Kamis, 13 Maret 2025

Kebijakan Jokowi Larang Ekspor Minyak Sawit Bikin Dunia ‘Kelabakan’

* Kementan Tegaskan Bukan CPO yang Dilarang Ekspor
Redaksi - Rabu, 27 April 2022 08:32 WIB
680 view
Kebijakan Jokowi Larang Ekspor Minyak Sawit Bikin Dunia ‘Kelabakan’
Foto : Net
Ilustrasi.
Jakarta (SIB)
Kebijakan Presiden Joko Widodo yang melarang ekspor minyak sawit berbuntut panjang. Eksportir tidak memiliki pilihan selain membayar mahal untuk mendapatkan pasokan komoditas tersebut. Padahal pasokan minyak sawit di dunia juga berkurang akibat cuaca buruk dan invasi Rusia ke Ukraina. Dua negara tersebut merupakan importir minyak matahari.

Pengamat industri memprediksi langkah Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia yang melarang ekspor mulai Kamis (28/4), akan mengangkat harga semua minyak nabati utama, termasuk minyak sawit, minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak canola. Hal tersebut akan memberikan tekanan ekstra pada konsumen yang sensitif terhadap biaya di Asia dan Afrika yang terkena dampak harga bahan bakar dan makanan yang lebih tinggi.

"Keputusan Indonesia tidak hanya memengaruhi ketersediaan minyak sawit, tetapi juga minyak nabati di seluruh dunia," James Fry, ketua konsultan komoditas LMC International, mengatakan kepadaReuters, dilansir VOA, Selasa (26/4).

Minyak kelapa sawit - yang digunakan dalam banyak hal, mulai dari kue dan lemak penggorengan hingga kosmetik dan produk pembersih - menyumbang hampir 60 persen dari pengiriman minyak nabati global. Indonesia menyumbang sekitar sepertiga dari semua ekspor minyak nabati. Pemerintah mengumumkan larangan ekspor komoditas tersebut pada 22 April dan langkah itu akan berlaku hingga pemberitahuan lebih lanjut, sebagai langkah untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng domestik.

"Ini terjadi ketika tonase ekspor semua minyak utama lainnya berada di bawah tekanan: minyak kedelai karena kekeringan di Amerika Selatan; minyak kanola karena gagal panen di Kanada; dan minyak bunga matahari karena perang Rusia di Ukraina," kata Fry.

Harga minyak nabati telah meningkat lebih dari 50 persen dalam enam bulan terakhir karena faktor dari kekurangan tenaga kerja di Malaysia hingga kekeringan di Argentina dan Kanada - masing-masing pengekspor minyak kedelai dan minyak kanola terbesar - membatasi pasokan.

Pembeli berharap panen bunga matahari dari eksporter utama Ukraina akan mengurangi kesulitan pasokan, tetapi suplai dari Kyiv telah berhenti karena invasi Moskow.

Hal ini telah mendorong importir untuk mengandalkan minyak kelapa sawit untuk dapat menutup kesenjangan pasokan sampai larangan mengejutkan Indonesia memberikan "kejutan ganda" kepada pembeli, kata Atul Chaturvedi, presiden badan perdagangan Solvent Extractors Association of India (SEA).

Tidak Ada Alternatif
Importir seperti India, Bangladesh dan Pakistan akan mencoba meningkatkan pembelian minyak sawit dari Malaysia. Namun produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia itu tidak dapat mengisi celah yang selama merupakan bagian Indonesia, kata Chaturvedi.

Indonesia biasanya memasok hampir setengah dari total impor minyak sawit India, sementara Pakistan dan Bangladesh mengimpor hampir 80 persen minyak sawit mereka dari Indonesia.

"Tidak ada yang bisa mengkompensasi hilangnya minyak sawit Indonesia. Setiap negara akan menderita," kata Rasheed JanMohd, Ketua Pakistan Edible Oil Refiners Association (PEORA).

Pada Februari, harga minyak nabati melonjak ke rekor tertinggi karena pasokan minyak bunga matahari terganggu dari wilayah Laut Hitam.

Desakan Malaysia
Sementara itu, Dewan Minyak Sawit Malaysia pada Senin (25/4) mengatakan sudah waktunya bagi negara-negara untuk mempertimbangkan kembali prioritas makanan versus bahan bakar mereka. Mereka melihat keputusan Indonesia untuk melarang ekspor minyak sawit telah memicu "krisis" kekurangan minyak nabati global.

"Sangat penting bagi negara-negara untuk memastikan minyak dan lemak yang tersedia digunakan untuk makanan dan... untuk sementara menghentikan atau mengurangi mandat biodiesel mereka," Direktur Jenderal Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) Ahmad Parveez Ghulam Kadir mengatakan kepadaReuters.

Minyak sawit, minyak nabati yang paling banyak digunakan, juga digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Produsennya mengatakan mereka tidak dapat memenuhi kesenjangan pasokan global yang akan dipicu oleh larangan ekspor minyak sawit Indonesia yang akan mulai berlaku pada 28 April.

Bukan CPO
Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan produk kelapa sawit berupa crude palm oil (CPO) tidak dilarang untuk ekspor. Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan Heru Tri Widarto mengatakan pihaknya mengimbau kepada para gubernur setiap provinsi untuk mengantisipasi penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) secara sepihak.

“Kami maksudkan agar gubernur segera mengambil langkah agar harga TBS tidak ditetapkan secara sepihak oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS), tetapi mengikuti mekanisme sesuai Permentan 01/2018,” katanya melalui pesan singkat, Selasa (26/4).

Heru menunjukkan Surat Nomor 165/KB.020/E/04/2022 perihal Harga TBS Pasca Pengumuman Presiden tentang Pelarangan Ekspor RBD Palm Olein. Pada surat yang ditanda tangani Plt Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Ali Jamil, ternyata yang dilarang ekspor tanggal 28 April 2022 nanti bukanlah olahan minyak sawit berupa crude palm oil (CPO).

Surat tersebut ditujukan kepada 22 gubernur mulai dari Provinsi Aceh sampai Provinsi Papua Barat. Heru juga mengatakan pihaknya belum mendapatkan poin-poin tentang larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya dari Kementerian Perdagangan. “Infonya nanti dituangkan dalam Permendag,” ujarnya.

Surat yang dibuat tanggal 25 April 2022 tersebut berisi tiga poin. Pertama, Kementan mendapat laporan dari beberapa dinas yang membidangi perkebunan, petani kelapa sawit (asosiasi petani sawit), serta petugas penilai usaha perkebunan (PUP) dari berbagai provinsi bahwa ditemukan beberapa pabrik kelapa sawit (PKS) diduga menetapkan harga beli TBS secara sepihak dengan kisaran penurunan Rp 300-1.400 per kilogram.

Kedua, ditegaskan bahwa CPO tidak termasuk produk kelapa sawit yang dilarang diekspor. Pelarangan ekspor hanya diterapkan kepada RBD Palm Olein atau tiga pos tarif, di antaranya:

- 90.36 (RBD Palm Oil dalam Kemasan berat bersih tidak melebihi 25 kilogram.

- 90.37 (lain-lain, dengan nilai lodine 55 atau lebih tetapi kurang dari 60).

- 90.39 (lain-lain).

Ketiga, sehubung dengan poin pertama, Kementan meminta bantuan kepada para gubernur untuk mengirimkan surat edaran kepada para bupati/wali kota sentra sawit, agar perusahaan sawit di wilayahnya tidak untuk menetapkan harga beli TBS pekebun secara sepihak di luar harga beli yang ditetapkan Tim Penetapan Harga TBS tingkat provinsi.

Kemudian, gubernur diminta memberikan peringatan atau memberikan sanksi kepada perusahaan atau PKS yang melanggar ketentuan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018. (KJ/T/d)

Sumber
: KORAN SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru