Jakarta (SIB)
Komnas HAM kembali merilis hasil penyelidikan mengenai kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin. Komnas HAM menemukan adanya dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri hingga anak SMA ikut menjadi penghuni kerangkeng.
Berikut sejumlah temuan Komnas HAM mengenai kerangkeng Bupati Langkat nonaktif itu:
1. Dugaan Keterlibatan Oknum TNI-Polri
Komnas HAM mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan oknum TNI-Polri terkait kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat itu. Komnas HAM sudah mendapatkan data nama dan pangkat oknum yang terlibat.
"Ada temuan soal pengetahuan dan keterlibatan oknum anggota TNI-Polri. Jadi kita mendapat keterangan ada beberapa oknum anggota TNI-Polri terlibat dalam proses kerangkeng tersebut. Kami mengetahui jumlah dan nama masing-masing dan informasi penunjang lainnya, termasuk pangkat dan lain sebagainya," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat jumpa pers virtual, Rabu (2/3).
Anam mengatakan ada kekerasan dan tindakan merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh oknum tersebut. Dia menyebut Komnas HAM telah meminta kepolisian melakukan pendalaman adanya dugaan pelanggaran hukum terkait hal tersebut.
"Lalu terdapat tindakan kekerasan dan merendahkan martabat oleh oknum-oknum tersebut. Yang berikutnya terhadap oknum kepolisian yang menyarankan pelaku kriminal untuk menjadi penghuni kerangkeng, saat ini dilakukan pendalaman pelanggaran hukum atas permintaan Komnas HAM," tuturnya.
Oknum polisi tersebut, kata Anam, terlibat dalam melakukan latihan fisik kepada para penghuni kerangkeng. Sedangkan oknum TNI terlibat melakukan kekerasan kepada penghuni kerangkeng.
"Jadi ada oknum yang terlibat di sini dalam proses kerangkeng ini ada oknum TNI dan ada oknum kepolisian. Jadi kalau dikatakan misalnya melatih fisik gitu, terus sharing soal metodologi latihan fisik, termasuk gantung monyet misalnya. Yang berikutnya ada salah satu oknum anggota TNI yang juga melakukan kekerasan. Kami mendapatkan informasi tersebut," ucapnya.
Lebih lanjut Anam mengungkapkan Komnas HAM juga meminta bantuan POMAD untuk melakukan pendalaman karena ada oknum TNI yang terlibat dalam dugaan kekerasan di kerangkeng manusia tersebut. Komnas HAM meminta bantuan untuk melakukan penyelidikan.
2. Alasan Warga Kirim Keluarga ke Kerangkeng
Sejumlah alasan warga mengirim keluarga ke kerangkeng Bupati Langkat nonaktif itu juga diungkap Komnas HAM. Alasan itu antara lain kondisi ekonomi hingga tidak punya pilihan tempat rehabilitasi narkoba lain.
"Ada beberapa latar belakang keluarga memasukkan anggotanya ke dalam tempat rehab, antara lain ekonomi lemah, keputusasaan keluarga, mengalami ancaman dan adanya tindak kekerasan, keluarga korban tidak punya pilihan untuk melakukan rehabilitasi di tempat lain," kata analis pelanggaran HAM Komnas HAM, Yasdad Al Farisi, saat jumpa pers tersebut.
Penghuni yang hendak masuk kerangkeng itu harus mendapatkan rekomendasi. Rekomendasi itu berasal dari Polsek sampai ormas setempat.
"Untuk proses masuk ini juga melibatkan dokumen berupa saran atau rekomendasi dari pihak lain, antara lain dari polsek, struktur pemerintah desa, serta ormas setempat," ujarnya.
Yasdad menyampaikan kerangkeng milik Terbit Rencana Perangin Angin tidak memiliki izin meski sudah dilakukan pemetaan oleh Badan Nasional Narkotika Kabupaten (BNNK) Langkat. Dia menyebut instansi di jajaran Pemkab Langkat mengetahui keberadaan kerangkeng tersebut.
"Tidak terdapat izin melakukan rehabilitasi walaupun sudah pernah dilakukan pemetaan oleh BNNK Langkat pada 2016.
Sejumlah instansi OPD serta jajaran pemerintah mengetahui keberadaan kerangkeng manusia ini," ucapnya.
3. Komnas HAM Kantongi 19 Nama Penganiaya
Selain itu, Komnas HAM menduga ada 19 orang yang melakukan penganiayaan terhadap penghuni kerangkeng. Terduga pelaku mulai dari oknum TNI-Polri hingga keluarga Terbit Rencana.
"Dari semua tindak kekerasan itu, minimal 26 bentuk tindak kekerasan, 18 alat yang digunakan, kami menemukan kurang-lebih, informasi yang masuk ke kami ada 19 orang pelaku yang melakukan kekerasan tersebut. Jadi para saksi atau masyarakat memberikan informasi, termasuk juga informasi nama. Jadi ada 19 yang patut diduga sebagai pelaku tindak kekerasan tersebut," kata Choirul Anam.
"Dengan karakter, satu, dia adalah pengurus dari kerangkeng tersebut. Mulai pembina, kalapas, pengawas, palkam, besker atau penghuni lama juga dilibatkan untuk melakukan tindak yang sama sebagai alat kontrol. Anggota ormas tertentu, oknum TNI-Polri, dan keluarga TRP," lanjutnya.
4. Ada Anak SMA Jadi Penghuni Kerangkeng
Choirul Anam mengungkapkan temuan lain dari kerangkeng manusia ini. Dia mengatakan ada anak SMA yang menjadi penghuni kerangkeng gegara menggeber kendaraan saat berpapasan dengan keluarga Bupati Langkat nonaktif itu.
"Di akhir proses kami juga mendapatkan keterangan bahwa ada penghuni yang masih anak-anak. Masih sekolah SMA, kemungkinan umur 16 atau 17 tahun. Yang awalnya kami tidak menemukan, tapi di akhir proses kami menemukan ini," kata Anam.
Ada dua anak SMA yang menjadi penghuni kerangkeng dan dipekerjakan di pabrik. Dari informasi yang diperoleh, Anam menyebut satu anak remaja masuk kerangkeng karena bolos dan yang satunya karena menggeber kendaraan kepada keluarga Terbit Rencana.
"Yang pasti anak ini memang dia dipekerjakan di pabrik. Minimal yang masuk ke kami dua orang anak informasinya. Salah satunya masuk karena sering bolos sekolah. Ada yang juga masuk gara-gara geber gas ketika berpapasan dengan saudara TRP jadi langsung dimasukkan ke kerangkeng tersebut," ujarnya.
5. Ada 12 dugaan pelanggaran HAM
Choirul Anam mengatakan ada 12 dugaan pelanggaran HAM yang ditemukan di sana. Dugaan pertama ialah pelanggaran hak untuk hidup karena ada penghuni yang tewas. Pelanggaran kedua terkait hak kebebasan pribadi.
"Pertama, hak untuk hidup. Ini minimal terkait enam orang yang meninggal. Tiga orang yang sudah fix informasinya dan tiga orang yang harus didalami lagi. Kedua, hak atas kebebasan pribadi. Jadi mereka tidak bisa ke mana-mana karena memang harus hidup di kerangkeng atau di awal yang kami sebut sebagai tempat serupa tahanan. Jadi kebebasan pribadinya terampas di situ sejak awal sampai akhir," kata Anam.
Dugaan pelanggaran yang ketiga terkait hak berkomunikasi. Anam menambahkan bahwa dugaan keempat ialah pelanggaran hak untuk tidak diperbudak dan praktik serupa perbudakan.
"Ketiga, adalah hak untuk berkomunikasi. Tidak secara bebas mereka dapat berkomunikasi. Berkeluh kesah kenapa mereka mengalami kekerasan dan sebagainya juga tidak bisa. Makanya tidak heran kenapa sepanjang ini tidak terpublikasi ada kondisi seperti ini karena memang hak berkomunikasinya tidak ada. Termasuk ketika mereka sudah menjadi eks penghuni, berhubungan dengan kami ketika proses penyelidikan ini mereka susah untuk bersuara," tuturnya.
"Keempat, hak untuk tidak diperbudak dan praktik serupa perbudakan. Tadi seperti yang kami jelaskan di situ ada kebebasan hak atas diri pribadi tidak ada dan ada kontrol yang begitu kuat," lanjutnya.
Dugaan pelanggaran kelima, kata Anam, penghuni dipekerjakan secara paksa. Anam menyampaikan pelanggaran HAM keenam ialah penghuni tidak mendapatkan hak atas kesehatan.
Sementara itu, dugaan pelanggaran ketujuh ialah tidak adanya rasa aman terhadap penghuni maupun mantan penghuni kerangkeng. Pelanggaran kedelapan, kata Anam, tidak adanya hak untuk bebas dari penyiksaan hingga perlakuan yang tidak manusiawi.
Anam menyebut pelanggaran kesembilan ialah tidak adanya hak memperoleh keadilan karena penghuni diminta menandatangani surat pernyataan. Pelanggaran kesepuluh ialah tidak adanya hak perlindungan untuk anak.
"Kesebelas, hak atas pekerjaan. Seperti yang tadi dijelaskan, di temuan-temuan kami, memang tidak ada pilihan yang merdeka untuk pekerjaan, yang ada adalah kerja paksa dan lain sebagainya. Kedua belas, hak atas upah yang layak dan adil," ucapnya. (detikcom/c)