Jakarta (SIB)
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyoroti gagasan pencalonan presiden dari non-partai politik. Menurutnya, gagasan ini konstitusional karena telah diberi ruang oleh Undang-Undang Dasar.
Sebelum Amandemen, LaNyalla menjelaskan naskah asli UUD 1945 telah memberi ruang kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di dalam MPR. Usai Amandemen, meskipun pengusung merupakan parpol dan atau gabungan parpol, namun hakikat dari hak dasar warga negara masih diakui oleh konstitusi.
Senator asal Jawa Timur ini pun menyampaikan hak mencalonkan dan dicalonkan sebagai pemimpin tertuang dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D Ayat (3). Adapun pasal ini menjelaskan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
"Oleh karena itu DPD RI akan terus menggelorakan rencana Amandemen perubahan ke-5 untuk mengoreksi sistem tata negara dan arah perjalanan bangsa ini," kata LaNyalla dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/10).
Hal ini disampaikan saat memberi sambutan secara virtual di Rapat Pimpinan Terbatas Dewan Pimpinan Nasional Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI) dan Laskar Siliwangi Indonesia (LSI) di Bandung, Sabtu (30/10).
Lebih lanjut ia menambahkan sebelum Amandemen 1-4, utusan daerah dan utusan golongan memiliki kewenangan sama dengan anggota DPR RI yang merupakan representasi partai politik. Namun, setelah Amandemen, wewenang DPD untuk mengusungkan calon presiden dan wakil presiden menjadi terbatas.
"Termasuk dalam mengajukan pasangan capres-cawapres. Namun, setelah Amandemen, utusan golongan dihapus, dan utusan daerah menjadi DPD RI, tetapi kewenangan DPD RI sebagai wujud dari utusan daerah dibatasi, tidak boleh usung capres-cawapres. Hak itu yang ingin dikembalikan oleh DPD," tegasnya.
Padahal, kata LaNyalla, sebagian besar masyarakat Indonesia menginginkan adanya calon pemimpin yang bukan dari kader partai. Hal ini terlihat dari hasil survei Akar Rumput Strategic Consulting atau ARSC, yang dirilis pada 22 Mei 2021. Dari survei tersebut, tercatat sekitar 71,49% responden ingin calon presiden dari unsur nonparpol.
"Sudah seharusnya DPD RI, sebagai peserta pemilu dari unsur non-partai politik bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden yang merupakan representasi masyarakat itu," ucapnya.
Di kesempatan tersebut, LaNyalla menyebut sistem tata negara di Indonesia saat ini sudah tidak sesuai dengan DNA asli sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Sebab, DPD RI yang non partisan dan DPR RI yang representasi parpol seharusnya memiliki kedudukan sama.
Ia mengatakan anggota DPD RI juga dipilih melalui Pemilu sama halnya dengan partai politik yang menghasilkan anggota DPR di kursi Legislatif.
"Kenapa sekarang hanya partai politik yang dapat mengusulkan warga negara yang akan memimpin pemerintahan. Ini yang sedang kita sampaikan ke publik, sehingga elemen civil society, seperti LAKRI dan LSI, memiliki saluran yang jelas untuk ikut menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa," katanya.
Di samping itu, LaNyalla juga menyoroti kontribusi dari entitas civil society dalam lahirnya bangsa Indonesia. Menurutnya, entitas civil society seperti raja dan sultan Nusantara, kaum pendidik, ulama, cendekiawan, dan tokoh lainnya berperan konkret bagi negara. Bahkan, kata LaNyalla, hal ini terjadi jauh sebelum partai politik muncul dalam sistem kenegaraan Indonesia.
"Lalu kenapa entitas-entitas civil society tersebut tidak bisa terlibat dalam menentukan perjalanan bangsa? Inilah situasi paradoksal yang terjadi setelah Amandemen saat itu. Inilah yang mendorong DPD untuk melakukan Amandemen konstitusi ke-5," tandasnya. (detikcom/d)