Jakarta (SIB)
Guru besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Benny Riyanto mengungkapkan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) perlu segera disahkan untuk mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan hukum pidana baru yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.
Ia menjelaskan ada pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana saat ini, yakni dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban), dan rehabilitatif (bagi keduanya).
Benny mengemukakan rencana pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang sebenarnya disetujui pada rapat paripurna 2019. Kendati demikian, Presiden Joko Widodo pada 23 September 2019 meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP bersama 3 RUU lainnya, yakni RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba lantaran menuai penolakan.
"Ditunda pengesahannya supaya kami bisa mendapat masukan-masukan, maupun substansi yang lebih baik dan sesuai keinginan masyarakat," ujar Jokowi dalam keterangan tertulis, Minggu (28/8).
Lebih lanjut, Benny menerangkan protes terhadap RUU KUHP diprakarsai oleh minimnya pelibatan partisipasi publik dan beberapa pasal yang kontroversial. Untuk itu, pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi melalui diskusi dan seminar.
"Pembentukan RUU KUHP sudah memenuhi asas meaningful participation atau partisipasi yang bermakna. Partisipasi yang bermakna mencakup tiga unsur, yaitu hak untuk didengar, hak untuk mendapat penjelasan, dan hak untuk dipertimbangkan," jelasnya.[br]
Ia mengatakan beberapa rumusan norma dalam RUU KUHP juga mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Misalnya, rumusan norma dalam pasal tentang penodaan agama dan aborsi.
Selain itu, lanjutnya, RUU KUHP juga memasukkan norma terkait tindak pidana khas Indonesia, seperti menyatakan diri memiliki kekuatan gaib yang dapat mencelakakan orang lain.
Benny menambahkan RUU KUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya dan bangsa. Dalam RUU KUHP Pasal 477 misalnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai budaya dan bangsa di mana persetubuhan dengan anak di bawah usia 18 tahun, meski didasari suka sama suka, dikategorikan sebagai perkosaan.
"Bahkan perbuatan cabul tertentu juga dianggap perkosaan. Tapi hal yang paling penting dalam RUU KUHP adalah memasukkan norma yang melindungi Pancasila," lanjutnya.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, Benny mengungkapkan substansi RUU KUHP sudah sangat ideal sebagai norma hukum pidana nasional.
"Maka perlu segera disahkan, mengingat anggota DPR pada tahun 2022 ini masa sidangnya tinggal dua kali lagi," ujarnya.
"Andai kata ada ketidak lengkapan dari RUU KUHP masih tersedia mekanisme revisi undang-undang bahkan kalau ada norma yang dianggap keliru bisa melalui uji di Mahkamah Konstitusi," tambah Benny.
Sementara itu, Kepala BIN Budi Gunawan menyebut KUHP yang digunakan Indonesia saat ini merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda.
"KUHP peninggalan jaman kolonial Belanda yang masih kita pakai sampai saat ini secara politik hukum belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa apalagi nilai-nilai dasar Falsafah Negara yaitu Pancasila. Oleh karenanya, semua produk hukum kolonial perlu segera diganti dengan produk hukum nasional," imbuhnya.[br]
Lebih lanjut, ia menjelaskan gagasan pemerintah untuk mengajukan RKUHP kepada DPR merupakan kehendak yang patut diapresiasi. Sebab sejak digagas tahun 1964 oleh para guru besar dan ahli hukum pidana, RKUHP merupakan suatu perubahan sistem hukum pidana yang dinamis sifatnya, baik dari sisi tempat (place), ruang (space) dan waktu (time).
Karenanya, lanjut Budi, pembaruan hukum pidana melalui RKUHP tidak saja mempertimbangkan faktor asas demokratisasi, modernisasi dan dekolonisasi sistem Hukum Pidana, tetapi juga mempertimbangkan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat, living law (adat), yang dilakukan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi Hukum Pidana.
"Bahkan, RKUHP telah mengantisipasi pengaruh globalisasi yang universal di bidang ekonomi dengan dampak dan efeknya pada peran kompetensi hukum pidana," ucapnya.
Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Marcus Priyo Gunarto menyebut potensi perbedaan pendapat rumusan delik dalam RUU KUHP sebagai hal yang wajar.
"Tetapi jika kita bersedia melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi di balik rumusan delik yang telah digagas para guru besar hukum pidana sejak 1964, mungkin kita baru mengerti maksud dan tujuan dari rumusan delik tersebut," katanya.
Ia juga menegaskan proses sosialisasi RKUHP mutlak harus dilakukan.
"Bahkan setelah disahkan sebagai undang-undang sekalipun, penyuluhan hukum pidana baru tetap diperlukan," pungkasnya. (detikcom/c)