Jakarta (SIB)
Majelis Eksaminasi meminta Komisi Yudisial (KY) menyikapi atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri yang menghapus kewajiban siswa memakai seragam sekolah yang menjurus ke keyakinan tertentu. MA dinilai belum memahami hak asasi manusia dengan baik.
Majelis Eksaminasi itu terdiri para aktivis perempuan serta akademisi, yaitu Ninik Rahayu, Sri Wiyanti Eddyono, Sulistyowati, Al Khanif, Bivitri Susanti, Cekil Setya Pratiwi, dan Henny Supolo.
"Menolak putusan yang telah dikeluarkan oleh majelis hakim, yang menyatakan bahwa Keputusan Bersama 3 Menteri a quo bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Meminta Komisi Yudisial melakukan eksaminasi terhadap putusan a quo sesuai dengan kewenangannya," kata Bivitri kepada wartawan, Senin (1/11).
Sikap di atas bukannya tanpa alasan. Pertama, terdapat problem mendasar di dalam pertimbangan Putusan MA itu, yakni argumentasi hukum yang disusun sebagian besar didasari pada nilai dan moralitas yang bertumpu pada satu penafsiran agama (Islam) tertentu.
"Pandangan ini lebih mendominasi putusan dibanding argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis, dan tidak mengedepankan moral publik yang dibutuhkan dalam hidup bernegara," cetus Bivitri.
Hakim agung yang diberi mandat untuk memutus dengan menggali rasa keadilan dalam masyarakat, kata Majelis Eksaminasi, telah gagal melihat keseluruhan konteks penerbitan SKB Tiga Menteri. Padahal SKB Tiga Menteri diterbitkan untuk memulihkan keadaan akibat menguatnya intoleransi dan memudarnya kohesi sosial dalam masyarakat, berupa pemaksaan dan penundukan terhadap pendidik dan peserta didik perempuan, serta penggunaan hukum untuk melakukan perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.
Hakim agung juga dinilai tidak memiliki perspektif keadilan perempuan. Mengapa? karena tidak mengenali bahwa pelarangan, pemaksaan dan pembatasan terhadap perempuan, di antaranya dalam bentuk cara berpakaian, yang dilegalisasi dalam instruksi bupati/wali kota, peraturan daerah dan peraturan gubernur itu, sebagai perbuatan diskriminasi terhadap perempuan yang berdampak pada adanya diskriminasi berlapis dan hilangnya hak-hak perempuan lainnya seperti hak atas rasa aman, hak atas kebebasan berekspresi.
"Pelarangan pemaksaan dan pembatasan terhadap perempuan tersebut telah terbukti melahirkan kekerasan terhadap perempuan dengan adanya kasus-kasus ril yang terjadi dan berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap perempuan yang berlanjut," beber Bivitri.
Putusan MA ini tidak memberikan perspektif kemanfaatan hukum. Bahkan akan berdampak besar bagi jaminan pelaksanaan hak anak dan hak perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Atas nama penafsiran agama dan nilai-nilai budaya yang masih kental dengan stereotip maka pelanggaran hak perempuan justru dilanggengkan oleh lembaga peradilan.
"Kondisi ini dalam kaca mata hak asasi manusia disebut sebagai pelanggaran hak-hak perempuan dan HAM oleh aktor-aktor negara dan lembaga peradilan," tutur Bivitri.
Hakim agung juga dirasakan tidak mempertimbangkan problem struktural dan kultural praktik diskriminasi terhadap perempuan yang telah berlanjut lama di dalam masyarakat. Salah satu wujudnya melalui menguatnya politisasi agama yang menggunakan dan mengontrol tubuh perempuan sebagai sandaran moral dan agama.
"Perilaku diskriminatif melalui kebijakan sekolah dan pemerintah daerah dan praktiknya yang mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu telah menimbulkan korban. Namun tidak masuk sebagai problem serius yang telah melanggar hak anak, hak perempuan, hak kelompok minoritas, dan hak pemeluk agama Islam sendiri yang memiliki pandangan terhadap praktik keagamaan yang berbeda dalam menjalankan hak agama yang dilindungi oleh konstitusi," beber Bivitri.
Majelis Eksaminasi juga meminta MA memastikan hakim-hakim yang memeriksa perkara berdimensi hak asasi manusia yang meletakkan adanya kerentanan dan perhatian khusus pada hak perempuan, hak anak, dan kelompok rentan lainnya, dan khususnya memiliki pengetahuan serta perspektif keadilan perempuan pendekatan interseksionalitas.
"Meminta Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan literasi hukum yang berperspektif keberagaman, kenusantaraan, dan prinsip Hak Asasi Manusia terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada di bawahnya,"pungkas Bivitri.
Sebagaimana diketahui, MA mencabut SKB 3 menteri soal seragam sekolah ini pada Mei 2021. Salah satu alasannya bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional. Perkara nomor 17 P/HUM/2021 itu diketok pada 3 Mei 2021. Duduk sebagai ketua majelis Yulius dengan anggota Is Sudaryono dan Irfan Fachruddin. (detikcom/d)