Jumat, 22 November 2024

GKJW, Gereja Tertua se -Jatim Ada di Kota Santri

Redaksi - Minggu, 18 April 2021 10:12 WIB
2.458 view
GKJW, Gereja Tertua se -Jatim Ada di Kota Santri
(Fopto : Dok/Jb.com)
Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) gereja tertua se-Jatim bergaya kolonial masih berdiri megah di Mojowarno, Jombang.
Surabaya (SIB)
Dengan banyaknya pondok pesantren di Jombang, siapa yang menyangka kalau sebenarnya gereja tertua se-Jawa Timur berdiri di kota ini. Meskipun Jombang dikenal sebagai Kota Santri, wilayah di Mojowarno justru dihuni oleh mayoritas umat Kristen.

Salah satu buktinya adalah dengan adanya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang merupakan salah satu gereja kuno. Pembangunan gereja ini dimulai sejak 24 Februari 1879.

Terletak di kecamatan Mojowarno, gereja dengan luas 1.537 meter persegi ini masih mempertahankan keasilannya. Mulai dari arsitektur yang bergaya kolonial, sampai bangku-bangku panjang untuk ibadah pun terbuat dari kayu jati yang sudah berusia lebih dari satu abad.

Tidak hanya lingkungan gereja, tata ibadah disini juga hanya menggunakan bahasa Jawa. Kebanyakan lagu-lagu pujian yang dinaikkan di gereja yang berlokasi sekitar 18 km dari pusat Kota Jombang ini biasanya diterjemahkan dalam bahasa Jawa sambil diiringi dengan alat musik gamelan.

Sejarah gereja
Pendiri GKJW adalah Raden Paing Wiryoguno, yang merupakan anak dari Pangeran Cokrokusumo yang beragama Islam.
Pada acara Halal Bihalal dan Reuni Akbar Perdana Trah Cokrokusumo yang digelar di Aula GKJW Mojowarno, terungkap sejarah tentang bagaimana akhirnya gereja kuno ini bisa berdiri.

Dalam acara tersebut, panitia acara, Gardi Gazarin mengatakan kalau keluarga besar Cokrokusumo menganut beragam agama.

Pada awal abad 19, karena pergolakan politik, Cokrokusumo beserta istri, Bok Hanifah dan 6 orang anaknya pergi meninggalkan Madura. Keluarga ini kemudian menuju Surabaya. Mulai kampung Dosermo, Jagir Wonokromo, Kedungturi, Taman dan akhirnya menetap di desa Bogem (sekarang wilayah Sukodono, Sidoarjo).

Cokrokusumo menyamar dengan mengganti namanya menjadi Kiai Mendhung. Dirinya mulai menjadi nelayan dan petani di tempat yang baru tersebut. Karena Kiai Mendhung adalah orang yang sangat kerja keras, ia berhasil dalam setiap usahanya.

Meski demikian, dirinya ingin punya tanah sendiri agar kehidupan keturunan-keturunannya jauh lebih baik. Karenanya ia mengutus dua dari enam orang anaknya, yaitu Raden Paing Wiryoguno dan R Samodin mencari hutan untuk dibuka.

Sayangnya, Kiai harus meninggal sebelum keinginannya ini kesampaian.

Di antara anak-anaknya, diketahui kalau Raden Paing merupakan orang yang paling suka dengan ilmu-ilmu kesaktian. Dimana hal ini mengantarkannya pada tuan Coolen yang mengajarkannya tentang agama Kristen. Raden Paing pun akhirnya bertemu dengan tokoh Kristen J Emde di Surabaya.

Paing Wiryoguno beserta sanak saudaranya akhirnya dibaptis pada 13 April 1844 oleh Pdt Van Meyer.
"Wiryoguno diberi tambahan nama Karolus, ibunya diberi nama Dorkas (jadi Dorkas Hanifah). Samodin diberi nama Simson," terang Gardi.

Sejak saat itu, Karolis Wiryoguno beserta teman-temannya mulai membuka hutan yang disebut sebagai Hutan Keracil, hingga berdiri tiga desa di atas Hutan Keracil pada tahun 1848. Saat itu budaya gotong royong masih sangat melekat erat, sehingga mereka tinggal dengan rasa persaudaraan yang erat dan damai sejahtera. Kemudian mereka juga mendirikan gedung gereja untuk kehidupan rohaninya.

Kemudian pada 11 Desember 1931 di Mojowarno, komunitas-komunitas Kristen di Jawa Timur ini menyatukan diri dalam wadah yang disebut 'Pasamuan Kristen Jawi ing Jawi Wetan' yang lalu jadi Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Sehingga pesamuan GKJW ini sebenarnya adalah keturunan, kerabat dan teman-teman dekat dari para perintis desa-desa Kristen ini.(Jawaban.com/dari berbagai sumber/c)

Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru