Moskow (SIB)
Banyak warga kelas menengah di Rusia telah sejak lama menentang Presiden Vladimir Putin. Namun, sanksi-sanksi negara Barat yang menghujani Rusia usai perintah Putin mengirimkan pasukan ke Ukraina, telah mengubah opini mereka soal pemimpin Rusia itu. Salah satunya produser iklan, Rita Guerman yang kini memuji Putin karena membela negara 'melawan NATO'. "Saya telah membuka mata saya," tutur Guerman (42) seperti dilansir dari AFP, Selasa (12/4).
Negara-negara Barat menjatuhkan rentetan sanksi yang belum pernah ada sebelumnya terhadap Rusia untuk menghukum Putin atas invasi militernya ke Ukraina yang pro-Barat. Sejauh ini, invasi Rusia tersebut dilaporkan menewaskan ribuan orang termasuk warga sipil dan memaksa lebih dari 11 juta orang mengungsi.
Negara-negara Barat berharap sanksi akan membantu melemahkan dukungan publik terhadap Kremlin, namun para pengamat menyebut hukuman itu memiliki efek sebaliknya dalam banyak hal. Setelah merasa terkejut dan tidak percaya usai sanksi awal dijatuhkan, banyak warga kelas menengah yang sebagian besar pro-Barat, seperti Guerman, merasa mereka telah diperlakukan tidak adil oleh Barat dan sekarang mendukung Putin.
Rentetan sanksi terbaru telah melucuti mereka dari kontrak dengan perusahaan asing, liburan ke Eropa, juga kartu kredit merek Visa dan Mastercard, serta akses ke pengobatan di Barat. Guerman menuturkan dirinya terguncang saat Rusia pertama mengirimkan tentara ke Ukraina pada 24 Februari dan sempat menyumbang untuk militer Ukraina. Namun dia kemudian menghabiskan waktu dua pekan untuk merenung dan mendengarkan 'sejarawan dan pakar geopolitik', sebelum akhirnya mendukung Putin.
"Orang normal tidak bisa menerima perang. Ini membuat saya hancur, tapi kita bicara soal kedaulatan Rusia. Semuanya tidak bisa diprediksi: Putin tidak memiliki pilihan tapi memasuki Ukraina untuk melindungi kita dari Anglo-Saxons," ucap Guerman kepada AFP.
Menurut studi terbaru oleh lembaga survei independen Levada, pada Maret lalu tercatat 83 persen responden menyetujui kinerja Putin -- naik dari Desember tahun lalu yang mencapai 65 persen. Namun banyak pakar sosiologi menyatakan jajak pendapat tidak menjadi gambaran objektif selama konflik militer, dengan kritikan untuk pemerintah dilarang. Pada awal operasi militer di Ukraina, otoritas Rusia memberlakukan hukuman maksimum 15 tahun penjara untuk tindakan menyebarkan 'berita palsu' soal tentara Rusia.
Kepala peneliti pada Institut Sosiologi Akademi Sains Rusia, Natalia Tikhonova, menyebut banyak anggota kelas menengah yang tidak memahami mengapa mereka ikut menanggung tanggung jawab atas tindakan Putin di Ukraina ketika mereka tidak pernah memilih Putin dalam pemilu. "Terlepas oposisi mereka terhadap operasi di Ukraina, kelas menengah telah menggerakkan dukungan untuk Putin dan melawan Barat," sebut Tikhonova kepada AFP, menekankan bahwa sekira 60 persen orang-orang itu sebelumnya menganggap diri mereka 'lebih dekat ke Eropa'.
Akan Pakai Senjata Kimia
Sementara itu, Presiden Volodymyr Zelensky mengatakan bahwa Rusia mulai mempertimbangkan untuk menggunakan senjata kimia dalam invasi mereka di Ukraina. "Hari ini, kami mendengar pernyataan dari penjajah Rusia yang mengonfirmasi bahwa mereka bersiap melakukan teror lanjutan terhadap kami," ujar Zelensky mengawali pesan video yang dirilis Senin (11/4) waktu setempat.
Ia kemudian membeberkan: "Salah satu juru bicara mereka mengatakan, mereka mempertimbangkan menggunakan senjata kimia di Mariupol." Zelensky pun mendesak dunia agar menanggapi invasi Rusia ini lebih keras dan cepat. Ia menegaskan, penggunaan senjata kimia itu sudah dibahas secara serius di dalam lingkaran militer Rusia. "Kami menanggapi ini dengan serius," ucap Zelensky.
Tidak lama sebelum Zelensky merilis video ini, seorang penasihat wali kota Mariupol, Petro Andrysuchenko, mengaku menerima laporan bahwa Rusia sudah pernah menggunakan senjata kimia dalam serangan di kota itu. Meski demikian, Andrysuchenko menegaskan bahwa laporan itu belum terkonfirmasi.
"Kami menunggu informasi resmi dari militer," kata Andyunshchenko seraya berjanji bakal memberikan detail lebih lanjut jika sudah menerima informasi lengkap. AFP juga belum bisa memverifikasi secara independen klaim tersebut.
Laporan itu juga menyedot perhatian sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Sekretaris pers Kementerian Pertahanan AS, John Kirby, mengatakan bahwa negaranya bakal menyelidiki laporan lebih lanjut. "Jika benar, laporan ini sangat mengkhawatirkan dan menegaskan kekhawatiran kami sebelumnya mengenai kemungkinan Rusia menggunakan berbagai senjata berbahaya di Ukraina, termasuk gas air mata dicampur zat kimia," katanya.
Sikap serupa juga diutarakan oleh Inggris. "Laporan yang menyebutkan pasukan Rusia mungkin menggunakan senjata kimia dalam menyerang warga di Mariupol, kami dengan para mitra mendesak untuk memverifikasi rincian lebih lanjut," kata Menteri Luar Negeri Inggris, Liz Truss, Selasa (12/4).
"Setiap penggunaan senjata semacam itu akan meningkatkan eskalasi dalam konflik ini, dan kami akan meminta pertanggungjawaban Vladimir Putin dan rezimnya," tukas Liz.
Dugaan ini muncul setelah Ukraina mengklaim Rusia menggunakan zat tak dikenal di Mariupol yang menyebabkan kegagalan pernapasan warga di kota itu. "Kemungkinan besar senjata kimia!" kata seorang anggota parlemen Ukraina, Ivanna Klympush, di Twitter.
Pada Senin (11/4) lalu, batalion Azon di Ukraina mengklaim Rusia mengirim zat beracun melalui drone di Mariupol. Mereka juga mengklaim penduduk mengalami gagal pernapasan dan masalah neurologis.
"Tiga orang menunjukkan tanda-tanda yang jelas karena keracunan senjata kimia, tapi tanpa gejala yang lebih parah," ujar pemimpin Batalion Azov, Andrei Biletsky, dalam pesan video di Telegram. Biletsky juga menuduh Rusia menggunakan senjata kimia saat menyerang pabrik metalurgi Azovstal.
Sementara itu, pejabat senior kelompok separatis pro-Rusia di Donetsk, Eduard Basurin mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan Rusia bakal menggunakan senjata kimia. "Pasukan yang mengepung bisa menggunakan senjata kimia yang bisa digunakan untuk mengeluarkan tikus tanah dari lubang mereka," kata dia, seperti dikutip RIA Novosti. (AFP/detikcom/CNNI/a)