Jakarta (SIB) -Langkah maskapai PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) untuk kembali terbang masih harus melalui jalan panjang. Proses privatisasi yang menjadi bagian dari restrukurisasi perusahaan plat merah itu dikhawatirkan mendapat ganjalan waktu.
Eks Komisaris Utama Merpati Said Didu mengatakan bahwa proses ini bisa terganjal oleh Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) nomor PER-01/MBU/2010 terkait cara privatisasi di Bab 3 pasal 8. "Privatisasi BUMN kalau mau dilakukan tahun berikutnya, paling lambat diajukan akhir Desember tahun sebelumnya," kata Said, Jumat (14/12).
Saat ini, Merpati baru saja selamat dari status pailit setelah proposal perdamaian mereka dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Niaga Surabaya, dalam sidang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dengan kreditur pada pertengahan November lalu. Saat ini Kementerian BUMN tengah mengkaji hasil homologasi untuk memutuskan nasib Merpati ke depan.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Aloysius Kiik Ro, mengatakan paparan hasil homologasi memang mengarah pada privatisasi. Meski begitu, pembahasan mengenai besaran saham dan siapa pemegang utamanya masih dalam pembahasan.
"Ini kan modelnya kan inject money, jadi bukan jual saham. Nah itu nanti setara berapa. Maksudnya investor akan menginjeksi uang, artinya akan ada saham yang terdelusi," kata Aloysius.
Ia mengatakan, proses privatisasi memang masih panjang. Setelah pembahasan di Kementerian BUMN, mereka juga masih harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Keuangan. Pembentukan komite privatisasi juga akan dibentuk, sebelum akhirnya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk keputusannya.
Meski masih panjang, Aloysisus tak khawatir dengan adanya batas waktu hingga akhir tahun untuk mengajukan privatisasi tahun depan. "Kalau gak sempat akhir tahun diajukan, bisa dilakukan alternatif privatisasi di luar program tahunan privatisasi," kata Aloysius.
Wacana privatisasi muncul setelah Merpati menandatangani Perjanjian Transaksi Penyertaan Modal Bersyarat dengan PT Intra Asia Corpora (PT IAC) sebagai calon investor. PT IAC disebut siap menyetorkan modal sebesar Rp 6,4 triliun dalam 2 tahun. Sejak dinyatakan tak lagi beroperasi pada 2014 silam. Mereka terjerat utang mencapai Rp 10,72 triliun kepada para kreditornya.
Direktur Utama PT MNA Asep Eka Nugraha masih enggan berkomentar banyak. Ia hanya menegaskan proses privatisasi masih berlangsung. "Pasca homologasi, Merpati sekarang masuk tahapan implementasi kesepakatan, pengadilan paralel, proses restruct hutang, dan privatisasi," kata Asep.
Sebagai eks komisaris utama di Merpati, Said Didu menilai langkah privatisasi lebih baik bagi Merpati ketimbang tetap menjadi perusahaan plat merah. Ia menilai nasib maskapai yang melayani rute perintis itu seakan dinomorduakan jika dibanding dengan perusahaan maskapai milik pemerintah lain, yakni Garuda Indonesia.
Hal ini pula yang ia nilai Merpati kolaps di 2014 lalu karena keenganan pemerintah untuk menyuntikan modal tambahan bagi Merpati yang tengah terlilit utang besar. "Kalau jadi swasta kan bisa lebih lincah. Bisa melakukan penambahan modal cepat," kata Said.
Meski begitu, Said menekankan langkah ini harus diimbangi dengan komitmen dari investor yang benar-benar serius. Apalagi industri maskapai bukan merupakan bisnis yang murah dan beresiko tinggi. "Saya ingin menegaskan kalau memang ingin membentuk kembali, harus terbuka betul siapa pemiliknya," kata dia. (T/h)