Jumat, 20 Desember 2024

Kesultanan Deli: Pelepasan Tanah Medan Club ke Pemprovsu Sudah Tepat

Redaksi - Jumat, 17 Februari 2023 10:21 WIB
524 view
Kesultanan Deli: Pelepasan Tanah Medan Club ke Pemprovsu Sudah Tepat
Foto: Ist/harianSIB.com
Areal lahan Medan Club, Jalan Kartini Medan. 
Medan (SIB)
Kepala Urusan Pertanahan Kesultanan Deli Prof Dr OK Saidin SH MHum mengatakan permasalahan pengalihan tanah pertapakan Medan Club di Jalan Kartini Medan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) tak perlu dibesar-besarkan.
"Bagi Sultan Deli, tanah pertapakan Medan Club itu bukanlah persoalan yang harus dibesar-besarkan. Apalagi utusan dari Pengurus Medan Club sudah mengatakan bahwa tanah itu akan digunakan untuk pembangunan. Khawatir juga kalau nanti tanah itu akan lepas kepada para pebisnis. Sudah tepatlah kalau itu jatuh di bawah Pemprovsu. Utusan Medan Club juga mengatakan akan memberi penghargaan kepada pihak Kesultanan Deli," ucap Prof OK Saidin yang juga bergelar Datuk Seri Amar Cendikia dalam siaran pers yang diterima SIB, Kamis (16/2).
Siaran pers itu mengatasnamakan Sultan Deli XIV Seri Paduka Tuanku Mahmud Lamantjiji Perkasa Alam melalui Pemangku Sultan Deli XIV Tengku Hamdy Osman Delikhan Al Haj Gelar Tengku Raja Muda Deli.
Berikut ini adalah isi siaran pers yang disampaikan Kepala Urusan Pertanahan Kesultanan Deli Prof Dr OK Saidin SH MHum.
Beberapa hari menjelang akhir tahun 2022 ini banyak pemberitaan media, baik media cetak maupun media elektronik mempertanyakan tentang pengalihan tanah pertapakan Medan Club kepada Pemerintah Provinsi. Ada yang mempersoalkan dari keabsahan status kepemilikan tanah Medan Club sampai pada persoalan heritage bangunan tua yang dibangun pada tahun 1879.
Bangunan yang semula bernama Club House Witte de Societit adalah merupakan tempat pertemuan para pengusaha perkebunan, pejabat pemerintah Hindia Belanda dan para bangsawan kerajaan di Kesultanan Melayu Sumatera Timur. Mulai dari Kerajaan Bilah, Panei, Koewaloeh, Kota Pinang, Batu Bahara, Serdang, Deli dan Langkat. Tak heran jika di kemudian hari anggota Club House itu terbatas dari kalangan orang-orang tertentu yang memang memiliki hubungan kekerabatan dengan pihak Kesultanan, Pihak Perkebunan dan para Penguasa di Hindia Belanda.
Pada masa penjajahan Jepang Club House itu digunakan sebagai Kuil Jepang dan markas Tentara Jepang yang digunakan juga untuk tempat menyimpan amunisi dan persenjataan. Segera setelah pendudukan Jepang berakhir, Club House itu masih digunakan oleh orang-orang yang selama pemerintahan Kolonial bergabung dalam Club House Witte de Societit, termasuk yang menjadi anggotanya adalah Sultan Deli.
Seiring berjalannya waktu, kepengurusan dan keanggotaan Club House silih berganti. Terakhir Club House itu berganti nama dengan sebutan Medan Club. Sifat dan struktur organisasinya tak banyak berubah, sekalipun kemudian club itu dihimpun dalam satu wadah berbadan hukum dalam bentuk perkumpulan yang bersifat nirlaba.
Karena wadahnya dalam bentuk perkumpulan, maka ada hak dan kewajiban anggotanya, misalnya kepada setiap anggota dikenakan uang iuran bulanan yang sebelumnya untuk menjadi anggota diwajibkan juga untuk memisahkan harta kekayaannya untuk kemudian menjadi kekayaan perkumpulan dalam bentuk uang pangkal.
Tentu saja karena ada kewajiban semacam itu, banyak anggota perkumpulan yang dulunya menjadi anggota kemudian terseleksi dengan sendirinya. Itu wajar saja dalam suatu organisasi dalam bentuk perkumpulan. Tak mudah menghidupkan organisasi di mana kebutuhan untuk merawat bangunan tua itu memerlukan anggaran yang tidak sedikit.
Tentu saja kita berterima kasih kepada pengurus perkumpulan itu (Pengurus Medan Club) yang selama bertahun-tahun dapat menjaga dan merawat warisan peradaban masa lalu yang kelak di kemudian hari akan menjadi catatan bahwa di negeri ini pernah ada peninggalan semacam itu. Itulah ada bukti dari peradaban masa lalu. Sejarah yang memberi banyak catatan tentang kota yang disebut sebagai Parisj van Soematra. Kota yang damai, aman dan penuh dengan keindahan. Kota yang dibangun dengan semangat kebersamaan antar berbagai etnik.
Kabar tentang kota ini tersebar di seantero dunia. Ada sebuah negeri yang indah, aman damai dan Sentosa. Sejak itu berdatanganlah orang-orang dari seluruh penjuru dunia, seluruh pelosok nusantara, menuju negeri Deli yang bertuah. Mulai dari Penang, Arab, India, Jawa dan negeri-negeri tetangga yang berdampingan dengan Kesultanan Deli, dari Aceh, Minang, Tanah Karo, Tanah Batak, Tanah Mandailing dan lain-lain sebagainya. Sultan Deli dengan kearifannya menempatkan para pendatang dengan pembagian garis wilayah :
• Mereka dari golongan Tionghoa yang pandai berbisnis ditempatkan di Kesawan.
• Mereka dari golongan alim ulama yang datang dari Tanah Mandailing ditempatkan di Kampung Baru.
• Mereka yang datang dari tanah Minang, pandai mengaji dan berdakwah serta urusan kuliner ditempatkan di Kota Maksum.
• Mereka yang datang dari Aceh ditempatkan di kawasan Darussalam.
• Yang datang dari Arab ditempatkan di kawasan Kampung Dadap dan sekitarnya.
• Mereka yang datang dari India diberi tempat di Kampung Madras dan Kawasan Polonia.
Sultan juga menerbitkan Akta Vanschekengking untuk kantor-kantor perwakilan asing yang berkedudukan di Siak, yaitu di wilayah yang disebut Gementee. Sultan Deli berdaulat penuh di bawah pemerintahan sendiri yang disebut Pemerintahan Swapraja dengan sistem monarchi absolut yang kelak disempurnakan menjadi monarchi konstitusional, Sultan diangkat silih berganti berdasarkan hukum adat yang qanun di Kesultanan Deli. Sultan baru diangkat menggantikan sultan yang sebelumnya pada saat sebelum pemakaman. Raja mangkat Raja menanam. Peradilan adat didirikan di bawah Mahkamah Dewan Kerapatan Adat. Rakyat yang ingin memiliki hak-hak atas tanah diberikan sertifikat yang disebut Grant Sultan. Perkebunan-perkebunan asing yang luas diberikan hak sewa yang diterbitkan dalam Akte Konsesi. Dalam Akte Konsesi dimuat kewajiban pihak perkebunan antara lain:
• Memberi hak kepada rakyat untuk bercocok tanam pada masa berat, saat tanah tidak ditanami tembakau.
• Tidak menebang pohon tualang, tempat lebah bersarang, agar rakyat dapat mengambil madu lebah.
• Membiarkan akses jalan yang membelah kebun untuk menghubungkan antar kampung.
• Membiarkan tanah petapakan perkuburan dan tempat-tempat yang dikeramatkan.
• Membebaskan rakyat untuk mengambil pasir atau mineral di sungai dan memanfaatkan air sungai yang melintas di dalam areal konsesi.
Jika di atas konsesi itu dibangun sarana-sarana lain seperti perumahan, kantor oleh perusahaan lain antara perusahaan lain itu dengan pihak pemegang konsesi, dibuat perjanjian dan dicatatkan yang disebut dengan eigendom pervonding. Jangan dibayangkan kota Medan dahulu, seperti kota Medan yang sekarang ini.
Di Kawasan Sei Serayu, Sei Sikambing, Jalan Serdang, Jl.M Ya'cub yang di Medan disebut Pasar I, Pasar II, Pasar III dan seterusnya adalah wilayah perkebunan tembakau. Nama Pasar I, Pasar II dan seterusnya itu untuk menyebutkan jalan-jalan di tengah perkebunan yang membatasi afdeling-afdeling kebun.
Tak banyak orang tahu tentang sejarah Jalan Antara, Peringgan dan Jalan Perbatasan. Sebutan itu untuk menunjukkan batas-batas wilayah yang membatasi antara wilayah Tanah Kerajaan dengan Wilayah Pemerintah Kota (Gementee). Begitulah, semua memiliki sejarahnya sendiri. Tidak terjadi dengan tiba-tiba. Semuanya memiliki sejarahnya, semua memiliki Asbabun Nuzul.
Terkait tentang status tanah Medan Club yang dihebohkan saat ini. Harus diakui tanah itu pun adalah berasal dari tanah Kesultanan Deli yang masuk Wilayah Kedatukan Sukapiring.
Tanah itu adalah yang dikonsesikan Sultan Deli kepada Deli Maatschappij pada tanggal 2 Desember 1889 (yang merupakan penyempurnaan dari Kontrak Induk Mabar Deli Toewa Contract 1874), yang ditandatangani oleh Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah mewakili pihak Kesultanan Deli dan Jacob.T Cremer sebagai Direktur Deli Maatschappij. Ketika sebagian tanah itu digunakan untuk perkumpulan, maka oleh Direktur Deli Maatschappij diberi izin untuk menggunakan tanah itu. Tanah yang sudah dikonsesikan jika ingin dipergunakan oleh pihak lain, di atas tanah itu dapat diterbitkan hak setelah mendapat persetujuan dari Kesultanan Deli dan pihak Deli Maatschappij. Hak yang tersebut di atas tanah yang sedang terikat Konsesi namanya dom Pervonding.
Terkait itu, terbitlah Eigendom Pervonding No.42 di atas lahan perkumpulan itu. Pasca Kemerdekaan hak itu dikonversi menjadi Hak Pakai No.415 kemudian dalam proses selanjutnya menjadi HGB No.688.
Jika dilihat dari kacamata juridis, Medan Club sudah mendapatkan hak sesuai dengan ketentuan perolehan hak-hak atas tanah menurut UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Organiknya semisal PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Perkumpulan Medan Club telah memenuhi syarat itu untuk mendapatkan HGB No.688. Jika hari ini Perkumpulan Medan Club mengalihkan haknya kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan instrumen PP No. 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, itu pun secara normative sah-sah saja.
Persoalannya hari ini adalah, persoalan hak-hak kesejarahan yang didasarkan pada sistem hukum adat. Bukankah UUPA bersandar pada hukum adat. Bukankah penegasan itu dituangkan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA?
Benarkah di atas obyek tanah itu tidak ada lagi hak keperdataan Kesultanan Deli. Di sinilah kita harus dengan rendah hati dan arif mendudukkan persoalan ini. Satu-satunya Lembaga yang dapat membatalkan No.688 itu adalah Sultan Deli.
Akan tetapi sejak dulu-dulu Sultan Deli adalah orang yang Arif lagi bijaksana. Ada titah di Kesultanan Deli, selagi tanah-tanah itu digunakan untuk kepentingan umum, kemaslahatan umat, Sultan Deli tidak akan menggugat haknya. Lain hal kalau tanah-tanah itu digunakan untuk kepentingan bisnis.
Begitupun agar Kesultanan Deli tidak menuai fitnah, pihak Pengurus Medan Club dan Pemprovsu harus transparan. Kesultanan Deli tak ingin mendapat fitnah bahwa sudah ada bagian Sultan Deli yang dikucurkan. Pihak Pengurus Medan Club harus juga memahami, jika Kesultanan Deli hari ini tidak melakukan gugatan bukan berarti Kesultanan Deli tidak memiliki hak keperdataan.[br]



Itulah sebabnya muncul Somasi dari Kedatukan Sukapiring yang sejak awal itu tidak di bawah restu Sultan Deli. Alhamdulillah Datuk Sukapiring sudah mencabut kuasanya. Sultan Deli pun sampai hari ini tidak menanyakan model seperti apa yang akan dilakukan oleh Pihak Pengurus Medan Club terhadap Kesultanan Deli.
Ini persoalan niat baik. Persoalan iktikad baik. Jika Pengurus Medan Club bisa memberi anggotanya penghargaan semacam sagu hati, pastilah Pengurus Medan Club tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki budaya tinggi paham melakukan yang terbaik juga untuk Kesultanan Deli. Itu yang dapat kami tangkap dari utusan Pengurus Medan Club yang datang menghadap kami.
Dalam hukum ada namanya asas kepatutan dan iktikat baik. Apa yang patut dan apa yang tak patut untuk dilakukan. Oleh karena itu kami himbau kepada pihak-pihak yang tak punya sangkut paut kesejarahan dengan hak-hak atas tanah itu, jangan terlalu jauh membincangkan hal itu. Karenanya kami ingin ditegaskan, "satu-satunya yang bisa mempersoalkan obyek tanah itu adalah pihak Kesultanan Deli".
Akan tetapi kami, Sultan Deli tak ingin mempersoalkannya terlalu jauh, apalagi sampai ke ranah Pengadilan. Karenanya, kami menyambut baik adanya gagasan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk "menyelamatkan" heritage bersejarah "Medan Club" di Kota Medan yang merupakan bukti peninggalan peradaban keberhasilan pembangunan perkebunan di tanah Deli pada masa itu.
Sejauh ini menurut yang kami ketahui Perkumpulan ini sulit untuk dapat dikembangkan jika hanya bersandar pada upaya meneruskan tujuan perkumpulan yang semata-mata untuk bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang bersifat nirlaba.
Oleh karena itu jika niat baik pihak Pemprovsu untuk menyelamatkan heritage itu, tanpa menghilangkan keberadaan Medan Club sebagai suatu badan perkumpulan, tentu ini merupakan terobosan yang patut kita apresiasi dan pihak Kesultanan Deli memberi dukungan penuh.
Dengan demikan heritage dapat terperlihara di bawah naungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dan Medan Club tidak kehilangan nilai sejarahnya. (rel/A17/a)



Baca Juga:
Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru