Jakarta (SIB)
Mahkamah Agung (MA) melarang pengunjung mengambil foto, video, dan mendokumentasikan persidangan dalam sidang terbuka untuk umum. Larangan akan gugur bila pengambilan dokumentasi itu telah mendapatkan izin dari ketua majelis hakim.
Larangan itu tertuang dalam Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan.
"Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan," demikian bunyi Pasal 4 ayat 6 Perma Nomor 5 Tahun 2020 yang dikutip, Jumat (18/12).
Sedangkan untuk sidang yang tertutup untuk umum, seluruh pengambilan dokumentasi dilarang dengan alasan apa pun. Selain itu, pengunjung sidang juga dilarang menggunakan telepon seluler untuk melakukan komunikasi dalam bentuk apa pun dan tidak mengaktifkan nada dering.
"Pengujung sidang dilarang mengeluarkan ucapan dan/atau sikap yang menunjukkan dukungan atau keberatan atas keterangan yang diberikan oleh para pihak, saksi dan/atau ahli selama persidangan," tambah aturan MA terbaru itu dalam Pasal 4 ayat 11.
Selain itu, pengunjung sidang wajib berpakaian sopan. Tidak hanya itu, masyarakat juga wajib memakai sepatu bila ingin mengikuti jalannya persidangan.
"Setiap orang yang hadir di ruang sidang harus mengenakan pakaian yang sopan dan pantas serta menggunakan alas kaki tertutup dengan memperhatikan kearifan lokal," demikian bunyi Pasal 4 ayat 14.
Tata krama lain yang diatur tertulis itu seperti dilarang merokok, makan, minum, membaca koran, tidur, atau perbuatan yang dapat mengganggu jalannya persidangan dan kewibawaan persidangan.
"Setiap orang dilarang membuat kegaduhan, bersorak sorai dan/atau bertepuk tangan, baik di dalam maupun di luar ruangan sidang yang dapat mengganggu jalannya persidangan," bunyi Pasal 4 ayat 10.
Inkonsisten
Terpisah, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Irvan Saputra SH MH mengatakan, Mahkamah Agung (MA) RI inkonsisten dalam membuat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, tertanggal 4 Desember 2020.
Inkonsisten tersebut terlihat dalam pasal 4 ayat (6) terkait adanya kewajiban izin kepada hakim/ketua majelis hakim dalam pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual dalam proses persidangan dan harus dilakukan sebelum dimulainya persidangan, ujar Irvan, Selasa (22/12).
"MA RI inkonsisten dalam membuat peraturan, hal ini secara nyata dan jelas terlihat ketika MA RI pada 7 Februari 2020 lalu membuat Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA , Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, yang isinya tak jauh berbeda, salah satunya mengatur ketentuan pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Namun SE tersebut dicabut karena banyaknya penolakan dari kalangan di antaranya organisasi masyarakat sipil dan pers dan tiba-tiba kembali membuat peraturan hampir sama yang seharusnya tak perlu dibuat lagi karena terdapat penolakan," katanya.
Pelanggaran terhadap pasal 4 ayat (6) tersebut dikategorikan sebagai bentuk penghinaan terhadap pengadilan. Karena secara jelas dan tegas telah diatur dalam pasal 7 PERMA No 5 Tahun 2020 yang menyatakan sebagai bentuk contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan, ujarnya.
"LBH Medan menilai kebijakan yang ditetapkan MA RI sangat bertentangan dengan pasal 4 ayat (3) UU Pers yang mana pasal tersebut telah memberikan jaminan terhadap kemerdekaan pers, dengan memberi hak kepada pers nasional dalam hal untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Karena itu, sudah sepatutnya secara hukum MA RI mendukung hal tersebut bukan malah sebaliknya," tegasnya.
LBH Medan menduga tindakan tersebut dapat menghalangi kerja jurnalistik atau hak dari aparat penegak hukum lainnya , dalam hal ini advokat.
"PERMA ini jelas akan menghambat fungsi dan peran pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik. Kehadiran jurnalis/pers sebagai pilar demokrasi dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan. Seharusnya MA lebih merasa sangat nyaman dan terlindungi dari praktek-praktek yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, dengan tidak menghambat pers/seseorang dalam mengambil foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual dalam proses persidangan. Bisa dinilai ini sebagai bentuk pencegahan eksternal terhadap MA sehingga ke depannya MA RI menjadi lebih baik dan benar dalam melakukan penegakan hukum. Secara logika, semakin banyak yang mengawasi maka harusnya semakin taat dan tertib penegakan hukum yang dilakukan MA RI," katanya.
Untuk itu, LBH Medan mendesak MA segera mencabut PERMA tersebut, karena diduga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 F dan melanggar HAM dalam mendapatkan informasi, serta dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi ke publik. (detikcom/M20/f)
Sumber
: Hariansib edisi cetak