Jakarta (SIB)
Sejumlah delik agama di RKUHP dinilai perlu dikaji dan diulas lagi sebelum disahkan. Sebab, delik agama di RKUHP dinilai masih sangat luas dan multitafsir.
Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Belief (ISFoRB) menyoroti persoalan terkini yang mengemuka dan sangat penting bagi seluruh masyarakat Indonesia, yaitu pembahasan RKUHP.
"Secara umum ISFoRB berpendapat bahwa diskusi dan dialog masih perlu dilakukan, mengingat luas dan beragamnya topik yang dibahas serta banyaknya kelompok masyarakat di Indonesia," demikian keterangan pers ISFoRB/Jaringan Akademisi Indonesia untuk KBB), yang diterima, Senin (28/11).
Khusus mengenai Bab Tindak Pidana terhadap Agama, ISFoRB menilai adanya perkembangan positif dalam rumusan bab tersebut.
Tetapi ISFoRB juga menyoroti beberapa hal yang masih perlu dibuka pembahasannya, demi mendapatkan rumusan RKUHP yang lebih baik, mengingat RKUHP merupakan dokumen historis yang telah lama diperjuangkan.
"Salah satu yang masih perlu dipertimbangkan adalah kemungkinan kriminalisasi berlebihan pada tiga aspek. Pertama, karena agama dimasukkan sebagai objek tindak pidana. Kedua, karena adanya peluang penafsiran ekstensif mengenai ancaman kekerasan untuk membuat orang tidak beragama," tulis ISFoRB.
Catatan ketiga, muncul perluasan yang luas di RKUHP, yaitu faham yang bertentangan dengan Pancasila. Hal ini dinilai mengkhawatirkan.
"Karena munculnya tambahan kriminalisasi 'faham baru yang bertentangan dengan Pancasila', yang membuka ruang penafsiran terlalu luas, termasuk kemungkinan bahwa ia membatasi kebebasan pikiran, kesadaran nurani, dan agama/kepercayaan," kata ISFoRB.
Untuk diketahui, akhir pekan lalu telah terbentuk kepengurusan ISFoRB. Inisiatif pembentukan organisasi berawal dari diskusi para alumni Fellowship Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di CRCS-UGM, bertepatan dengan penyelenggaraan International Conference on Religion and Human Rights pada 20 Juli 2022.
Kepengurusan pertama ISFoRB telah terbentuk, yang terdiri atas para akademisi lintas disiplin dari berbagai perguruan tinggi.
Pembentukan ISFoRB dilatarbelakangi oleh situasi HAM di Indonesia saat ini, khususnya terkait kebebasan beragama atau berkeyakinan. Sejak demokratisasi 1998, Indonesia telah memperkuat pengakuan terhadap HAM.
Berbagai dokumen era Reformasi dari Tap MPR No XVII/MPR/1998 dan UU No 39/1999 tentang HAM, hingga Amandemen UUD 1945 telah memberikan jaminan kuat terhadap HAM. Seiring dengan hal tersebut, advokasi untuk KBB pun terus berkembang.
Jaga Keharmonisan Negara
Sementara itu, Juru Bicara RKUHP Albert Aries menampik ISFoRB yang menyatakan delik agama di RKUHP dinilai masih sangat luas dan multitafsir.
"Alasannya, perumusan Pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP masih diperlukan pengaturannya di Indonesia, karena isu agama dan kepercayaan merupakan hal yang perlu dijaga persatuan dan keharmonisannya di negara yang multireligi seperti Indonesia," kata Albert Aries dalam keterangannya kepada wartawan.
Justru perumusan Pasal 300 RKUHP yang berasal dari Pasal 156A KUHP ini telah disesuaikan berdasarkan masukan dari masyarakat sipil dengan mengadopsi ketentuan Pasal 19 ayat 2 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik/ICCPR), yang berbunyi:
Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar Kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.
Oleh karena itu, substansi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP yaitu permusuhan, kebencian, atau menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain dianggap telah memenuhi prinsip lex certa dan lex stricta yang disyaratkan dalam Asas Legalitas yang berlaku universal.
"Sedangkan mengenai pandangan dari ISFoRB yang mengatakan peluang penafsiran ekstensif mengenai 'ancaman kekerasan' untuk membuat orang tidak beragama dalam Pasal 302 ayat 2 RKUHP, karena mengenai 'ancaman kekerasan' juga sudah dijelaskan dalam Pasal 157 RKUHP (Buku I), yaitu:
Setiap perbuatan berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya Kekerasan.
Di pihak lain, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) mengungkap sejumlah item dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang akhirnya disepakati pemerintah dan DPR untuk dimasukkan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Apa saja?
Pertama, perihal living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Eddy mengatakan DPR RI meminta adanya pasal yang bisa dijadikan sebagai pedoman untuk penyusunan peraturan daerah (perda).
"Living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, fraksi-fraksi DPR meminta agar ada peraturan pemerintah yang jadi pedoman untuk penyusunan perda terkait dengan living law itu," kata Eddy usai rapat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (28/11).
Kedua pasal mengenai pidana mati. Eddy menjelaskan, dalam RKUHP ini, hakim tidak bisa langsung memvonis pidana mati. Hal ini menurutnya sangat berarti bagi kemajuan perlindungan HAM.
"Perkembangan sangat berarti bagi HAM yaitu pidana mati, jadi dengan diberlakukan KUHP baru, pidana mati selalu dijatuhkan secara alternatif dengan percobaan, artinya hakim tak bisa langsung memutuskan pidana mati, tapi pidana mati itu dengan percobaan 10 tahun. Jika dengan jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati diubah pidana seumur hidup, atau pidana 20 tahun," tuturnya.
Pasal lainnya yang disepakati mengenai penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Eddy mengatakan, pasal penghinaan terhadap pemerintah menjadi delik aduan. Pemerintah yang dimaksud adalah presiden dan wakil presiden.
Sementara lembaga negara yang dimaksud yakni DPR, MPR, dan DPD, serta MA dan MK.
"Hal lain yang penting diketahui, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum itu dihapuskan, itu kemudian kami tambahkan ada pasal 240 RKUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah, yang itu juga sangat dibatasi, bahwa pemerintah di sini adalah lembaga kepresidenan. Sementara penghinaan terhadap lembaga negara itu, terbatas legislatif yaitu DPR MPR DPD, sementara terhadap yudikatif hanya dibatasi untuk MA dan MK dan itu delik aduan," papar Eddy.
Sementara, terkait kejahatan narkotika, RKUHP tidak akan secara khusus mengaturnya. Eddy menjelaskan, hal itu lantaran kejahatan narkotika akan secara khusus diatur dalam UU Narkotika yang saat ini sedang dalam pembahasan di DPR.
"Kemudian terkait kohabitasi, ini ada win win solution. pasal itu ada, kemudian ada dalam penjelasan bahwa dengan berlakukanya pasal ini maka semua peraturan perundang-undangan di bawah KUHP yang berkaitan dengan kohabitasi itu dinyatakan tidak berlaku," ungkap Eddy.
Eddy melanjutkan, Pemerintah dan DPR juga sepakat menghapus pasal-pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menurutnya, hal ini merupakan kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
"Yang terakhir, yaitu KUHP ini dia menghapus pasal-pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jadi saya kira ini suatu kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi. Karena saya tahu persis terutama teman-teman media selalu mengkritik bahwa teman-teman aparat penegak hukum mengundangkan Undang-Undang ITE untuk melakukan penangkapan dan penahanan dan lain sebagainya," beber Eddy.
"Untuk tidak terjadi disparitas dan gap maka ketentuan-ketentuan di dalam itu kami masukkan ke dalam RKUHP tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian yang dengan sendirinya mencabut ketentuan-ketentuan pidana khususnya pasal 27 dan pasal 28 yang ada dalam Undang-Undang ITE," imbuhnya.
Serap Aspirasi Masyarakat
Lebih lanjut, Eddy menegaskan bahwa pemerintah sudah mengakomodasi aspirasi dari masyarakat. Menurutnya, pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR juga sudah berdiskusi dengan Koalisi Masyarakat Sipil.
"Kami informasikan bahwa teman-teman ICJR yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil itu aktif sekali melakukan diskusi dengan kami tim pemerintah maupun dengan fraksi-fraksi di DPR," ujar Eddy.
Ada 624 Pasal
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Marcus Priyo Gunarto mengatakan, saat ini ada 624 pasal yang diatur dalam 43 bab di RKUHP. Jumlah itu didapatkan lantaran ada sejumlah pasal yang akhirnya didrop atau tidak dimasukkan.
"Jadi posisi terakhir dari RKUHP itu yang semula itu adalah 628 pasal sekarang posisi di terakhir itu tinggal 624 pasal karena ada beberapa pasal yang kita drop yang kemudian itu nanti diatur di dalam 43 bab," ujar Marcus. (detikcom/c)