Kompol B H Sihotang dan Brigadir Polisi Riris Silalahi meminta perlindungan hukum sehubungan jadi korban mafia tanah yang mengakibatkan rumahnya dieksekusi pada Rabu (27/7/2022). Perwira yang bertugas di Polda Aceh dan personel Polsek Medan Timur itu berharap, instansi terkait dan badan Pertanahan Nasional (BPN) menindaklanjuti permohanannya.
“Banyak keanehan. Persoalan ditangani kuasa hukum dari Kantor Pengacara RAY Sinambela & Enni Martalena Pasaribu dan Rekan tapi ada yang dieksekusi, ada yang tidak. Ada yang menang di pengadilan, ada yang tidak. Kami, saya dan adik ini... tak tahu apa-apa, justru jadi korban. Dieksekusi,” ujar B Sihotang, Sabtu (30/7/2022) didampingi kuasa hukum Enni Martalena Pasaribu.
Menurutnya, rumah sudah dihuni 20 tahun dan memiliki sertipikat asli yang dikuatkan pengesahan ulang oleh BPN, tapi dinyatakan diagunkan ke bank. Pengagunan dengan sertipikat, “Tapi klien kami tidak tahu sertipikat yang mana. Kami menduga, ini salah obyek, tapi tetap dieksekusi,” tambah Enni Pasaribu.
Seperti diberitakan, 12 unit rumah di Jalan Turi Gang Bea Cukai Kelurahan Teladan Timur Kecamatan Medan Kota, Medan, Rabu (27/7), dieksekusi untuk pengosongan. Di antaranya milik Kompol B H Sihotang dan Brigadir Polisi R Silalahi.
Pengesekusian diawali pembacaan berita acara oleh tim juru sita dari Pengadilan Negeri (PN) Medan dipimpin Dinner Sinaga SH MH.
Kedua anggota kepolisian itu protes, tapi dibungkam karena ada perwira lain yang memerintahkan tetap dilakukan. “Begitu heran, terkejut tapi karena tak dapat berbuat apa-apa, kami minta perlindungan hukum,” tambah B Sihotang.[br]
Ia mengatakan, sejak menempati rumah 20 tahun lalu, pihaknya mencicil. Bukti pencicilan dan ketika lunas, ia memegang sertipikat. Hal serupa diutarakan R Silalahi yang melakukan hal serupa hingga mendapat sertipikat atas balik nama dari pemilik semula. “Karena kami berada di pihak benar, kami yakin kebenaran tak akan bungkam. Apalagi saat ini Presiden sedang giat membasmi mafia tanah,” ujar Kompol BH Sihotang
Sebelum dieksekusi, Enni Martalena Pasaribu , melakukan ragam cara sebagai upaya penundaan. Satu di antaranya melakukan perlawanan hukum. “Soalnya, obyek perkara, bukan rumah-rumah milik klien kami. Selain itu, rumah-rumah tersebut masih dalam obyek perkara hukum. Paling mengherankan, beberapa rumah yang berdampingan, tidak dieksekusi karena memenangkan gugatan. Dan saya juga pengacaranya yang memenangkan klien kami atas rumahnya,” ujarnya.
Bersama kliennya, ia menunjukkan sertipikat asli. Ia memastikan, belum ada pembatalan sertipikat dan saat dicek ke BPN, masih berlaku dan sah. “Ada sejumlah keanehan. Salah obyek, punya sertipikat asli dan sah tapi dijadikan obyek eksekusi,” tegasnya.
Ia menunjuk rumah kliennya, RE Panjaitan yang berada di tengah rumah-rumah yang dieksekusi. “Itu rumah atas nama klien kami, RE Panjaitan karena telah diputus perkaranya oleh PN Medan. Posisinya sama dengan rumah yang dieksekusi. Obyek perkara sama, ada yang dimenangkan hingga tidak dieksekusi tapi ada yang dieksekusi,” tambahnya.
Enni Pasaribu mengatakan, risalah lelang dan penetapan eksekusi dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum karena obyek eksekusi salah. Posisi itu ketika sidang lapangan yang dihadiri pihak dari kantor Pertanahan Kota Medan terhadap penetapan eksekusi. “Kenapa rumah klien kami itu batal dieksekusi dan yang lain dipaksakan dieksekusi?”
Mengenai perlindungan hukum ia mengawal permohonan kliennya yang sedang mencari keadilan. Baik melalui proses hukum sesuai jalur yang ada, maupun dengan bersurat pada Presiden Joko Widodo dan Menteri Agraria / Ka BPN tentang dugaan dan sinyalemen ada ‘permainan’ di lingkup BPN. (R10/d)