Jakarta (SIB)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kembali mengungkap laporan mingguan Covid-19 di Indonesia. Disebutkan, masih ada empat provinsi yang masih memiliki tingkat kematian yang tinggi selama sepekan terakhir.
Berdasarkan pedoman WHO, suatu daerah dapat dikatakan memiliki tingkat kematian yang tinggi apabila angka kejadiannya 2-5 kasus per 100.000 penduduk.
"Selama sepekan, dari 20-26 September, empat provinsi tetap berada pada tingkat penularan komunitas (CT3) yang tinggi dalam hal jumlah kematian Covid-19 mingguan per 100.000 penduduk: Kepulauan Bangka Belitung (2,4), Kalimantan Utara (2,4), Bali (2,3), dan Aceh (2,1)," tulis WHO dalam laporannya, seperti dikutip, Jumat (1/10).
Sebagai informasi, ada empat kategori tingkat kematian di komunitas yaitu:
Insiden rendah (CT1): angka kejadian di bawah 1 kasus per 100.000 penduduk
Insiden sedang (CT2): angka kejadian di antara 1-2 kasus per 100.000 penduduk
Insiden tinggi (CT3): angka kejadian di antara 2-5 kasus per 100.000 penduduk
Insiden sangat tinggi (CT4): angka kejadian di atas 5 kasus per 100.000 penduduk.
Meski begitu, WHO mengatakan, selama sepekan terakhir tingkat kematian Covid-19 di Indonesia sudah menurun dari pekan sebelumnya, yakni 0,6 kasus per 100.000 penduduk. Pada pekan lalu angka kejadiannya sebesar 1 kasus per 100.000 penduduk.
Selalu Terjadi
Menurunnya kasus Covid-19 selama 10 minggu berturut-turut harus disikapi dengan bijak dan berhati-hati, serta tidak gegabah melakukan kegiatan sosial-ekonomi meskipun berada dalam masa pelonggaran. Hal ini agar Indonesia dapat terhindar dari potensi ancaman lonjakan ketiga.
Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito menekankan pentingnya belajar dari pola kenaikan kasus selama pandemi di Indonesia. Terlebih lagi, dengan adanya wacana diizinkan kegiatan besar, ditambah lagi sudah dekatnya periode Natal dan Tahun Baru 2022.
"Berdasarkan pengalaman, kenaikan kasus hampir selalu terjadi pasca kegiatan besar," ucap Wiku dilansir dari rilis KPCPEN pada Jumat (1/10).
Jika dilihat dari pola kenaikan, kasus mulai turun setelah pembatasan diberlakukan. Baik itu mobilitas maupun kegiatan sosial. Begitu kasus turun dan pembatasan mulai dilonggarkan, kasus akan meningkat perlahan. Hal ini juga menunjukkan upaya menjaga protokol kesehatan 3M belum maksimal dan belum dapat menjadi faktor utama penurunan kasus Covid-19.
Kebijakan pembatasan mobilitas dan aktivitas masyarakat masih menjadi faktor utama. Padahal pendekatan tersebut tidak dapat dilakukan terus-menerus karena akan berdampak pada sektor lainnya dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Disiplin protokol kesehatan menjadi upaya paling mudah dan murah yang bisa dilakukan.
Lebih lanjut, sebagai pembelajaran pertama, saat kenaikan kasus pasca periode Idul Fitri tahun 2020. Meskipun saat itu diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan mudik ditiadakan, namun kasus tetap naik hingga 214 persen. Kenaikan mulai terjadi 2 minggu pasca Idul Fitri dan bertahan selama 7 minggu.
Pelajaran yang dapat diambil dari lonjakan kedua, Indonesia kehilangan banyak nyawa, produktivitas masyarakat dan tidak stabilnya ekonomi. Dan penting diingat, bahwa lonjakan kasus kedua mengakibatkan 2,5 juta orang positif terinfeksi Covid-19, dan 94.000 diantaranya dilaporkan meninggal dunia.
Lalu, angka positif rate mingguan tertinggi berada pada angka 30,72 persen atau 6 kali lipat dari standar yang ditetapkan oleh WHO. Terlebih pula kasus aktif mingguan sempat mencapai 24,21 persen. Hingga saat ini tercatat 900.000 orang yang sembuh. Pencapaian ini diraih dengan perjuangan berat mengingat persentase ketersediaan tempat tidur nasional sempat mencapai hampir 80 persen.
Kondisi lonjakan kedua mendorong diberlakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan akhirnya mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Pada Kuartal ketiga 2021, pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 2 persen. Angka ini turun sekitar 5 persen dari pertumbuhan ekonomi pada Kuartal kedua yaitu 7,0 tujuh persen.
Untuk itu Indonesia perlu waspada potensi lonjakan ketiga yang dihadapi oleh berbagai negara didunia dan dengan melihat dari pola kenaikan kasus setelah even atau kegiatan besar di dalam negeri. Terlebih lagi, pembatasan mobilitas dan kegiatan sosial ekonomi yang mulai dilonggarkan perlahan menjadi kekuatan yang dapat berubah menjadi tantangan apabila tidak dibarengi dengan protokol kesehatan yang ketat.
"Sekali lagi saya tekankan bahwa apapun upaya yang akan dilakukan jika pelaksanaan dan pengawasan protokol Kesehatan tidak kuat, maka hal tersebut tidak akan berjalan dengan efektif," pungkas Wiku. (Detikhealth/Okz/d)