Jakarta (SIB)
Majelis Rakyat Papua (MRP) mengajukan judicial review UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) ke Mahkamah Konstitusi (MK), padahal UU itu baru disahkan pada Juli 2021. Berkas judicial review itu didaftarkan ke MK secara online dan masih diperiksa oleh kepaniteraan MK.
"Menyatakan bahwa pasal-pasal: Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59, Pasal 68A, dan Pasal 76 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," demikian bunyi permohonan MRP yang dilansir website MK, Rabu (1/9).
MRP memberikan kuasa kepada Saor Siagian, Imam Hidayat, Esther D Ruru, Roy Rening, Rita Serena Kalibonso, Lamria Siagian, Ecoline Situmorang, Alvon Kurnia Palma, Haris Azhar, dan Muniar Sitanggang. Salah satu alasan melakukan judicial review adalah revisi UU itu dinilai tidak melibatkan rakyat Papua melalui MRP. Revisi ini tanpa adanya masukan, usulan, dan partisipasi dari Pemerintah Provinsi Papua, MRP, dan DPRP, yang dalam hal ini merupakan representasi kultural orang asli Papua dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua. Sehingga dalam hal ini menunjukkan tidak adanya iktikad baik dan tanggung jawab Presiden RI dalam pelaksanaan kewenangan pengajuan rancangan undang-undang.
"Menyatakan Pasal 77 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai 'usulan perubahan UU ini wajib diajukan rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPR Papua'," ujarnya.
Pemohon menyatakan Otonomi Khusus Papua lebih jauh harus dipahami sebagai sebuah proses konsensus/kompromi politik antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat atas refleksi perjalanan sejarah sejak 1962 berhadapan dengan dinamika perkembangan global dan regional yang terus bereskalasi. Lahirnya UU 21/2001 bertujuan menyelesaikan konflik multidimensional yang berkepanjangan di Papua.
"Setelah 20 tahun UU Otonomi Khusus Papua diberlakukan, perlu dilakukan pembahasan dan evaluasi secara menyeluruh yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ini. Pada esensinya politik hukum Undang-Undang Otsus bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat; mewujudkan keadilan, penegakan hak asasi manusia, supremasi hukum dan demokrasi; serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli dalam perspektif pelaksanaan HAM sebelum dan sesudah lahirnya UU Otonomi Khusus tahun 2001 bagi Papua," papar pemohon.
"Pemberian Otonomi Khusus Papua dimaksudkan untuk mengatasi konflik yang berlangsung lama dan menelan korban (pelanggaran HAM) karena adanya tuntutan untuk memisahkan diri dari negara Republik Indonesia. Pendekatan kebijakan pemerintah dalam bidang kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach) selama ini belum dirasakan manfaatnya bagi rakyat Provinsi Papua," sambung pemohon.
Oleh sebab itu, kata MRP lagi, perlunya melibatkan orang asli Papua (OAP), yang merupakan representasi kultural dan/atau politis dari MRP dan DPRP dalam hal pengusulan RUU Perubahan Kedua UU 21/2001 merupakan suatu keniscayaan. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan tanpa menyerap aspirasi rakyat Papua melalui MRP/DPRP dalam usulan perubahan kedua UU Otsus adalah tindakan menegasikan dan melawan amanat Ketetapan MPR dalam hal ini melanggar UU Otsus yang pada gilirannya akan dapat menciptakan ketidakpercayaan rakyat Papua kepada pemerintah pusat.
"Karena yang terpenting dari semua itu diharapkan melalui perubahan kedua Undang-Undang Otsus ini dapat menghargai hak-hak dasar OAP, dengan mewujudkan peningkatan taraf hidup masyarakat, terwujudnya keadilan, penegakan HAM, supremasi hukum, dan demokrasi yang bermartabat bagi rakyat Provinsi Papua dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," katanya.
Merujuk pasal yang di-judicial review MRP, salah satunya Pasal 76 yang diubah sehingga pemekaran wilayah di Papua bisa menjadi lebih mudah. Dalam UU Otsus Papua Tahun 2001, pasal ini hanya terdiri satu ayat saja. (detikcom/a)