Jumat, 22 November 2024

Krisis Biaya Hidup di Berbagai Belahan Dunia, Ada yang Pindah Negara

Redaksi - Kamis, 02 Juni 2022 08:56 WIB
350 view
Krisis Biaya Hidup di Berbagai Belahan Dunia, Ada yang Pindah Negara
Foto : Internet
Ilustrasi.
Bangkok (SIB)
Jutaan orang di seluruh dunia menghadapi situasi sulit karena harga pangan dan energi melonjak. Peningkatan suhu bumi yang berkaitan dengan perubahan iklim menyebabkan hasil panen memburuk. Sementara itu, pandemi Covid-19 berdampak pada berkurangnya suplai barang dan tenaga kerja. Bank Dunia memperingatkan bahwa invasi Rusia ke Ukraina dapat memicu resesi global karena pasokan gas menjadi terbatas dan biaya pupuk meningkat.

Lima orang dari lima negara berbeda bercerita mengenai bagaimana krisis saat ini berdampak terhadap kehidupan mereka.
Brasil: Ladang Penuh Tetapi Kulkas Kosong
Bagi Rosiane Incio Bulhes de Oliveira, membeli bahan-bahan pokok saja terasa sulit. Ibu dari empat anak yang tinggal di Araraquara, Sao Paulo, Brasil ini kini bergantung pada bantuan dan potongan harga sembako. Ketika dia membuka lemari es miliknya, yang tampak hanya panci sisa makanan.

"Bos saya hampir membuang kacang dan bacon ini, tapi saya menyelamatkannya tepat waktu," kata Rosiane kepada BBC, seperti dilansir, Rabu (1/6).

Brasil mengalami inflasi sebesar dua digit pada sektor kebutuhan dasar dan jasa pada tahun 2021. Satu dari empat orang di Brasil tidak mendapatkan cukup makanan meskipun negara itu merupakan pusat pertanian. Harga pangan terus meningkat, tapi tren itu tidak diiringi dengan kenaikan upah pekerja.[br]

Gangguan rantai pasok akibat pandemi, ditambah dampak perubahan iklim dan kenaikan harga pupuk, mendorong biaya produksi pertanian meningkat dan berdampak langsung terhadap konsumen.

Di dalam rumah Rosiane tercium bau busuk, lantaran untuk menjaga kebersihan pun ternyata mahal. Dengan harga minyak goreng yang melambung, Rosiane dan ayahnya, Irandi, menemukan keterampilan baru, yakni mengubah minyak bekas menjadi sabun.

Selandia Baru: Situasi Sulit Membuat Keluarga Pindah ke Australia
Ibu kota Selandia Baru, Wellington, merupakan salah satu kota dengan harga properti paling terjangkau di dunia. Namun harga sewa naik mencapai 12% pada tahun 2021 dan itu membuat situasi terasa suram bagi para penyewa. Kenaikan harga sewa juga disertai kenaikan harga bensin dan makanan. Banyak orang akhirnya mempertimbangkan untuk pindah ke Australia, di mana mereka memiliki hak untuk menetap dan bekerja.

Baca:Jokowi Wanti-wanti Bencana Krisis di Seluruh Dunia

Seorang pekerja bangunan, Chris bersama pasangannya, Harmony, dan empat putri mereka baru-baru ini meninggalkan Wellington untuk memulai hidup baru di Brisbane, Australia. Meskipun mereka memiliki rumah dan upah yang wajar, mereka masih merasa kesulitan. "Kami memiliki empat anak, sehingga biaya hidup mahal. Kami melihat orang-orang Australia mengeluhkan biaya hidup naik, tapi biaya itu setara dengan biaya hidup lima tahun lalu di Selandia Baru," kata Chris.

Meninggalkan Selandia Baru beserta seluruh keluarganya merupakan keputusan yang sulit bagi Harmony. Meski begitu dia mengatakan keputusan itu diperlukan demi anak-anaknya. "Anda tidak bisa mencari nafkah di Selandia Baru. Tidak ada kehidupan. Anda hanya akan berjalan mundur," kata Harmony.[br]

"Anda tidak punya pilihan jika ingin menjalani hidup dengan baik, Anda harus pindah, atau Selandia Baru yang harus berubah. Saya ingin masa depan yang baik untuk anak-anak saya, dan itu tidak tampak di Selandia Baru," ujarnya.

Pemerintah Selandia Baru telah menerapkan sejumlah kebijakan jangka pendek seperti mengucurkan subsidi bahan bakar dan memotong setengah karcis transportasi umum. Namun bagi banyak orang, hal itu tidak cukup.

Italia: Ikat Pinggang Dikencangkan
Di Brescia, Italia, industri baja adalah penopang utama masyarakat. Selama 15 tahun terakhir, industri ini telah menghadapi krisis keuangan dan pandemi Covid-19. Perang di Ukraina dan karantina wilayah akibat Covid di China pun membuat perdagangan semakin terganggu.

Mirella dan Lucas bertemu di salah satu tempat pengecoran besi di Brescia. Upah mereka berdua tidak cukup menghadapi kenaikan biaya makanan, bensin, dan energi. "Belakangan kami menderita seperti yang dialami orang lain. Tagihan listrik kami berlipat ganda meskipun kami jarang ada di rumah," kata Mirella.

"Kami harus mengencangkan ikat pinggang, tapi bukannya bisa menghemat banyak, ternyata hanya menghemat sedikit uang," ujar Lucas. Pesanan terus masuk di tempat pengecoran besi ini. Tetapi industri baja kini kekurangan bahan baku yang penting, karena bahan baku itu berasal dari kota Mariupol yang telah diduduki pasukan Rusia.[br]

Ghana: Biaya Air Minum Menghabiskan Anggaran Mingguan
Mark Impraim memiliki bisnis katering di Ghana, yang merupakan salah satu negara dengan biaya hidup termahal di Afrika.

Dia membeli bahan-bahan pokok untuk salah satu menunya yang paling populer, nasi jollof, di pasar lokal. Tetapi harga bahan-bahan telah meningkat berkali-kali lipat dalam beberapa bulan terakir. Mark memandang sekeranjang tomat dan merasa kecewa dengan harga yang tertera.

"Sekeranjang tomat ini dulunya 20 cedi (Rp43.575). Sekarang harganya 40 cedi (Rp87.150)," katanya. "Saya harus menaikkan harga makanan yang saya jual, tapi itu memberatkan pelanggan. Saya mencoba mencari jalan keluar lain dengan mengurangi kuantitasnya," keluhnya.

Di antara kenaikan bahan-bahan lainnya, yang banyak menghabiskan anggaran belanja mingguan Mark adalah air minum. Harga air minum kemasan telah naik dua kali dalam empat bulan terakhir karena devaluasi cedi. Pemasok air minum mengatakan kenaikan harga pada pelanggan tidak bisa dihindari.[br]

Thailand: Harga Pupuk Ancam Ekspor Beras
Di sawah yang berkilau karena musim hujan, seorang petani bernama Bunchuay Somsuk dan tetangganya menyemai benih padi yang biasanya hasil panennya terjamin bagus. Beras Thailand terkenal dengan kualitasnya, yang sebagian besar merupakan hasil panen di Suphanburi -kawasan di utara Bangkok dan diekspor khususnya ke Timur Tengah dan Afrika.

Bunchuay memiliki buku catatan tempat dia mencatat utangnya. Dia masih memiliki utang senilai Pound 400 [sekira Rp7,3 juta] sejak tahun lalu. Dengan harga beras global yang rendah, sedangkan biaya pupuk meningkat, kemungkinan Bunchuay untuk menutup utangnya setelah panen tahun ini semakin kecil.

Pada April tahun lalu, pupuk dijual dengan harga 550 baht (Rp234.000), tapi tahun ini harganya naik tiga kali lipat. Thailand mengimpor lebih dari 90% bahan baku untuk memproduksi pupuk.

Pemerintah telah menetapkan batas harga untuk menjaga biaya produksi tetap di bawah standar global, tetapi produsen mengatakan upaya itu tidak akan efektif karena merugikan mereka.

Petani padi di Thailand membutuhkan pupuk dalam jumlah besar untuk menghasilkan surplus panen yang dapat diekspor ke seluruh dunia. Agar hal itu terjaga, harga pupuk harus turun atau harga beras yang harus naik. Kondisi itu mengkhawatirkan bagi banyak negara yang bergantung pada beras Thailand sebagai bahan pangan pokok. (BBCI/detikcom/f)

Sumber
: KORAN SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru