Jakarta (SIB)
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah menetapkan tahun 2024 sebagai Tahun Oikumene Inklusif, sebuah langkah yang diilhami oleh ajaran agama dan tantangan global yang semakin kompleks. Dasar keputusan ini diambil dari Firman Tuhan dalam Matius 5:45, yang menekankan pada kasih yang inklusif kepada semua, baik yang baik maupun yang jahat.
Percakapan tentang muatan Oikumene Inklusif HKBP didiskusikan secara khusus dalam acara Konven HKBP Distrik VIII DKI Jakarta di Gereja HKBP Cengkareng, Senin (10/6). Lebih kurang 300 orang peserta yang terdiri dari Pendeta, Biblevrouw, dan Diakones mengikuti acara konven sehari itu.
Baca Juga:
Dilansir dari Koran SIB, hadir sebagai narasumber, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Jacky Manuputty. Ia menyebutkan bahwa penetapan Tahun Oikumene Inklusif HKBP adalah keputusan yang tepat mengingat tantangan sosial, lingkungan, dan agama yang kita hadapi saat ini, serta beberapa isu kontemporer yang mempengaruhi gereja-gereja, terutama dalam lingkup PGI.
Beberapa tantangan yang diuraikan, di antaranya; Polarisasi sosial dan politik akibat berkembangnya populisme yang telah menjurus pada pembentukan sikap xenophobia dalam hidup bermasyarakat. Guyub kebangsaan mengalami degradasi yang sangat mengkhawatirkan," ujar Pdt. Jacky.
Baca Juga:
Menurut Pdt. Jacky, saat ini kita juga menghidupi dinamika global ketika kekuatan ekonomi negara-negara kaya dan perusahaan-perusahaan memperburuk kesenjangan kekayaan dan pendapatan, baik di dalam maupun antar negara. Selain itu, migrasi paksa yang didorong oleh dampak degradasi lingkungan dan perampasan ekonomi, merupakan realitas yang besar dan terus berkembang.
Terkait dinamika bergereja, ia menggarisbawahi bahwa kita berada pada era di mana Protestantisme arus utama yang menurun di Amerika Utara dan Eropa, sebaliknya kekristenan berkembang di negara-negara selatan.
"Di sisi lain terjadi pertumbuhan dinamis di Afrika dan Asia dengan berkembangnya gereja-gereja baru yang bercorak injil atau pantekosta. Gereja-gereja di bumi selatan dalam kajian Dewan Gereja Sedunia (WCC) menjadi pusat gravitasi Kekristenan," terangnya.
Pdt. Jacky menambahkan bahwa saat ini kita hidup di masa, di mana degradasi lingkungan dan ketidakadilan ekologi telah mencapai tahapan kritis, sehingga tak berlebihan untuk mengatakan bahwa kita sedang menghadapi ancaman kiamat ekologi.
Kita, lanjut dia, ditantang oleh meningkatnya disrupsi transformsi digital pada berbagai aspek kehidupan, yang secara paradoks mempermudah komunikasi kita. Namun berisiko melemahkan retakan-retakan komumitas konvensional yang kita hidupi selama ini dengan sistem nilai budaya yang khas.
Di tengah berbagai tantangan itu, Pdt. Jacky menyampaikan bahwa gerakan ekumenis ditantang untuk menawarkan berbagai visi alternatif tatanan dunia bedasarkan kerjasama dan solidaritas.
Gerakan Oikoumene Inklusif yang digadang
HKBP pada tahun ini, lanjut dia, merupakan tindakan yang tepat untuk merespon alarm yang berbunyi nyaring terkait berbagai tantangan dimaksud.
"Pertama, kita harus mempertimbangkan bahwa pusat-pusat universalitas gereja telah bergeser dari Eropa dan Amerika Utara ke belahan bumi Selatan, karenanya gereja-gereja di belahan bumi Selatan, termasuk
HKBP, harus sungguh-sungguh menawarkan gagasan-gagasan teologia yang mempengaruhi pemikiran oikoumene," jelasnya.
Demikian pula, tambah Pdt. Jacky, saat gereja-gereja oikumene arus utama seperti Lutheran, Reformed, Ortodoks, Calvinis, dan lainnya dihadapkan pada perkembangan komunitas-komunitas Pentakosta dan Karismatik yang memiliki pengaruh kuat, maka mereka harus secara inklusif mengembangkan dinamika oikoumene yang terbuka kepada karunia-karunia rohani yang dapat saling dibagikan secara luas.
Menurut Pdt. Jacky, pandangan
HKBP mengenai
Oikumene Inklusif mengandung banyak elemen utama yang menegaskan bahwa visi yang berpusat pada kehidupan merupakan jangkar dari
Oikumene Inklusif. Hal ini sejalan dengan pandangan Konrad Raiser, mantan Sekum WCC yang telah mengatakan, "Gagasan kehidupan sentris ini mendorong gereja-gereja untuk mengeksplorasi kekayaan budaya dan tradisi agama dan kepercayaan lainnya, untuk menemukan landasan spiritualitas dan etika yang berpusat pada kehidupan pro-existence approach."
Dalam pengertian ini, kata Pdt. Jacky, gerakan
Oikumene Inklusif harus menjauh dari kecenderungan untuk menganggap ekumenisme sebagai program atau jabatan maupun denominasi tertentu, dan bukan sebagai cara berada bagi, dan bersama yang lain.
"Gerakan
Oikumene Inklusif harus mendorong gereja-gereja untuk menyadari, bahwa setiap tradisi spiritual memiliki kontribusi besar untuk membangun kebersamaan serta harapan bagi masa depan bumi," tandasnya.
Dengan demikian, Pdt. Jacky sampaikan, spiritualitas inklusif akan memotivasi orang untuk mempraktekan kebaikan-kebaikan dari iman mereka demi kesejahteraan dunia. Gerakan ini juga mendorong kita untuk menerima dan merayakan implikasi-implikasi kebaikan dari tradisi beriman orang lain.
Bagi Pdt. Jacky, perubahan bertahap dari sikap beragama yang ekslusif menjadi inklusif, akan secara radikal juga menghasilkan perubahan pada lingkungan hidup bersama. Dunia membutuhkan dari kita suatu level kebersamaan dan kerjasama yang maksimal. Kita menjadi satu di tengah berbagai perbedaan kita untuk menegakan keadilan dan perdamaian.
Pada aspek lainnya, "Gerakan
Oikumene Inklusif harus sungguh-sungguh meneguhkan otentisitas sebagai sebuah kecenderungan baru yang kini berkembang secara global. Kita menyaksikan bertumbuhnya tuntutan penghormatan terhadap otentisitas dari setiap spirit di berbagai aspek kehidupan kita," ujarnya.
Tanggung jawab kita secara spiritual, lanjut dia, adalah mengeksplorasi secara mendalam otentisitas kita, dan mengenal emanasi Allah dalam diri kita yang mengkonstruksikan kerangka otentisitas kita sebagai ciptaan, serta bertindak sesuai dengannya.
Aspek lain yang ditekankannya kemudian terkait Gerakan
Oikumene Inklusif yang harus dimengerti sebagai Solidaritas Global. Prinsip keesaan dengan seluruh ciptaan merupakan ajaran inti dari semua agama dan tradisi spiritual.
"Dalam kaitan dengan esensi ciptaan itu kita semua adalah satu. Prinsip ini berimplikasi pada pandangan bahwa kita semua saling terkait satu dengan lainnya. Transformasi diri kita sangat terkait dengan transformasi dan pemulihan struktur bumi, baik yang meliputi dimensi ekonomi, politik, social, ataupun ekologi," paparnya.
Keesaan menempatkan kita pada level terdalam, dimana baik tubuh maupun roh kita senantiasa berada dalam perjuangan untuk menentang penindasan politik ataupun agama, gender, ras, social, dan ekonomi.
"Tak ada seorangpun yang boleh menderita di dalam keterisolasiannya. Kita semua menderita bersama. Kepercayaan terhadap ide keesaan berimplikasi pada panggilan dan keharusan solidaritas dengan sesama dan alam. Keesaan dan solidaritas tak bisa dilepas-pisahkan. Keduanya merupakan ekspresi yang sama dari cinta. Cinta Sang Kudus yang dipatri didalam diri semua kita," ucapnya.
Dalam kesempatan ini, Pdt Jacky juga mengingatkan bahwa Gerakan
Oikumene Inklusif harus berakar pada rancangan Allah bagi kesatuan dan rekonsiliasi semua ciptaan, sebuah rancangan yang menjadi nyata melalui inkarnasi cinta Allah di dalam Yesus Kristus.
"Gereja, sebagai tubuh Kristus (Ef. 1:22-23), menerima, tinggal, menyaksikan, dan berbagi cinta itu dengan sesama agar perdamaian, keadilan, dan persatuan dapat dicurahkan di semua tempat di mana anak-anak Tuhan saat ini berseru dari dalam penderitaan dan dari tempat-tempat terjadinya ketidakadilan dan kekerasan" (uraian tema SR WCC ke-11)," jelasnya.
Maka menurut Pdt. Jacky, keberakaran gerakan Oikoumene Inklusif mendorong gereja-gereja untuk mengupayakan keadilan sebagai ekspresi cinta Allah. Cinta, Keadilan, dan Perdamaian adalah satu, trinitas dari emanasi Allah. Perjuangan kita untuk membangun dunia yang adil bagi semua adalah kudus. Ia kudus karena mengekspresikan kehendak Sang Kudus.
Mengakhiri ulasannya, Pdt Jacky menegaskan bahwa "Gerakan Oikoumene Inklusif mengisyaratkan diperbanyaknya tenaga-tenaga penggerak yang mumpuni untuk menavigasi dan mendinamisir sejumlah prinsip ideal dari gerakan
Oikumene Inklusif. Survei Oikoumene
PGI 2013 yang dilakukan Litbang
PGI menengarai langkanya tenaga-tenaga yang mumpuni, yang tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga keterampilan untuk menjadi tenaga-tenaga penggerak oikoumene di daerah-daerah," jelasnya.
"Dalam pengertian ini maka pembinaan ekumenis perlu menjadi prioritas di gereja-gereja, seminari-seminari, dan badan-badan ekumenis kita, terutama yang memberi ruang kepada kontribusi dan kepemimpinan generasi muda gereja," pungkasnya.(**)