Jakarta (SIB)
Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung, Senin (3/10) menyetujui 12 dari 14 permohonan penghentian penuntutan perkara pidana umum (Pidum) yang diajukan sejumlah Kejari di Indonesia berdasarkan keadilan restorative atau restorative justice (RJ).
“Persetujuan tersebut setelah terlebih dahulu dilakukan ekspose secara virtual yang dihadiri JAM-Pidum Fadil Zumhana, Direktur TP Oharda Agnes Triani, Koordinator pada JAM Pidum dan Kajati serta para Kajari yang mengajukan permohonan RJ,” kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam siaran persnya Via WA kepada wartawan, Senin (3/10).
Sebagai pertimbangan disetujuinya penghentian penuntutan itu karena telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Kemudian tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun dan tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Ke 12 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya yaitu; satu tersangka dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Selatan yang disangka melanggar Pasal 45 Ayat (3) jo Pasal 27 Ayat (3) Undang undang (UU) RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Satu tersangka dari Kejari Aceh Singkil yang disangka melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan, dua tersangka dari Kejari Aceh Tengah yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo Pasal 76 C jo.
Pasal 80 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dua tersangka dari Kejari Aceh Tengah yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Satu tersangka dari Kejari Mamuju yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, satu tersangka dari Kejari Kabupaten Gorontalo yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, satu tersangka dari Kejari Ambon yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Penganiayaan.
Kemudian satu tersangka dari Kejari Konawe Selatan yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) jo Pasal 5 huruf a UU Nomor 23 Tahun 2004 atau Pasal 44 Ayat (4) jo.
Pasal 5 huruf a Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, satu dari Kejari Buton yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, satu tersangka dari Kejari Kabupaten Tangerang yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) jo Pasal 76 C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Dua perkara tidak disetujui
Sementara berkas perkara yaitu satu dari Kejari Mamuju yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan dan satu tersangka dari Kejari Bandarlampung yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-4 dan ke-5 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan, tidak dikabulkan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
“Alasannya, karena perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” kata Kapuspenkum. (BR1/a)