Jakarta (SIB)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan akan memberikan sanksi kepada industri yang tidak memasang scrubber. Kebijakan itu dilakukan untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya.
"Sanksi pasti dan bisa ditutup. Kemarin pas rapat sudah disampaikan, kalau tidak mau memperbaiki, tidak pasang scrubber, tegas untuk ini, karena harga kesehatan yang harus kita bayar sangat mahal sekali," kata Jokowi saat kunjungan di SMKN Jateng, Semarang, Rabu (30/8).
Bagi Jokowi, penanganan polusi di Jakarta perlu dilakukan bersama. Mulai dari beralih ke transportasi publik hingga penanaman pohon.
"Perpindahan dari transportasi pribadi ke transportasi publik, ke transportasi massal. Penanaman pohon yang sebanyak-banyaknya, di kantor-kantor, di halaman kantor-kantor, memang belum ada pohonnya, diwajibkan dan diharuskan," kata Jokowi.
Beberapa hal sudah dilakukan pemerintah. Termasuk modifikasi cuaca, pengecekan emisi kendaraan, dan pengawasan ke industri dan PLTU.
"Pengawasan kepada industri, PLTU, semuanya sekarang ini dilakukan. Kepada sepeda motor, mobil, kita cek semuanya emisinya. Memang perlu kerja total, kerja bersama-sama, tetapi memerlukan waktu, tidak bisa langsung. Termasuk pemakaian mobil listrik banyak yang kita kerjakan untuk menyelesaikan ini. Tapi memang bertahap," ujar Jokowi.
Modifikasi Cuaca
Pemerintah juga terus berupaya mengatasi polusi udara.
Sejak pekan kemarin, telah dilakukan modifikasi cuaca untuk mengatasi polusi udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sebagian wilayah Jakarta hujan berkat modifikasi cuaca, dan kualitas udara di wilayah Bogor membaik.
"KLHK mengikuti terus perkembangannya. Dalam record (catatan) KLHK, setelah hujan jam 15.30 WIB dari angka ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara) 97 untuk PM 2,5, pada jam 18.30 WIB angkanya drop menjadi 29. Artinya, kualitas udara jadi baik. Itu di Bogor Tegar Beriman," kata Siti Nurbaya dalam keterangan pers yang disiarkan langsung kanal Sekretariat Presiden, Jakarta, Senin (28/8).
Siti Nurbaya menerangkan di kawasan Tanah Sareal, hujan berhasil menurunkan polusi udara. Dari pukul 16.00 WIB, angka Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) adalah 87. Kemudian setelah hujan, angka ISPU menjadi 13.
Berkaca hasil modifikasi cuaca itu, Siti mengusulkan agar teknologi tersebut diterapkan setiap hari. Terlebih, hasil modifikasi cuaca pada 27 Agustus terdapat hujan di sejumlah wilayah, salah satunya Bogor.
"Perkiraan saya 28, tapi kata BMKG '27 bisa Bu Nur' gitu. Nah, ternyata 27 kan hujannya di Bogor, di beberapa tempat dan itu dari hasil pengamatan di stasiun pengamatan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU)-nya, itu bisa kelihatan ada kenaikan kualitas udaranya," jelas Siti, Rabu (30/8).
Siti memperkirakan pada 2 hingga 4 September 2023 dapat dilakukan lagi modifikasi cuaca. Dia menyarankan hal itu bisa saja dilakukan setiap hari sampai kualitas udara yang ideal.
"Nanti perkiraan saya sebetulnya harusnya tanggal 2-4 itu harus dilakukan lagi, harusnya sih setiap hari ya sampai idealnya.
(Modifikasi cuaca setiap hari) itu tergantung dari kondisi awan dan uap air yang harus di atas 70 persen. Kalau masih tipis, nggak akan turun hujan. Kayak kemarin kan mendungnya banyak ya, tapi di Jakarta nggak hujan kemarin, tapi di daerah lain ada hujannya," ungkapnya.
Alasan
Siti membeberkan alasan pentingnya modifikasi cuaca dilakukan di Jakarta. Dia menyebut salah satu faktornya karena udara di Jakarta sulit untuk bergerak.
"Sebetulnya soal teknologi jadi penting, kawan-kawan sebetulnya kalau cuaca atau lingkungan dikaitkan dengan teknologi. Coba kita inget-inget deh zaman nenek moyang kita dulu ya, kalau mau berlayar kan lihat rasi bintang dulu ya. Kalau bintangnya begini nyilangnya madep mana, oh berarti perahunya bisa jalan, ikannya yang banyak sebelah mana," ujar Siti.
"Itu kan alam sudah menuntun sebetulnya. Lalu, dalam perkembangan zaman, ada artificial-nya, cara-cara mereka mengikuti alam dan kemudian dilakukanlah peralatan-peralatan itu mendekati bagaimana situasi alamnya," tambahnya.
Atas hal itulah, teknik modifikasi cuaca perlu dilakukan dengan mempelajari perilaku alam. Meskipun, lanjut Siti, letak posisi geomorfologis Jakarta seperti kipas aluvial. (detikcom/a)