Jakarta (SIB)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Perpres 83/2021 tentang Pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam pelayanan publik. Jokowi juga meminta penyelenggara pelayanan publik merahasiakan data warga.
Aturan tentang menjaga kerahasiaan data itu tertulis dalam Perpres Nomor 83/2021 pada Pasal 11. Menjaga kerahasiaan data warga sifatnya wajib.
"Penyelenggara wajib melindungi kerahasiaan data penerima layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi pasal 11 perpres itu, sebagaimana dilihat, Rabu (29/9).
Selain itu, Jokowi juga meminta penyelenggara pelayanan publik segera menyelesaikan pencantuman NIK/NPWP yang masih aktif. Dia memberikan batas waktu selama 2 tahun.
"Penyelenggara harus menyelesaikan pencantuman NIK dan/atau NPWP untuk setiap data penerima pelayanan publik yang statusnya masih aktif di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak berlakunya Peraturan Presiden ini," tulis perpres itu.
Perpres tersebut diteken pada 9 September 2021. Aturan pencantuman NIK/NPWP ini berlaku sejak hari itu juga.
Keluarkan Aturan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan aturan tentang Pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam pelayanan publik. Aturan itu tertuang dalam Pepres No 83 Tahun 2021 yang diteken 9 September 2021.
"Bahwa untuk mendukung pelaksanaan pelayanan publik guna melayani setiap warga negara dan penduduk, dalam memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya, perlu menerapkan kebijakan pencantuman nomor identitas yang terstandardisasi dan terintegrasi dalam pelayanan publik," bunyi Perpres seperti dilihat, Rabu (29/9).
Nomor identitas yang wajib dicantumkan dalam Pepres tertulis NIK dan atau NPWP. Keduanya merupakan rujukan identitas data yang bersifat unik sebagai salah satu kode referensi dalam pelayanan publik untuk mendukung kebijakan satu data Indonesia.
Dalam Perpres ini terdapat 13 pasal. Setiap pasal menjelaskan setiap penerima pelayanan publik diminta menunjukkan NIK atau NPWP aktif untuk mendapat pelayanan, namun ketentuan penambahan atau pencantuman NIK/NPWP ini dikecualikan untuk orang asing yang mana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak diwajibkan untuk memiliki NIK/NPWP.
Dalam hal ini Jokowi juga meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertanggung jawab atas keakuratan dan validitas NIK dan NPWP. Kemendagri dan Kemenkeu juga diminta melakukan pemutakhiran data kependudukan dan basis data perpajakan, setiap lembaga dan instansi pemerintah yang berwewenang juga diminta melakukan pengawasan ke penyelenggara pelayanan publik yang berstatus instansi nonpemerintah.
Dalam pasal 10 ayat 1 juga ditulis pencantuman data ini bisa dimanfaatkan untuk mencegah korupsi hingga tindak pencucian uang (TPPU).
Berikut bunyi Pasal 10:
(1) Data penerima layanan yang telah dilengkapi NIK dan/atau NPWP dan telah tervalidasi dapat dibagipakaikan serta dimanfaatkan untuk:
a. pencegahan tindak pidana korupsi;
b. pencegahan tindak pidana pencucian uang;
c. kepentingan perpajakan;
d. pemutakhiran data identitas dalam data kependudukan; dan
e. tujuan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembagipakaian dan pemanfaatan data penerima layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Perpres ini juga meminta agar penyelenggara merahasiakan data penerima pelayanan. Penyelenggara juga harus menyelesaikan pencantuman NIK atau NPWP untuk setiap data penerima pelayanan publik yang statusnya masih aktif di wilayah NKRI dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak berlakunya Pepres. (detikcom/d)