Jakarta (SIB)
Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy menanggapi isu pemakzulan Presiden Jokowi dengan adanya gerakan petisi 100. Menurutnya, hal tersebut tidak masuk akal dan inkonstitusional.
Dengan adanya pertemuan 22 tokoh mewakili Petisi 100 dengan Menko Polhukam Mahfud Md, ada keinginan agar Pemilu 2024 tanpa Presiden Jokowi. Artinya sesegera mungkin dalam waktu satu bulan sampai 14 Februari 2014, Jokowi sudah harus dimakzulkan.
"Tiga lembaga yang berperan untuk memakzulkan seorang presiden, yaitu MPR, DPR, dan MK. Yang di mana MK harus memutuskan pendapat DPR itu terbukti secara sah dan meyakinkan, maka DPR menyampaikan usulan pemakzulan itu kepada MPR. Selanjutnya MPR akan memutuskan apakah presiden akan dimakzulkan atau tidak. Proses ini sangat panjang dan sulit dilaksanakan," ujar Rizaldy dalam keterangan tertulis, Senin (15/1).
Selain itu, pemakzulan dapat dilakukan dalam waktu lebih dari sebulan. Sebab, proses pemakzulan itu panjang dan memakan waktu. Prosesnya harus dimulai dari DPR yang mengeluarkan pernyataan pendapat bahwa presiden telah melanggar Pasal 7B UUD 45, yakni melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden.
"Tanpa uraian yang jelas hal apa dari Pasal 7B UUD NRI 1945 yang dilanggar presiden, maka langkah pemakzulan adalah langkah inkonstitusional," kata Rizaldy.
Rizaldy yang juga merupakan lulusan Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu juga menegaskan isu ini dapat mempengaruhi tahapan pilpres yang telah berjalan. Tinggal 30 hari lagi kita semuanya memasuki hari pencoblosan 14 Februari 2024.
"Bukan hanya soal hukum apa yang dilanggar presiden, tapi proses pemakzulan presiden memerlukan waktu yang panjang dan proses yang rumit Presiden Jokowi masih kuat posisinya saat ini," ujar Rizaldy.
Memang Indonesia pernah ada proses pemakzulan di Indonesia seperti sidang istimewa digelar DPR RI untuk memakzulkan Gus Dur dari kursi presiden, meski tidak diikuti Fraksi PKB dan PDKB pada 23 Juli 2001. Sidang istimewa juga dilakukan untuk mengangkat Megawati sebagai Presiden ke-5 RI sekaligus memilih Hamzah Haz yang kala itu menjabat Ketua Umum PPP sebagai wakil presiden melalui voting.
"Tapi ingat di zaman Presiden Gus Dur belum ada MK, sehingga proses saat ini sangat berbeda. Harus ada tiga aspek sekaligus yang dilanggar dan dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai presiden yaitu, aspek hukum, etik, dan konstitusi, hal ini tidak mudah. Dalam kasus Presiden Jokowi, Presiden masih kuat posisinya, sehingga mustahil ada pemakzulan," tutup Rizaldy.
Tidak Gegabah
Sementara itu, Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Partaonan Daulay meminta semua pihak untuk tidak gegabah menanggapi permintaan pemakzulan presiden. Sebab menurutnya permintaan tersebut bisa menimbulkan polemik dan kegaduhan. Apalagi, saat ini semua pihak fokus menghadapi pileg dan pilpres pada 14 Februari mendatang.
"Permintaan itu tidak jelas apa dasarnya. Mengapa sampai pada kesimpulan presiden harus dimakzulkan? Jangan hanya karena motif politik justru menimbulkan polemik dan perdebatan publik," kata Saleh dalam keterangan tertulis.
Saleh mengatakan terkait pemakzulan Presiden, hal tersebut sudah diatur dengan tegas di dalam UUD 1945. Di dalam pasal 7A disebutkan bahwa presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR setelah terbukti melakukan pelanggaran hukum, berupa; pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.
"Coba periksa, apakah ada pelanggaran hukum yang dilakukan presiden seperti yang diatur di dalam pasal tersebut? Bukankah malah justru sebaliknya bahwa Presiden Jokowi bekerja sangat baik. Popularitasnya sangat tinggi. Masyarakat sangat menyukai," jelasnya.
Karena itu, Saleh menilai permintaan pemakzulan itu dinilai sangat mengada-ngada dan tidak ada konteksnya sama sekali. Hal ini mungkin hanya mencari sensasi di tengah dinamika politik menjelang pilpres dan pileg.
Menurut Saleh, isu pemakzulan ini juga memiliki muatan politik yang sangat tinggi dan selayaknya diabaikan, tidak ditanggapi.(detikcom/c)