Senin, 31 Maret 2025

Sri Mulyani Jelaskan Panjang Lebar soal Rp 300 T, Nama Gayus Disebut

* Mahfud Ungkap Laporan Dugaan TPPU Ternyata Lebih Besar dari Rp 300 T
Redaksi - Selasa, 21 Maret 2023 09:18 WIB
464 view
Sri Mulyani Jelaskan Panjang Lebar soal Rp 300 T, Nama Gayus Disebut
Foto: Ist/harianSIB.com
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers memberikan penjelasan transaksi mencurigakan Rp 300 triliun.
Jakarta (SIB)
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi penjelasan panjang lebar soal laporan transaksi mencurigakan Rp 300 triliun yang bikin geger publik. Dia mengatakan nilai itu berasal dari 300 surat PPATK kepada Kemenkeu sejak 2009.
Sri Mulyani awalnya menjelaskan ada surat dari PPATK kepada Kementerian Keuangan pada 7 Maret 2023. Dia mengatakan surat itu berisi seluruh surat dari PPATK kepada Kemenkeu sejak tahun 2009 hingga tahun 2023.
"Surat dari kepala PPATK ini berisi seluruh surat-surat PPATK kepada Kementerian Keuangan terutama ke Inspektorat Jenderal dari periode 2009 hingga 2023, ada 196 surat. Surat ini adalah tanpa ada nilai transaksi, dalam hal ini hanya berisi nomor surat, tanggal surat, nama-nama orang yang ditulis PPATK dan kemudian tindak lanjut dari Kemenkeu," kata Sri Mulyani di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (20/3).
"Terhadap surat tersebut, 196 surat, Inspektorat Jenderal dan Kementerian Keuangan sudah melakukan semua langkah, makanya ini termasuk dulu Gayus sampai sekarang. Ada yang kena sanksi, ada yang kena penjara, ada turun pangkat, kita gunakan PP nomor 94 tahun 2010," sambungnya.
Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, mengatakan muncul pernyataan soal transaksi mencurigakan Rp 300 triliun. Dia mengaku belum menerima surat dari PPATK yang menyebut angka tersebut hingga Sabtu (11/3). Menurutnya, surat PPATK yang berisi angka baru diterima Kemenkeu pada 13 Maret.
"Yang ini 46 halaman lampirannya, berisi rekapitulasi data hasil analisa dan hasil pemeriksaan serta informasi transaksi keuangan berkaitan dengan tugas dan fungsi untuk Kementerian Keuangan 2009 sampai dengan 2023," ujarnya.
"Lampirannya itu, daftar surat di situ 300 surat dengan nilai transaksi Rp 349 triliun, sambungnya.
Dari 300 surat itu, katanya, 65 surat berisi transaksi keuangan perusahaan atau badan atau perorangan yang tidak ada kaitan dengan pegawai Kementerian Keuangan. Namun, katanya, surat itu dikirim ke Kemenkeu karena transaksi tersebut berkaitan dengan fungsi Kemenkeu seperti transaksi ekspor dan impor.
"65 surat itu nilainya Rp 253 triliun. Jadi artinya PPATK menengarai ada transaksi dalam perekonomian entah itu perdagangan, pergantian properti yang ditengarai ada mencurigakan dan itu dikirim ke Kementerian Keuangan supaya Kementerian Keuangan bisa follow up, tindak lanjuti sesuai fungsi kita," ucapnya.
Berikutnya, ada 99 surat yang dikirim PPATK kepada aparat penegak hukum dengan nilai Rp 74 triliun. Sisanya, kata Ani, baru lah surat yang menyangkut dengan pegawai di Kemenkeu.
"Sedangkan 135 surat dari PPATK tadi yang menyangkut ada nama pegawai kementerian keuangan, nilainya jauh lebih kecil, karena tadi Rp 253 plus 74 itu sudah lebih dari Rp 300 triliun," ucapnya.
Ani kemudian memberikan contoh salah satu surat berisi transaksi mencurigakan yang telah ditindaklanjuti oleh Ditjen Bea Cukai Kemenkeu. Surat itu, katanya, dikirim PPATK pada 19 Mei 2020.
Dia menyebut surat itu berisi soal transaksi Rp 189,273 triliun. Karena angka yang besar, katanya, Kemenkeu langsung menelusuri hal tersebut dan tidak menemukan hal mencurigakan karena transaksinya dilakukan pelaku ekspor dan impor.
"Sesudah dilihat, dari Bea Cukai, teliti nama-nama 15 entitas. Mereka adalah yang melakukan ekspor impor emas batangan dan emas perhiasan dan kegiatan money changers," ucapnya.
Dia mengatakan angka transaksi dari 15 entitas itu naik dan turun, terutama saat pandemi Corona terjadi. Dia juga mengatakan sudah membahas soal surat itu dengan PPATK pada September 2020.
"Waktu Bea Cukai mengatakan tidak menemukan di Bea Cukai ada kecurigaan, maka Pajak masuk," ucapnya.
Dia mengatakan Ditjen Pajak juga menerima surat dari PPATK dengan nilai transaksi Rp 205 triliun dari 17 entitas. Ditjen Pajak, katanya, kemudian melakukan penelitian sisi pajak dari 2017 sampai 2019.
Dia menyebut ada figur SB di dalam PPATK yang menyebut figur itu punya omzet Rp 8,247 triliun. Sementara, data dari SPT pajak, figur itu punya omzet Rp 9,68 triliun.
"Karena si orang ini memiliki saham di PT BSI, kita teliti BSI yang ada di dalam surat PPATK juga. PT BSI ini data PPATK menunjukkan Rp 11,77 triliun. SPT pajaknya menunjukkan, ini pajak dari 2017 hingga 2019, 3 tahun, SPT pajaknya Rp 11,56 triliun, jadi perbedaannya Rp 212 miliar. Itu pun tetap dikejar, kalau memang buktinya nyata maka si perusahaan itu harus membayar plus denda 100 persen," ujarnya.
"PT IKS 2018-2019, PPATK menunjukkan Rp 4,8 triliun, SPT menunjukkan Rp 3,5 triliun. Kemudian ada seseorang DY SPT-nya hanya Rp 38 miliar, tapi PPATK menunjukkan transaksinya mencapai Rp 8 triliun," ujar Sri Mulyani.
Perbedaan data itu kemudian dipakai Ditjen Pajak memanggil pihak-pihak bersangkutan. Dia mengatakan mucnul modus SB menggunakan rekening lima orang karyawannya.
"Termasuk kalau kita bicara transaksi ini adalah transaksi money changer," ucapnya.
Ani menegaskan Kementerian Keuangan sangat menghargai data PPATK. Dia juga menyatakan PPATK, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai selalu bertukar informasi untuk memberantas korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
"Dalam kondisi itu, di Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak sudah dilakukan 17 kasus tindak pidana pencucian uang yang hasilnya Rp 7,88 triliun penerimaan negara. Dan bea cukai ada delapan kasus tindak pidana yang hasilnya Rp 1,1 triliun. Nah, surat PPATK tersebut yang berkaitan dengan internal Kementerian Keuangan, oknum atau pegawai Kementerian Keuangan, mulai dari Gayus itu Rp 1,9 triliun sudah dipenjara, kemudian ada lagi saudara Angin Prayitno itu disebutkan transaksinya Rp 14,8 triliun oleh PPATK itu juga sudah dipenjara," ujarnya.[br]


Ternyata Lebih Besar
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan, transaksi mencurigakan Rp 300 triliun yang diungkapnya beberapa waktu lalu yang diduga merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu jumlahnya bisa lebih besar.
"Saya waktu sebut Rp 300 T, sesudah diteliti lagi transaksi mencurigakan itu ya lebih dari itu, Rp 349 T, (transaksi) mencurigakan," ujar Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (20/3).
Mahfud mengatakan, dalam kasus korupsi, biasanya jumlah TPPU lebih besar lagi jika ditelusuri lebih jauh. Hal ini, menurut dia, tentu menjadi bagian dari tugas PPATK dan kementerian terkait.
"Nah, kita membuat undang-undang tindak pidana pencucian uang itu dalam rangka itu, mencari yang lebih besar dari korupsi. Karena itu sebenarnya lebih besar kalau diburu, bisa lebih besar dari pidana korupsi pokoknya," ujar Mahfud.
"Nah ini bagian dari yang dilakukan oleh PPATK sesuai dengan tugas undang-undang, saya ketua komite, Bu Sri Mulyani anggota, Pak Airlangga Hartarto juga wakil dan seterusnya, semuanya berkewajiban melaksanakan ini," tambahnya.
Mahfud mengatakan TPPU lebih berbahaya daripada korupsi. Pasalnya, TPPU besar kemungkinan susah dilacak lantaran berkamuflase sebagai badan usaha.
"Pencucian uang itu lebih bahaya, kalau saya korupsi menerima suap Rp 1 miliar, dipenjara selesai itu, gampang. Tapi bagaimana uang yang masuk ke istri saya? Itu mencurigakan, dilacak oleh PPATK. Bagaimana perusahaan atas namanya itu tidak beroperasi, misalnya warung makan tidak beroperasi tapi omzetnya Rp 100 miliar, padahal tidak ada yang beli, tidak ada yang jaga juga, hanya ada nama," ujarnya.
"Nah itu yang disebut diduga, saya katakan sejak awal diduga, ini pencucian uang buka korupsi. Tapi pencucian uang dalam dugaan," tambahnya. (detikcom/d)



Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru