Medan (SIB)
Kalangan pemerhati ekonomi dan praktisi bisnis di daerah ini menyarankan perlunya kajian atau kebijakan alternatif dilakukan pemerintah untuk menyalurkan dana-dana yang sering kali mengendap atau menganggur (undisbursed loan) di perbankan. Khusus di perbankan yang ada di wilayah Sumatera Utara, tahun ini terungkap hampir Rp 42 triliun, tepatnya Rp 41,79 triliun dana yang mengendap (SIB 26/2).
Pakar ekonomi nasional di Sumut, Dr Polin LR Pospos menegaskan kajian itu misalnya berupa proses verifikasi atau seleksi para calon pemohon kredit (debitur) lain yang dinilai lebih layak. Calon debitur membatalkan dana kreditnya yang sudah disetujui pihak bank (kreditur), sehingga dana tersebut jadi mengendap di bank-bank. Terlebih, banyak calon debitur lain yang sudah mengajukan permohonan kredit pada saat bersamaan dengan pemohon lain yang disetujui tapi tidak mencairkan kreditnya.
"Alur pikirnya, kredit dari bank itu kan mutlak harus disalurkan kalau sudah disetujui. Tapi ketika dana itu tidak dicairkan karena suatu alasan oleh pihak pemohonnya, ketimbang dana itu mengendap atau menganggur, ada baiknya disalurkan kepada pemohon atau calon debitur lain. Di antara calon-calon debitur yang dinilai layak itu, perlu seleksi lagi untuk menentukan prioritas debitur dari kalangan UKM atau koperasi yang memang sudah melampirkan proyeksi keuntungan usahanya. Tidaklah baik, kalau terlalu sering, apalagi dari tahun ke tahun dana itu dibiarkan mengendap di bank. Bayangkan, betapa gairahnya kaum UKM di daerah ini, kalau bisa menikmati separuhnya saja dari hampir Rp42 triliun dana mengendap di perbankan Sumut pada tahun 2020 lalu," katanya kepada SIB untuk berbicara tentang kronologi dan situasi terkini dari perjuangan Provinsi Tapanuli, Sabtu (27/2) pekan lalu.
Polin yang dosen Pascasarjana Ekonomi USU itu mengatakan kebijakan itu bisa dilakukan Pemda provinsi bersama pihak bank sentral (BI), OJK, konsultan aktuaria atau investasi, lembaga jasa pembiayaan (multifinance) dan instansi lainnya yang terkait dengan rasio pinjaman maksimal-minimal, penjaminan kredit, dan sebagainya.
Polin yang juga mantan Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Sumut itu yakin setiap instansi tersebut punya perangkat dan pasal-pasal prosedural untuk membuat kebijakan alternatif penyaluran dana-dana mengendap tersebut.
Selain mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional (PEN) melalui pemberdayaan UKM di masa pandemi Covid-19, kebijakan penyaluran alternatif kredit dari dana-dana undisbursed loan ini juga akan mengurangi timbunan dana.di perbankan sehingga kinerja perbankan meningkat. Lagi pula, 'jatah-jatah' UKM berupa alokasi KUR di masa normal, atau bansos UKM di masa wabah (pandemi), selama ini (bahkan hingga kini) masih menunjukkan kalangan UKM atau UMKM masih terposisi sebagai pihak termarginalisasi dan di-anaktiri-kan.
"Secara makro, kita bangga dan apresiasi pemerintah yang menyiapkan anggaran hampir Rp 700 triliun untuk PEN di masa pandemi tahun ini. Tapi secara mikro dan lokal, rakyat dari kalangan pelaku UKM juga butuh kebijakan untuk mendaptkan hak dan peluang pemanfaatan dana-dana perbankan yang 'tersedia tapi menganggur', terutama untuk para UKM yang sudah teruji karya usahanya atau terbukti berhasil dan laris produknya di pasaran," ujar Polin optimis sembari menyebutkan contoh kasus selama ini. (A05/c)
Sumber
: Hariansib edisi cetak