Jakarta (SIB)
Gelombang pengujian UU Pemilu tentang presidential threshold terus berdatangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya diajukan oleh 27 WNI yang tersebar di 12 negara. Mereka mengikuti sidang secara online dari negara masing-masing.
Ke-27 orang itu adalah:
Tata Kesantra, tinggal di New York, Amerika Serikat, Ida irmayani, tinggal di New York, Amerika Serikat, Sri Mulyanti Masri, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat, Safur Baktiar, tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat, Padma Anwar, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat, Chritsisco Komari, tinggal di California, Amerika Serikat, Krisna Yudha, tinggal di Washington, Amerika Serikat, Eni Garniasih Kusnadi, tinggal di San Jose, California, Amerika Serikat, Novi Karlinah, tinggal di Redwood City, California, Amerika Serikat, Nurul Islah, tinggal di Everett, Washington, Amerika Serikat, Faisal Aminy, tinggal di Bothell, Washington, Amerika Serikat, Mohammad Maudy Alvi, tinggal di Bonn, Jerman, Marnila Buckingham, tinggal di West Sussex, United Kingdom, Deddy Heyder Sungkar, tinggal di Amsterdam, Belanda, Rahmatiah, tinggal di Paris, Prancis, Mutia Saufni Fisher, tinggal di Swiss, Karina Ratna Kanya, tinggal di Singapura, Winda Oktaviana, tinggal di Linkuo, Taiwan, Tunjiah, tinggal di Kowloon, Hong Kong, Muji Hasanah, tinggal di Hong Kong, Agus Riwayanto, tinggal di Horoekimae, Jepang, Budi Satya Pramudia, tinggal di Beckenham, Australia, Jumiko Sakarosa, tinggal di Gosnells, Australia, Ratih Ratna Purnami, tinggal di Langford, Australia, Fatma Lenggogeni, tinggal di New South Wales, Australia, Edwin Syafdinal Syafril, tinggal di Al-Khor, Qatar, Agri Sumara, tinggal di Al-Kohr, Qatar.
"Kami meminta presidential threshold diubah dari 20 persen menjadi 0 persen. Kami meyakini dengan dihapuskannya presidential threshold 20 persen menjadi 0 persen akan membenahi perpolitikan di Tanah Air," kata Tata, yang disiarkan lewat channel YouTube MK, Kamis (3/2).
Tata membantah dalil presidential threshold 20 persen untuk menstabilkan politik. Tata membandingkan dengan sistem politik di Amerika Serikat. Sebab, bisa saja seorang presiden partainya tidak mendapatkan suara mayoritas di parlemen.
Dalam posisi itu, presiden akan mensosialisasikan kebijakannya ke masyarakat agar didukung, bukan membuat threshold saat pemilihan.
"Di AS, kadang presiden terpilih tidak mempunyai suara mayoritas di kongres. Presiden akan melakukan sosialisasi kebijakan agar didukung rakyatnya," ucap Tata.
Dalam sidang itu, ketua majelis panel Arief Hidayat meminta berkas permohonan diperbaiki. Seperti keabsahan pemberian kuasa yang di luar negeri harus mendapat legalisir dari KBRI setempat. Hal itu sesuai dengan putusan MA Nomor 308 K/PDT/1981. Termasuk berkas pemberian kuasa dibuat di mana.
"Ini ada kerumitan-kerumitan tersendiri yang harus diselesaikan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa," kata Arief Hidayat.
Pagi ini juga digelar sidang permohonan serupa yang diajukan Lieus Sungkharisma dengan agenda perbaikan permohonan II di MK. Lieus tetap dengan permohonannya agar presidential threshold diubah menjadi 0 persen.
"Kemarin permohonan 6 halaman, sekarang diperbaiki menjadi 17 halaman. Kasihan, saya punya pengalaman sendiri.
Tahun 1998 saya pernah bikin partai, terdaftar di Kumham tapi nggak ikut pemilu karena persyaratan tidak mudah. Partai Reformasi Tionghoa Indonesia tidak kuat. Dengan UU Pemilu, 25 persen dan 20 persen, berat sekali. Dipikir-pikir, sekarang 7 berkoalisi, 2 oposisi. 2 Nggak cukup 20 persen. Suasananya menjadi beda dengan yang dulu," ujar Lieus.
Di waktu yang sama, MK juga menggelar sidang pendahuluan II kepada permohonan serupa yang diajukan oleh Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, dan Fahira Idris. (detikcom/a)