Kamis, 26 Desember 2024

Pertemuan Menkes G20 di Bali Hasilkan 6 Arsitektur Kesehatan

Redaksi - Senin, 31 Oktober 2022 11:38 WIB
403 view
Pertemuan Menkes G20 di Bali Hasilkan 6 Arsitektur Kesehatan
Foto: AFP/SONNY TUMBELAKA via MediaIndonesia
BERBICARA: Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin berbicara pada pertemuan puncak para menkes G20 di resor Jimbara, Bali, Jumat (28/10). (
Badung-Bali (SIB)
Sejumlah Menteri Kesehatan bertemu dalam acara G20 the 2nd Health Ministers Meeting (HMM) di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, tanggal 27 hingga 28 Oktober 2022.

Pertemuan itu telah menyepakati enam tindakan utama untuk merealisasikan arsitektur kesehatan global yang dirangkum dalam dokumen teknis.

"Kita setuju, ada enam (tindakan utama) yang akan dilakukan tadi," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat konferensi pers The 2nd Health HMM, Jumat (28/10) sore.

Pertama, pembentukan Pandemi Fund atau Financial Intermediary Fund (FIF) for Pandemic yaitu gugus tugas gabungan keuangan dan kesehatan dengan mengajak negara G20 mencapai dana perantara keuangan untuk pandemi.

"Ini merupakan full on funding. Di mana 18 institusi sudah komit untuk memberikan pendanaan agar dunia siap menghadapi future pandemic," imbuhnya.

Kedua adalah regulasi yang jelas tentang tata cara akses penggunaan dan ketersediaan dana FIF untuk menghadapi pandemi di masa depan.

"Jadi begitu uangnya sudah masuk, sekarang yang kita omongin penggunaan dananya, habis dananya digalang, sudah cukup ini, sudah beberapa puluh triliun. Dan belajar dari pengalaman sebelumnya pada saat pandemi terjadi penggunaan dananya itu agak belibet juga," ujarnya.

"Karena banyak institusi kita juga bingung, siapa, mesti melakukan apa, dan kita mau menggunakan contoh yang sebelumnya, di pandemi sebelumnya agar kita jangan lagi bingung, kalau nanti kejadian lagi di kasus (pandemi) ini," ungkapnya.

Namun, kata Budi, belajar dari kondisi sebelumnya, ada satu format di beberapa internasional organisasi itu bekerja bersama untuk bisa menyusun penggunaan dana terutama akses ke vaksin, obat-obatan dan lainnya.

"Kemarin itu agak timpang, Negara-negara yang maju bisa dapat akses yang sangat baik, tapi Negara-negara berkembang tidak dapat akses itu. Nah itu yang akan dirapikan," ujarnya.

Kesepakatan ketiga adalah pengembangan sektor pengawasan genomik yang bisa membuka jalan untuk mengawasi dan mencegah potensi pandemi.

"Jadi kalau virus ini terjadi lagi, di manapun dia berada kita sudah membangun agreement. Di mana sharing dari informasi mengenai patogen ini, baik itu virus maupun bakteri atau parasit bisa kita lakukan dengan lebih cepat dengan format yang sama," ujarnya.

Berikutnya, berhubungan dengan sistem sertifikat perjalanan digital yang mencantumkan data vaksin dan informasi kesehatan pelaku perjalanan internasional untuk saling berkolaborasi melakukan pengawasan importasi penyakit menular.

"Jadi kalau orang mau pergi-pergi, kita dulu punya pasport itu secara legal tapi secara kesehatan kita mau juga, apakah orang Indonesia sudah divaksin, apakah orang ini sudah dites, dan tesnya hasilnya baik apa tidak," ujarnya.

"Sehingga nanti keluar pandemi berikutnya, misalnya monkeypox atau ada camelpox, pigpox atau segala macam itu, yah kita bisa cepat bilang orang-orang ini sudah divaksin kok, dan sudah dites negatif. Sehingga, tidak menghambat pergerakan essential goods and services di dunia. Karena, kalau itu terhambat terutama itu berkaitan dengan pangan, obat-obatan dengan energi itu menimbulkan masalah di luar masalah kesehatan lainnya," ujarnya.

Kelima, kesepakatan melakukan analisis dan pemetaan dari riset, penelitian dan jaringan laboratorium untuk pemerataan akses layanan kesehatan.

"Kita lihat namanya research and development dan kapasitas pabrikasi manufacturing itu sangat berbeda antara negara utara dan negara-negara berkembang di selatan. Dan kita sadar bahwa secara etis kalau semuanya ada di utara saja, itu tidak baik karena ada isu pemerataan," ujarnya.[br]




"Tetapi secara sains pun tidak benar, karena tidak mungkin ada sebuah negara yang bisa bersih dari pandemi. Sementara, negara lain tidak. Otomatis negara yang tidak bersih akan menularkan kembali virusnya ke negara maju yang sudah bersih tadi," lanjutnya.

Poin keenam, adanya tindakan yang jelas untuk meningkatkan pendanaan penanggulangan tuberkulosis dan inisiatif kesehatan terpadu dan ajakan tindakan penyempurnaan dalam kapasitas untuk mencegah, mendeteksi dan menanggapi kekebalan antibiotik atau AMR.

Selain itu, Budi melihat kesehatan hewan karena dari beberapa pengalaman bahwa pandemi mulainya dari hewan dan menular ke manusia seperti Sars-CoV-2.

"Artinya, bagaimana kita mengintegrasikan antara kesehatan manusia dan kesehatan hewan. Karena pengalaman kita, hampir semua pandemi itu mulainya dari hewan dan loncat ke manusia. Ini Sars-CoV-2 penyebab virus ini diduga loncatnya dari kelelawar, dulu kita punya Asian Flush diduga dari burung dan pig flush dari babi, dulu ada penyakit namanya black death dari kutu yang ada di tikus," ujarnya.

"Sebenarnya kalau kita bisa integrasi semua pengawasan yang dilakukan sebelum masuk ke manusia di hewan dulu saja. Mana bakteri virus yang kemungkinan untuk loncat kita cari obatnya, vaksinasnya, dan itu jauh lebih mudah dan cepat pada saat loncatan itu terjadi kita sudah siap," ujarnya. (Merdeka/a)



Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru