Jakarta (SIB)
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPD RI LaNyalla Mattaliti mengakui bukan perkara mudah menghapus presidential threshold karena sudah 19 kali digugat dan kalah. Namun, keduanya optimis dengan menyajikan sejumlah argumen baru.
Salah satunya adalah mencontohkan Uruguay. "Uruguay adalah Negara Kesatuan Republik Demokrasi Perwakilan dengan sistem Presidensial. Sistem pemilihan presiden Uruguay dilakukan tanpa menggunakan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold)," demikian bunyi pemohon yang dikutip dari berkas permohonan yang dilansir website MK, Minggu (27/3).
Di Uruguay, setiap partai politik diwajibkan untuk mengajukan kandidat presidennya masing-masing dan pemenangnya ditentukan dengan sistem 2 ronde. Pada pemilihan presiden tahun 2019, terdapat 11 partai politik yang mencalonkan 11 kandidat presiden masing-masing. Uruguay seperti di Indonesia yaitu menganut multipartai dengan 6 partai politik yang berada di dalam parlemen (majelis rendah dan majelis tinggi) dan 10 parpol yang berada di luar parlemen.
"Lebih spesifik, Uruguay dapat diambil menjadi contoh negara dengan sistem presidensial, multipartai, dan desain kepemiluan yang dekat dengan Indonesia," bebernya.
Desain pemilu Uruguay dilakukan secara serentak, Presiden dan Wakil Presiden juga dipilih dalam 1 pasang, di mana threshold keterpilihan Presiden apabila meraih lebih dari 50% suara, jika tidak maka akan diadakan putaran kedua.
Pemilihan umum di Uruguay diselenggarakan oleh badan independen berupa Mahkamah Pemilu yang terdiri dari 9 anggota dan menjabat selama 5 tahun. Terkait dengan kandidasi Presiden, setiap partai politik di Uruguay diwajibkan mengusung pasangan calon.
"Saat ini, Urugay menempati peringkat 15 dari 167 negara indeks demokrasi dunia, di mana terklasifikasi sebagai demokrasi penuh. Berbeda dengan Indonesia yang menempati urutan ke 64 dengan klasifikasi demokrasi tidak sempurna," cetusnya.
Pemohon juga mencontohkan sistem pemilihan lain yang tidak mengenal presidential threshold. Seperti di Peru, Brasil, Meksiko, Kolombia, Afghanistan, Zambia, Shieraa Leone, Ghana, Nigeria, Ekuador, hingga Chili.
"Menurut peneliti politik terkemuka di tanah air, Burhanuddin Muhtadi, bahwa penerapan presidential threshold tidak lazim digunakan di negara yang menganut sistem presidensial. Apalagi dengan syarat calon presiden harus memenuhi 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah secara nasional bagi partai maupun gabungan partai pengusungnya. Persyaratan tersebut dinilai aneh karena bersifat pembatasan orang untuk maju sebagai calon presiden. Padahal, konstitusi tidak membatasinya.
Bahkan di Amerika Serikat, calon independen pun bisa maju sebagai calon presiden. Perlu digarisbawahi, di negara lain presidential threshold bertujuan sebagai syarat untuk menang setelah pemilihan presiden berlangsung," bebernya.
Di Amerika Serikat, pada 2020 tercatat 1.212 calon terdaftar di FEC (KPU-nya AS). Dari total keseluruhan calon tersebut, dalam waktu 8 bulan hingga 12 bulan kampanye hingga mendekati kira-kira 1 bulan sebelum hari pemilihan umum (general election), pada akhirnya hanya akan tersisa 4 hingga 2 pasangan.
"Menyusutnya jumlah calon yang ribuan itu, kata Chris disebabkan etika politik para kandidat yang akan mundur dengan sendirinya apabila elektabilitas calon tersebut telah ketinggalan jauh dari kandidat lainnya," ucap pemohon.
Pada Pilpres pertama kali yaitu pada 2004, presidential threshold sebesar 3 persen kursi DPR atau 5 persen suara nasional.
Kemudian dinaikkan di pilpres 2009 hingga saat ini. Namun fakta politik menujukan tidak ada korelasi antara presidential threshold dengan stabilitas pemerintahan.
"Hal ini semakin membuktikan bahwa penghapusan Pasal 222 UU Pemilu tidak akan mengancam sistem presidensial, karena faktanya koalisi pemerintahan bukan hanya bisa terjadi sebelum pemilihan presiden, tetapi setelah adanya presiden terpilih," ungkapnya.
Oleh sebab itu, Yusril Ihza Mahendra dan LaNyalla Mattaliti berharap agar aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu itu dihapus. Ikut pula menandatangani permohonan itu Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin dan Sultan Baktiar Najamudin.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitim pemohon. (detikcom/a)