Medan (SIB)
Anggota DPRD Sumut Dapil IX wilayah Tapanuli Ir Tangkas Manimpan Lumbantobing mengatakan, masyarakat Desa Pagaran Lambung II, Kecamatan Adiankoting, Kabupaten Taput (Tapanuli Utara) merasa resah, karena kawasan tempat tinggal dan areal perkebunan mereka dipatok-patok pihak kehutanan dan diklaim masuk kawasan hutan sesuai SK Menhut No44/2005.
"Hingga saat ini seluruh masyarakat yang ada di Desa Pagaran Lambung II, belum mengetahui apakah rumah dan lahan perkebunan mereka masuk kawasan hutan atau tidak, sebab belum ada kejelasan secara resmi dari Dinas Kehutanan Sumut maupun Pemkab Taput," ujar Tangkas Manimpan Lumbantobing kepada wartawan, Kamis (15/7) melalui telepon menyampaikan hasil kegiatan resesnya di Taput.
Yang menambah resah masyarakat, tandas Sekretaris FP Demokrat Sumut itu, ada pula yang mengaku dari pihak kehutanan datang ke desa mereka, tepatnya pada Januari 2021 untuk melakukan pengukuran serta mematok-matok rumah dan lahan perkebunan masyarakat, karena diklaim masuk kawasan hutan sesuai SK 44/2005.
Berkaitan dengan itu, tambah Tangkas, masyarakat sangat berharap ada penjelasan secara resmi dari Dinas Kehutanan Sumut maupun Pemkab Taput terkait status lahan perkebunan masyarakat beserta desa mereka, karena kawasan itu sudah ditempati masyarakat sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
"Masyarakat ingin kejelasan, jika tempat tinggal dan areal perkebunan mereka masuk kawasan hutan, hendaknya dikeluarkan dari peta kehutanan, sebab kawasan itu sudah mereka tempati secara turun-temurun," tandas Tangkas Manimpan.
Menanggapi keresahan masyarakat, anggota Komisi B ini menyenangkan masyarakat, bahwa SK Menhut No44/2005 sudah direvisi, yang antara lain isinya, mengeluarkan sejumlah areal tertentu dari lokasi atau areal yang masuk kawasan hutan, seperti pemukiman, persawahan maupun fasilitas umum dan sosial.
"Jujur kita akui, sejak keluarnya SK Menhut 44 itu, telah menimbulkan berbagai permasalahan yang serius, terutama di kalangan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan SK itu lewat Putusan MK-45," tandasnya.
Kemudian, ujar politisi vokal ini, Menhut RI merevisinya kembali dengan mengeluarkan areal pemukiman warga, persawahan maupun fasilitas umum dan sosial dari areal hutan, sehingga diharapkan kepada masyarakat tidak lagi resah terhadap SK 44 tersebut. Begitu juga pihak kehutanan, hendaknya jangan lagi mengganggu lahan rakyat. (A4/c)