Partai pemilik 50 kursi di Senayan, PKS mengajukan judicial review soal presidential threshold 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK). PKS berharap angka itu bisa turun menjadi 7-9 persen. Bukan gugatan pertama. Puluhan gugatan sebelumnya kandas.
Berdasarkan catatan, gugatan serupa pernah diajukan puluhan kali dan kandas. Berikut sebagian di antaranya yang dirangkum, Senin (1/8):
1. PBB diwakili oleh Ketumnya Prof Dr Yusril Ihza Mahendra. Hasil ditolak untuk seluruhnya.
2. Pimpinan DPD RI yaitu Aa La Nyalla Mahmud Mattalitti, Nono Sampono, Dr. H. Mahyudin ST. MM dan Sultan Baktiar.
Hasilnya tidak diterima.
3. Pemohon: Lieus Sungkharisma. Putusan MK: Tidak dapat diterima
4. Pemohon: Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, SH., MH, Fahira Idris, SE., MH. Putusan MK: Tidak dapat diterima
5. Pemohon: Ikhwan Mansyur Situmeang. Putusan MK: Tidak dapat diterima.
6. Pemohon: Ferry Joko Yuliantono SE AK. Putusan MK: Tidak dapat diterima.
7. Pemohon: H. Bustami Zainudin S.pd., M.H, H. Fachrul Razi, M.I.P. Putusan MK: Tidak dapat diterima
8. Pemohon: Gatot Nurmantyo. Putusan MK: Tidak dapat diterima
9. Jaya Suprana, hasilnya tidak diterima.
10. Partai Ummat. MK menyatakan tidak dapat menerima.
11. Rizal Ramli. MK menyatakan tidak menerima permohonan itu.
Dari berbagai putusan di atas, hanya ada dua hakim MK yang menilai presidential threshold harusnya dihapuskan yaitu Saldi Isra dan Suhartoyo.
Apakah frasa tersebut dapat dibenarkan sebagai sebuah open legal policy?
"Kebijakan hukum terbuka adalah sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Memaknai moralitas dalam perumusan norma hukum dapat dilacak dengan alat ukur yang sangat sederhana, yaitu seberapa besar pembentuk undang-undang memiliki impitan kepentingan (conflict of interest) dengan norma atau undang-undang itu sendiri," beber Saldi.[br]
Bagaimana mungkin, kata Saldi, menilai kehadiran norma Pasal 222 UU Pemilu jika ia sengaja dirancang untuk menguntungkan kekuatan-kekuatan politik yang menyusun norma itu sendiri, dan di sisi lain merugikan secara nyata kekuatan politik yang tidak ikut dalam merumuskan norma Pasal 222 UU Pemilu tersebut.
"Sementara itu, rasionalitas adalah menggunakan dasar argumentasi untuk menemukan kebenaran," ucap Saldi.
Beda Saldi Isra, beda hakim konstitusi Arief Hidayat. Ia menyatakan angka presidential threshold adalah hak parpol di Senayan untuk menentukan. Bila MK menentukan angka prosentasenya, maka bisa saja parpol lain yang tidak setuju akan menggugat juga ke MK.
"Kenapa angka yang open legal policy itu harus Mahkamah menentukan? Ini sebetulnya lebih tepat ke legislative review," kata Arief.
Menurut Arief, bila permohonan itu dikabulkan, maka membuka peluang parpol lain menggugat serupa.
"Sekarang coba kita bayangkan, kalau Mahkamah nanti menyetujui Petitum Permohonan ini yang open legal policy dikatakan itu konstitusionalnya dari angka 7% sampai 9%. Kemudian, ada permohonan lagi yang menyangkut partai politik seperti PKS mengajukan ke sini mengatakan 'Konstitusionalitas angka open legal policy itu 25% sampai 40%'. Lah, kalau kita sudah pernah memutus itu, menetapkan 7%, 8% itu konstitusional, yang namanya open legal policy partai yang lain mengajukan 25% sampai 40%, ya, kita juga harus bisa mengubah itu," ujar Arief Hidayat.(detikcom/c)