Jakarta (SIB)
Mantan Sekjen Partai NasDem Patrice Rio Capella mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rio meminta MK memberikan penafsiran pasal suap di UU Tipikor sehingga tidak multitafsir.
Pasal yang dimaksud yaitu Pasal 11 UU Tipikor yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Menurut Rio, frasa 'yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya' menjadi pasal multitafsir dan karet.
"Menyatakan Pasal 11 Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa 'yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya' dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi permohonan Rio dalam berkas yang dilansir website MK, Kamis (16/6).
Selain pernah menjadi Sekjen NasDem, Rio juga pernah menjadi anggota Komisi III DPR 2014-2019. Namun baru satu tahun duduk di kursi DPR, Rio ditangkap KPK karena terbukti menerima suap terkait penanganan bansos di Kejaksaan Agung dan dihukum 1,5 tahun penjara. Nah, menurut Rio, pasal yang dikenakan kepadanya tidaklah jelas dan mulitafsir karena ada frase 'yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya'.
"Unsur tersebut tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut disebabkan Pemohon telah dijatuhi hukuman dengan ketentuan tersebut," ujarnya.
Menurut Rio, ketentuan dalam Pasal 11 UU PTPK tersebut merupakan suatu ketentuan yang ambigu, cenderung bersifat subjektif dan bertentangan dengan sifat-sifat dasar dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana seseorang dapat dihukum/dipidana akibat perbuatannya yang salah dan melanggar hukum, seseorang tidak dapat dihukum/dipidana atas apa yang ia pikirkan (cogitationis poenam nemo patitur).
"Berdasarkan hal tersebut maka seseorang tidak boleh dihukum atas apa yang ia pikirkan, apalagi dihukum atas pikiran yang asalnya dari orang lain," tutur Rio.
Pekerjaan Rio adalah politikus, sehingga tidak tertutup kemungkinan suatu saat ia akan kembali dipercaya untuk menjabat sebagai 'penyelenggara negara'.
"Berdasarkan hal tersebut apabila ketentuan dalam Pasal 11 tidak dicabut dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka ketika pemohon kembali dipercaya untuk menjabat sebagai "penyelenggara negara" kerugian konstitusional pemohon berpotensi akan terjadi kembali. Namun, apabila permohonan a quo dikabulkan, kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan lagi terjadi," papar mantan anggota DPRD Provinsi Bengkulu itu.
Rio telah bebas pada 22 Desember 2016. Rio keluar mengenakan celana hitam dan kemeja biru dari Lapas Sukamiskin sekitar pukul 10.00 WIB. Kebebasannya disambut ratusan orang dengan sukacita.
Ratusan orang yang menyambutnya di halaman Lapas Sukamiskin itu berasal dari anggota ormas XTC Indonesia Kota Bandung dan sejumlah ormas ProDEM. Rio sendiri merupakan anggota Dewan Kehormatan XTC Indonesia.
"Saya jalani hukuman selama 1 tahun 2 bulan atau tepatnya 425 hari," ucap Rio usai bebas. (detikcom/c)