Jakarta (SIB) -Tim Satgas menangkap ratusan WN China pelaku kejahatan siber yang melancarkan aksinya di Jakarta, Surabaya dan Bali. Selain di Indonesia, para pelaku juga beroperasi di negara lain di kawasan Asia Tenggara.
"Perlu diketahui bahwa TKP kejadian bukan hanya di Indonesia, tapi ada di beberapa negara lain di kawasan ASEAN yang jadi tempat operasi pelaku, seperti di Thailand, Filipina, Vietnam dan Kamboja," ujar Direktur Siber Bareskrim Polri Brigjen Fadil Imran saat jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (31/7).
Fadil mengungkap, para pelaku bekerja secara terorganisir. Mereka dikendalikan oleh bos mereka di China.
"Kejahatan siber ini adalah kejahatan terorganisir yang tidak kenal batas kenegaraan atau borderless," imbuhnya.
Di negara-negara lain di Eropa dan Afrika, ada kelompok penipuan serupa. "Kasus fraud ini di samping kelompok sindikat dari China atau Tiongkok, di negara kita juga pernah ditemukan kasus fraud, bisa dari kelompok 'nigerian enterprise' atau di Eropa seperti di Bulgaria itu ada 'East Europe'," sambungnya.
Lebih jauh, Fadil mengatakan bahwa perlu kewaspadaan agar para pelaku WNA tidak lagi menjadikan Indonesia sebagai basis mereka untuk melakukan kejahatannya. "Perlu kewaspadaan, agar NKRI jabgan sampai jadi tempat bekerja para pelaku atau playground dari para pelaku kejahatan terorganisir," lanjutnya.
Seperti diketahui, tim Satgas dari Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri menangkap 148 WN China di tiga lokasi berbeda seperti di Surabaya, Bali dan Jakarta pada Sabtu (29/7) lalu. Mereka diduga melakukan kejahatan siber di Indoensia dengan korban WN China.
Kerugian Rp 26 T
Sindikat WNA pelaku cyber fraud (penipuan siber) yang beroperasi di Indonesia membidik korban para pengusaha dan pejabat di China. Kerugian yang dialami China selama satu tahun ini akibat kejahatan para pelaku mencapai Rp 26 triliun.
"Selama satu tahun ini mereka beroperasi di Indonesia, mereka sudah meraup sekitar Rp 6 triliun. Total setahun untuk keseluruhan korban di China itu Rp 26 triliun," ujar Kombes Herry Heryawan, yang tergabung dalam satgas pengungkapan pelaku, di Mapolda Metro Jaya.
Herry menambahkan, mereka menghabiskan dana cukup besar untuk biaya operasional. Mereka menyewa rumah mewah dan membeli peralatan hingga kendaraan untuk melancarkan aksinya di Indonesia.
"Biayanya saja sangat besar, kerugiannya pun besar," imbuhnya.
Para pelaku menyewa rumah sebagai tempat beroperasi mereka selama melakukan aktivitas. Mereka memasang peredam suara agar selama berkomunikasi dengan korban melalui pesawat telepon tidak terdengar ke luar.
Dalam aksinya ini, mereka membidik para korban yang terindikasi memiliki kasus di China. Setelah mendapatkan data-data para korban, mereka akan menghubungi korban dengan mengaku sebagai polisi atau jaksa.
"Kemudian dia telepon yang bersangkutan yang punya permasalahan, kemudian ada yang melakukan negosiasi dan dia mengaku sebagai jaksa dan polisi, lalu meminta imbalan seolah-olah kasusnya tidak berlanjut. Pelaku dari China dan korban dari China juga," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
Total ada 145 WN China yang ditangkap secara serentak di tiga kota besar, yakni di Surabaya, Jakarta, dan Bali, pada Sabtu (29/7). Mereka selanjutnya akan dideportasi ke negara asalnya.
(detikcom/l)