Humbahas (SIB)- Masyarakat adat Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), mempertanyakan peraturan daerah (Perda) tentang pengakuan masyarakat hukum adat Pandumaan-Sipituhuta (hak ulayat) kepada Pemkab Humbahas. Sebab, hingga saat ini keberadaannya belum jelas pasca diterbitkannya SK Pengakuan Hutan Adat dari pemerintah pusat, yang berada di Kecamatan Pollung seluas 5.172 hektare yang dikeluarkan dari areal konsesi PT Toba Pulp Lestari.
Hal itu terungkap dalam audiensi pengurus Masyarakat Adat Pandumaan dan Sipituhuta (PMPS) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), dengan Bupati Humbahas Dosmar Banjarnahor di ruang rapat Sekretariat Kantor Bupati, Bukit Inspirasi, Doloksanggul, Rabu (4/10).
Pengurus Masyarakat Adat Pandumaan dan Sipituhuta yang hadir terdiri dari James Sinambela sebagai Ketua, Maratal Lumbanbatu, Sartono Lumban Gaol, Crisman Sihite, Arnold Lumbanbatu, Mangalam Nainggolan dengan pendampingan Sekretaris Desa Pandumaan Gusber Nainggolan serta Rokki Pasaribu dan Delima Silalahi dari KSPPM.
Pada kesempatan itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Humbahas Minrod Sigalingging mengatakan, terlambatnya pembuatan Perda Perlakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ditengarai adanya permintaan DPRD Humbahas untuk terlebih dahulu dilakukan studi akademis sebagai kajian.
"Sebelumnya, angket kuisioner sudah dibagikan panitia masyarakat hukum adat Pandumaan-Sipituhuta sesuai SK Bupati kepada masyarakat untuk mendukung kajian akademis. Hanya saja, sampai saat ini hasil kuisioner tadi belum kita terima untuk diteruskan sebagai dasar kajian," paparnya.
Menjawab hal itu, PMPS melalui Delima dari KSPPM berjanji hasil kuisioner yang sudah dibagikan pada masyarakat akan secepatnya terkumpul untuk segera dikembalikan kepada panitia yang sudah terbentuk.
Bupati mengatakan, sebelum ini pihaknya sudah membentuk panitia melalui SK Bupati No. 16 tahun 2017. Bahkan panitia sudah berkordinasi langsung dengan ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Komnas HAM Jakarta. "Kedua ahli tadi sudah kita hadirkan pada 18 April lalu dalam rapat kerja panitia," katanya.
Lanjut Dosmar, panitia bersama tokoh masyarakat juga sudah menyosialisasikan kuisioner untuk dipahami. "Pada 25 Agustus lalu bersama penasehat Kemenko Maritim, Anthropologist, Staf Khusus Kepresidenan dari 2 universitas juga sudah melakukan sosialisasi pada masyarakat tentang pentingnya Perda Masyarakat Hukum Adat. Jadi ini semua mekanisme. Kita juga berharap masyarakat mendukung dengan mengisi kuisioner tadi. Ini tetap menjadi bahan perhatian yang serius bagi kita," tukasnya.
Lebih lanjut, Dosmar mengatakan, pihaknya akan menerbitkan SK Bupati untuk pengakuan tanah adat Pandumaan dan Sipituhuta sebagai langkah awal sebelum terbentuknya Perda. "Bila syarat dan mekanisme sudah terpenuhi, ini akan ditingkatkan ke Perda setelah mendapat persetujuan dari legislatif," pungkasnya.
Pada kesempatan itu, PMPS juga menolak adanya pencaplokan (klaim) dari Forum Pemrakarsa Pendiri Pemerhati Humbang Hasundutan (FP3HH) yang menyebut masalah pengakuan dan perlindungan hukum adat Pandumaan dan Sipituhuta untuk dilakukan penataulangan Ranperda sesuai tuntutan masyarakat. Serta berharap agar dalam penyusunan Ranperda dapat melibatkan masyarakat di sana.
"Kami menolak pencaplokan FP3HH terkait permasalahan Pandumaan dan Sipituhuta yang terkesan memanfaatkan kondisi ini sebagai salah satu alasan FP3HH mendukung digulirkannya hak angket oleh DPRD Humbahas kepada Bupati Humbahas. Kami menolak perjuangan PMPS dipolitisasi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab," kata James Sinambela.
James juga menegaskan, hingga saat ini pihaknya tidak pernah mengangkat dan menunjuk seseorang sebagai perwakilan mereka di FP3HH. "Bukan hanya itu, tudingan atas penyerahan persoalan masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta pada salah satu anggota DPRD Humbahas tidak pernah kami lakukan," tegasnya. (BR8/h)