Rabu, 12 Maret 2025

Perlu Pendekatan Baru Merespon Penyerangan Tempat Ibadah

Redaksi - Selasa, 30 Maret 2021 18:32 WIB
432 view
Perlu Pendekatan Baru  Merespon Penyerangan Tempat Ibadah
(Foto: Antara)
Ilustrasi Penyerangan Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta. 
Jakarta (SIB)

Perlu pendekatan baru untuk memerangi terorisme, bukan hanya dari hilir tetapi juga dari hulu. Hal ini harus dilakukan untuk mencari akar permasalahan dan dalang-dalang teror yang dari waktu ke waktu terus mengganggu stabilitas sosial melalui pelbagai macam tindakan penyerangan terhadap tempat ibadah.

Anggota DPD RI Dr Ricard Pasaribu menyatakan hal itu kepada wartawan, Selasa (30/3/21) terkait terjadinya teror akhir akhir ini diberbagai tempat di Idonesia. Senator dari Dapil Batam ini mengemukakan, yang menjadi masalah adalah adanya pikiran, pemahaman, ajaran, dan keyakinan dari para teroris tersebut yang walaupun salah dan berpotensi melanggar hukum, namum tetap dilakukan, karena menganggap bahwa aksinya dibenarkan, diwajibkan, bahkan merupakan perbuatan "terpuji" yang akan diganjar dengan imbalan yang besar.

Pemikiran dan pemahaman, ajaran, serta cenderung hasutan sesat, menyebabkan warga masyarakat yang kurang cerdas menjadi semakin bodoh sampai membunuh dirinya sendiri dan juga orang lain yang tak bersalah.

Menurut Richard, kejadian aksi terorisme di pintu masuk Gereja Katedral Makassar pada Hari Minggu tanggal 28 Maret 2021 lalu adalah serangan bom bunuh diri terhadap suatu tempat ibadah.

Bagi pengamat yang jeli membaca situasi, berita terbesar sesungguhnya bukanlah bahwa ada gereja yang dijadikan sasaran serangan bom, karena sudah terlalu sering gereja dijadikan target penyerangan oleh para teroris. Mereka hanya berpikir bahwa tindakan semacam itu benar, bahkan memahami bahwa perbuatannya itu merupakan kewajiban dan di yakini akan ada upah, hadiah, imbalan, atau manfaat yang akan diperolehnya apabila aksinya itu dijalankan.

Padahal, hanya orang yang tak waras yang bisa nekad membunuh diri sendiri dengan jalan membom tempat ibadah orang lain. Richard Pasaribu berpendapat aparat penegak hukum kurang gencar menindak para teroris, terutama pelakunya di kawasan hilir.

Inilah salah satu sebab mengapa aksi penyerangan terhadap tempat ibadah selalu saja terjadi. Makanya solusi tuntas terhadap aksi terror semacam ini mestinya dilakukan melalui penindakan tegas oleh negara terhadap para pengajar, perancang, atau penghasut teror di kawasan hulu.

“Dibutuhkan senjata lain lagi yang lebih efektif yakni upaya penyadaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) melalui pendidikan dan bimbingan keagamaan yang dilakukan dalam kerangka negara yang berdasarkan Pancasila,” tukas Richard yang juga Wakil Ketua BKSP DPD RI.

Menurutnya, di negeri yang sangat pluralis dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan setiap pemeluk agama untuk saling menerima dan menghormati perbedaan sebagai bagian dari satu keluarga besar bangsa Indonesia yang bersatu di dalam keragaman.

Dengan demikian, ketika terjadi suatu peristiwa atau hal-hal yang mengganggu stabilitas sosial, termasuk penyerangan terhadap tempat ibadah, maka kejujuran dan keterbukaan akan dijadikan sebagai panduan untuk secara bergotong-royong menemukan solusi terbaik demi menjaga stabilitas nasional.

Sudah bukan zamannya lagi untuk bersikap defensif atau pun menuding ke kanan-kiri ketika ada tempat ibadah suatu umat dijadikan sasaran aksi teror.

Sebab para teroris tidak memilih-milih targetnya. Apalagi, yang menjadi korban terorisme biasanya termasuk juga warga masyarakat yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan sasaran yang dituju.

Richard berharap, perang melawan terorisme tidak bisa hanya dibebankan kepada Densus 88 dan aparat penegak hukum lainnya.

“ Harus menjadi beban dan tugas semua instansi penyelenggara negara, termasuk perancang dan pelaku kebijakan di bidang pendidikan, keagamaan, perekonomian, dan juga kemasyarakatan, dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah yang melibatkan segenap komponen bangsa," pungkas Richard. (*)

Editor
:
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru