Jakarta (SIB)- Jakarta yang maju dan berkembang berhadapan langsung dengan perubahan ekosistem yang memiliki potensi bencana. Tanpa banyak diketahui orang, Jakarta terletak dekat dengan Sunda Megathrust yang juga memiliki potensi kebencanaan sehingga harus ada upaya kesiapsiagaan.
"Palung atau thrust atau trench sebenarnya istilah yang sama. Thrust merupakan dinamika proses jadi lebih sering dipakai, yaitu zona penujaman lempeng atau juga dikenal sebagai zona subduksi. Thrust merujuk ke arah proses, ada yang masuk dan ada yang naik," kata peneliti geoteknologi LIPI Haryadi Permana dalam diskusi di Gedung BPPT, Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (7/4).
Heryadi menjelaskan bahwa Palung Sunda merupakan zona subduksi antara lempeng India-Australia dengan Lempeng Eurasia. Palung ini menyebar ke arah barat laut di pantai barat Pulau Sumatera sampai dengan perairan Andaman dan berkedalaman lebih dari 3.000 meter.
"Sunda megathrust terbentuk sejak 60-50 juta tahun lalu sebelum manusia ada. Dan sejak 5 juta tahun lalu membentuk konfigurasi penunjaman lempeng modern dan masih terus aktif," ujarnya.
Selat Sunda yang ada di jalur Sunda Megathrust merupakan alur bagi arus lintas Indonesia dan kawasan industri logam dan kimia dimana hadir Gunung Anak Krakatau yang masih aktif. Lalu bila terjadi gempa di Selat Sunda, apakah mungkin dampak tsunami mencapai Jakarta? Gempa di kawasan Sunda Megathrust bisa lebih dari 8 skala richter dan berpotensi tsunami.
Para peneliti masih memodelkan berbagai kemungkinan adanya gempa di Selat Sunda yang masih belum bisa diprediksi kapan terjadi. Haryadi menjelaskan salah satu skenario yaitu bahwa gelombang akan merngarah ke Kalimantan terlebih dahulu, baru gelombang baliknya sampai ke Jakarta.
"Masih tetap bisa sampai tapi harus lihat waktunya. Menyelamatkan manusia masih sempat, tapi infrastruktur tidak," kata Haryadi.
Ia justru mengkhawatirkan kawasan Banten yang berada lebih dekat ke Selat Sunda. "Banten kawasan industri kimia, Ada zat H20 kena air malah meledak, kalau kena dari Selat Sunda bisa menyebar," ujarnya.
Haryadi menegaskan bahwa informasi mengenai bencana harus terus disebarluaskan. Upaya sosialisasi mengenai kebencanaan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Jakarta, juga harus menyentuh warga miskin.
"Perlu upaya nyata masif untuk sosialisasi, perlu internalisasi di lingkungan sampai masyarakat, salah satunya dengan menggali budaya lokal. Selain itu untuk rakyat miskin, bagaimana mereka mau berpikir untuk menyelamatkan diri? Harus dengan pengurangan kemiskinan dan peningkatan pendidikan terlebih dahulu," ujarnya.
(detikcom/d)Simak berita selengkapnya di Harian Umum Sinar Indonesia Baru (SIB) edisi 8 April 2014. Atau akses melalui http://epaper.hariansib.co/ yang di up-date setiap pukul 13.00 WIB.