Jakarta (SIB)
Jaksa Agung ST Burhanuddin resmi mengajukan banding terkait putusan PTUN Jakarta yang menyatakan pernyataan Jaksa Agung di DPR yang menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat, melawan hukum. Jaksa Agung keberatan atas putusan tersebut sehingga menyatakan banding.
"Saya baru dapat kabar dari JPN (jaksa pengacara negara) sudah menyatakan banding tanggal 9 November," kata Kapuspenkum Kejagung, Hari Setiyono, saat dikonfirmasi, Kamis (12/11).
Ia mengatakan saat ini sedang tahap menunggu penunjukan majelis hakim banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PTTUN Jakarta). Nantinya tak perlu sidang karena majelis akan memeriksa berkas pada banding tersebut.
"Biasanya majelis hakim banding hanya memeriksa berkas, tapi tidak menutup kemungkinan juga manggil para pihak," ujarnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak tinggal diam mengenai putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menyatakan pernyataan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin soal peristiwa Semanggi I dan II sebagai tindakan melawan hukum. Kejagung tengah menyiapkan upaya hukum banding.
"Melihat pada banyaknya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, banyaknya kewajiban pemeriksaan alat bukti yang tidak dilakukan oleh pengadilan PTUN dan banyaknya kesimpulan-kesimpulan yang dibuat tidak berdasarkan kepada alat bukti yang ada, maka kami mempersiapkan diri bahwa putusan ini adalah putusan yang tidak benar dan kami harus melakukan banding atas satu putusan yang tidak berdasarkan kepada hukum acara yang seharusnya dilakukan," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Feri Wibisono dalam jumpa pers di kompleks Kejagung, Jalan Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (5/11).
Feri menerangkan hakim PTUN telah mengabaikan alat bukti dari saksi ahli. Hakim pun, sebut Feri, tidak menilai keterangan ahli yang merupakan kewajibannya berkaitan dengan alat bukti.
Selain itu, Feri melihat hakim mencampuradukkan kepentingan yang mengabaikan objek sengketa. Padahal para penggugat yang merupakan keluarga korban memiliki kepentingan terkait penanganan perkara sementara jawaban Jaksa Agung tidak memiliki kepentingan apapun.
"Sementara yang menjadi objek sengketa bukan perkaranya. Penjelasan Jaksa Agung di rapat kerja Komisi III DPR, sehingga di sini hakim PTUN mencampuradukkan bahwa para penggugat orang tua korban itu memiliki kepentingan terkait penanganan perkara, tetapi jawaban di DPR tadi, yang bersangkutan tidak memiliki kepentingan. Jadi hakim salah karena mencampuradukkan kepentingan yang menjadi syarat dalam proses satu perkara," kata Feri.
Sementara itu, berdasarkan keterangan pers Kejagung menyebut putusan PTUN Jakarta keliru dalam pertimbangan hukumnya. Hal itu karena pernyataan Jaksa Agung dalam rapat Komisi III DPR dianggap tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan konkret, melainkan hal tersebut merupakan ucapan atau pernyataan sehingga bukan objek sengketa PTUN.
"PTUN Jakarta keliru memberikan pertimbangan hukum. Bahwa Tindakan Jaksa Agung dalam menginformasikan belum merupakan perbuatan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana ditentukan dalam Perma No. 2 Tahun 2019, informasi yang diberikan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja dengan DPR RI tidak dapat dikategorikan perbuatan konkret penyelenggaraan
pemerintahan sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 1 Perma No. 2 Tahun 2019 sebagaimana tersebut dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 93 sd Halaman 95 dari putusan tersebut," kata Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono, dalam keterangannya.
"Kesalahan PTUN Jakarta tersebut karena ucapan atau pernyataan Jaksa Agung RI yang memberikan informasi bukan suatu tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dan jika pernyataan dan jawaban pada Rapat Kerja-DPR dikategorikan Tindakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan, maka akan banyak pernyataan/jawaban yang merupakan objek sengketa TUN," sambungnya. (detikcom/f)