Jakarta (SIB)
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, mantan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej yang berjanji bisa membantu Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan mendapat surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari Bareskrim seperti mafia hukum.
Hal tersebut disampaikan Alex menjawab pertanyaan bagaimana cara Eddy dapat menjanjikan SP3 di Bareskrim, padahal posisinya berada di Kemenkumham. Menurutnya, siapa saja bisa membantu mengurus masalah tersebut asal memiliki uang.
"Ini yang istilahnya mafia hukum atau apa dan sebagainya. Kan seperti itu kejadiannya. Tidak saja orang-orang yang mempunyai kewenangan yang bisa mengatur, tetapi pihak di luar pun kadang-kadang bisa mengatur. Sepanjang itu tadi, ada harga dan cocok, ya sudah terjadilah di situ. Kan begitu," kata Alex di Jakarta, Jumat (8/12).
Alex mengatakan, siapa saja bisa menjanjikan untuk mendapat SP3 asal memiliki uang, meskipun yang bersangkutan tak memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat tersebut. Ia mencontohkan pengacara yang bisa mempengaruhi putusan hakim.
"Yang urusan SP3, kenapa bisa? Kenapa tidak bisa? Kan begitu. Saya balik lagi kenapa tidak bisa? Siapa saja bisa ngurus, kan gitu kan, asal punya duit. Sama saja kan, pengacara bisa mempengaruhi hakim, 'Kok bisa? Kan dia bukan yang memutus, yang memutus kan hakim'," ujarnya.
"Bisa aja. Kan namanya juga barangkali (Eddy Hiariej) kenal baik dengan pihak Bareskrim atau penyidiknya, bisa saja," kata Alex menambahkan.
Terserah Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah meneken keppres pemberhentian Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sebagai Wamenkumham. Menkumham Yasonna Laoly mengatakan penentuan pengganti Eddy merupakan kewenangan Jokowi.
"Belum, belum, belum. Terserah Bapak Presiden," ujar Yasonna di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/12). Yasonna menjawab pertanyaan wartawan apakah sudah ada nama pengganti Eddy.
"Iya, Presiden akan menentukan," lanjutnya.
Yasonna mengatakan belum mendapat pemberitahuan terkait keppres itu. Dia mengatakan Kemenkumham akan melakukan proses administratif setelah menerima keppres itu.
"Kita tinggal mendapat pemberitahuan keppres, Kamis barangkali sudah dikirim ke, apa... saya belum dapat. Kalau nanti saya lihat keppresnya, kita proses secara administratif di Kementerian," kata Yasonna.
Dugaan Suap
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan diduga Eddy menerima suap dari Helmut Hermawan selaku Dirut PT Citra Lampia Mandiri (CLM). Eddy, menurut Alex, diduga menerima suap dan gratifikasi melalui Yosi Andika Mulyadi selaku pengacara Eddy dan Yogie Arie Rukmana selaku asisten pribadi Eddy.
"Berawal dari terjadinya sengketa dan perselisihan internal di PT CLM dari tahun 2019 sampai 2022 terkait status kepemilikan. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, HH selaku Direktur Utama PT CLM berinisiatif untuk mencari konsultan hukum dan sesuai rekomendasi yang diperoleh yang tepat adalah EOSH. Sebagai tindak lanjutnya, sekitar April 2022, dilakukan pertemuan di rumah dinas," kata Alex kepada wartawan di KPK, Kamis (7/12).
Alex menyebut, terjadi kesepakatan bahwa Eddy siap memberikan konsultasi hukum terkait administrasi hukum umum PT CLM. Eddy kemudian menugaskan Yosi dan Yogi sebagai representasi dirinya.
"Besaran fee yang disepakati untuk diberikan HH pada EOSH sejumlah sekitar Rp 4 miliar," ucap Alex
Alex mengatakan, ada juga permasalahan hukum lain yang dialami Helmut di Bareskrim Polri. Eddy, menurut Alex, bersedia dan menjanjikan proses hukumnya dapat dihentikan melalui SP3 dengan adanya penyerahan uang sejumlah sekitar Rp 3 miliar.
"Sempat terjadi hasil RUPS PT CLM terblokir dalam sistem administrasi badan hukum (SABH) Kemenkumham karena akibat dari sengketa internal PT CLM, sehingga HH kembali meminta bantuan EOSH untuk membantu proses buka blokir dan atas kewenangan EOSH selaku Wamenkumham maka proses buka blokir akhirnya terlaksana. Informasi buka blokir disampaikan langsung EOSH pada HH," jelas Alex.
Helmut diduga kembali memberikan uang sekitar Rp 1 miliar untuk keperluan pribadi Eddy maju dalam pencalonan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti). Dasar kesepakatan antara Helmut dan Eddy untuk teknis pengiriman uang di antaranya melalui transfer rekening bank atas nama Yosi dan Yogi.
Total uang yang saat ini diduga dalam kasus ini berjumlah Rp8 miliar.
Helmut telah resmi ditahan di Rutan KPK. Sebagai pemberi, Helmut disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor. Sementara Eddy belum ditahan meskipun telah diperiksa sebagai tersangka. (CNNI/detikcom/c)