Bank Dunia memperingatkan adanya potensi resesi. Presiden Bank Dunia David Malpass menyebut, jika resesi sulit dihindari banyak negara.
Malpass menambah daftar orang-orang yang menyuarakan potensi resesi. Sebelumnya, Wall Street dan bank sentral di seluruh dunia memperingatkan tentang penurunan ekonomi yang tajam.
CEO JPMorgan Chase (JPM) Jamie Dimon menyebutnya sebagai badai ekonomi. Sementara bos Tesla Elon Musk mengungkapkan firasat buruknya tentang perkembangan ekonomi.
Mengutip CNN, Rabu (8/6), Malpass mengatakan, perang di Ukraina, lockdown di China, gangguan rantai pasokan dan risiko stagflasi sangat menghambat pertumbuhan. Stagflasi merupakan pertumbuhan ekonomi stagnan yang dibarengi dengan inflasi tinggi.
Tren ini mengingatkan para ahli tentang kondisi ekonomi yang lesu di akhir 1970-an. Kejutan harga minyak dan ekonomi saat itu menyebabkan dua penurunan yang disebut sebagai resesi double-dip.[br]
Investor mulai khawatir setelah bank sentral AS menaikkan suku bunga secara agresif demi menekan inflasi. Banyak kalangan menganggap hal tersebut dapat memicu resesi karena terburu-buru mengejar kenaikan suku bunga.
Prospek suku bunga jangka pendek yang tinggi menyebabkan lonjakan imbal hasil obligasi Treasury jangka panjang tahun ini. Tingkat hipotek juga melonjak, menyebabkan kekhawatiran bahwa pasar ritel akan melambat secara dramatis.
Bisnis juga bergulat dengan ongkos tinggi komoditas dan upah karyawan, dan sekarang mereka harus bersaing dengan suku bunga tinggi yang berpotensi merugikan laba perusahaan.
Organisasi pemberi pinjaman internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya sebesar 2,9%.
Angka ini turun tajam dibanding tahun lalu sebesar 5,7%, atau perkiraan Bank Dunia pada Januari 2022 sebesar 4,1%.
"Pemulihan dari stagflasi tahun 1970-an membutuhkan kenaikan tajam suku bunga di negara-negara maju yang memainkan peran penting dalam memicu serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang," kata Bank Dunia dalam perkiraan barunya.
Bank Dunia tidak mengharapkan rebound besar dalam waktu dekat. Pihaknya mengatakan pertumbuhan ekonomi global akan "melayang di sekitar" 2,9% tahun depan sampai 2024.
ANCAMAN BARU
Sementara itu, Sri Muliani menyebut ancaman baru menghantui ekonomi dunia. Setelah berjibaku dengan wabah penyakit Covid-19 yang menjadi pandemi di seluruh dunia dan memperlambat perekonomian, kini dunia akan dihadapkan masalah pada sektor keuangan.
Hal itu dibeberkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan DPR RI. Masalah keuangan yang akan terjadi adalah kenaikan suku bunga yang mendorong perlambatan ekonomi.[br]
"Seluruh dunia trennya bergeser, dari masalah penyakit jadi masalah keuangan yang berimbas ke sosial politik," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan DPD, Selasa (7/6).
Menurut Sri Mulyani, selama ini imbas pandemi Covid-19 telah menekan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, dan UMKM. Kini, ancaman baru itu justru menekan korporasi dan sektor keuangan.
"Risikonya berbeda dari pandemi. Saat pandemi itu terkena rakyat bawah dan UMKM, kalau yang ini sekarang suku bunga naik yang kena adalah korporasi dan lembaga keuangan. Ini adalah tipikal potensi financial crisis," terang Sri Mulyani.
Ancaman pada sektor ekonomi ini terjadi setelah adanya tren inflasi alias kenaikan harga global, salah satunya dipicu oleh perang Rusia-Ukraina. Nah, inflasi yang terjadi di berbagai negara mendorong pengetatan kebijakan moneter, salah satunya adalah naiknya suku bunga.
Masalah pada sektor keuangan akan muncul bila Amerika Serikat sebagai raksasa ekonomi menerapkan kebijakan moneter berupa kenaikan suku bunga. Alhasil, posisi mata uang dolar, yang selama ini banyak digunakan di seluruh dunia, menguat.
Di sisi lain imbal hasil obligasi US Treasury pun akan naik. Nah, dampaknya ke Indonesia akan ada arus modal asing ke luar negeri. Hal itu bisa menaikkan biaya untuk surat utang yang diterbitkan pemerintah. Alhasil bila pemerintah ingin mencari dana ke luar negeri biayanya akan makin mahal.[br]
"Kalau dolar dan US Treasury naik akan ada capital outflow, modal asing mereka keluar dari Indonesia. Hal ini juga akan menekan harga surat berharga negara dan yield-nya otomatis akan naik," papar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan kenaikan suku bunga ini juga bisa memperlambat ekonomi, bahkan berujung pada resesi.
Fenomena stagflasi ekonomi menurutnya bisa saja menghantui dunia dan juga Indonesia.
"Kombinasi inflasi tinggi dan tekanan pengetatan kebijakan moneter adalah munculnya fenomena stagflasi yaitu inflasi tinggi yang kemudian direspons kebijakan pengetatan membuat resesi atau stagnasi ke perkonomian, ini yang harus diwaspadai," jelas Sri Mulyani. (detikfinance/a)