dengan agama, karena memang kan dua-duanya muslim terbesar di Indonesia dan Malaysia. Jadi memang gampang banget nih memainkan sentimen agama," kata Ika.
"Yang kedua sebenarnya kita melihat itu adalah dengan China jadi disinformasi terkait dengan China. China ini Tiongkok ya di Indonesia sendiri karena kan kita ada dimensi polarisasi ekonomi itu berkaitan dengan anti-asing dan anti-Aseng. Jadi ada terkait dengan itu, jadi disinformasi terkait dengan anti-investasi China itu," ujarnya.
Dia mengatakan pengolahan disinformasi oleh negara sudah dilakukan dengan terstruktur. Menurutnya, buku itu akan menyadarkan masyarakat terkait kuatnya negara.
"Jadi tujuan saya sebenarnya menulis chapter ini biar sebenarnya kita juga sadar bahwa negara itu kuat banget," ujarnya. (detikcom/d)