Faktor apa yang paling kuat memengaruhi, sehingga seseorang berani mengambil risiko, ketika melakukan pekerjaan yang penuh tantangan, jatuh bangun dan bangkit? Ingatlah, bahwa orang yang berhasil bukan karena tidak pernah gagal, bukan karena tidak ada masalah. Maka, orang yang memiliki passionlah yang berani mengambil risiko menghadapi tantangan hidup dan akhirnya menjadi pemenang. Pemahaman demikian sangat kuat ditekankan oleh motivator kepemimpinan Kristen yang sangat terkenal John C Maxwell.
Maka di 2 Korintus 4: 1-6, Rasul Paulus sedang mengungkapkan passionnya sehingga ia berani mengambil risiko dalam panggilan pelayanannya. Bahwa panggilan dan penetapannya sebagai pelayan, hamba, "pendeta", pemberita Injil, hanya karena "Kemurahan Allah". Pengakuan ini lahir dari sebuah kesadaran bahwa sesungguhnya Paulus tidak layak menerima tahbisan, tidak pantas menerima jabatan pelayanan. Paulus sadar akan dosanya, pembunuhan yang dia lakukan. Tetapi karena kasih karunia, maka Paulus diberi satu tugas panggilan.
Suatu pemberian dari Maha Kuasa kepada orang yang tidak layak menerimanya. Itulah nilai utama panggilan iman dalam memaknai sebuah tahbisan kependetaan. Suatu panggilan mulia dari Tuhan yang dalam tradisi Gereja Methodist masa John Wesley disebut sebagai inward calling. Itu berarti, bahwa tahbisan adalah anugerah, jabatan, pemberian yang harus dipertanggungjawabkan pada Tuhan dalam realitas panggilan tahbisan itu sendiri.
Itulah passion yang membuat Paulus dan rekan sekerjanya, tidak putus asa, tidak tawar hati walaupun menghadapi tantangan. Paulus mengimani inward callingnya sehingga mampu melakukan pelayanan pemberitaan Injil dengan cara yang berbeda melebihi pemberita Injil lainnya. Passion itulah sebagai iner drive dalam menghadapi ejekan, provokasi banyak orang di jemaat Korintus.
Esensi nilai itulah juga yang mendorong Rasul Paulus memahami panggilannya sebagai sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah melalui ucapan, cara hidup, gaya hidup, pola komunikasi dan pola kerjanya bagi setiap orang, bagi setiap jemaat. Esensi nilai itulah sehingga Paulus berani menolak, jijik terhadap setiap tindakan-tindakan licik, tidak ingin memuaskan hasrat pribadinya, tidak ingin memperkaya dirinya.
Bahkan sebaliknya, esensi nilai kemurahan Allah itulah membuat Rasul Paulus rela menderita, rela mempertaruhkan hidupnya bagi kehidupan umat Tuhan sehingga setiap jemaat dapat melihat dan merasakan serta menilai kelayakan seorang hamba Tuhan (ayat 2-3). Itulah makna kerelaan Paulus menjadi hamba jemaat karena Yesus Kristus (ayat 5). Sebuah kesadaran transformatif terhadap makna dari panggilan menjadi rasul, pendeta dalam menyatakan Injil kabar baik bagi jemaat.
Paulus sadar bahwa panggilan adalah anugerah, jabatan adalah karunia sehingga Injil harus diberitakan dengan segala tantangannya. Sebab Injil membawa setiap jiwa yang percaya untuk keluar dari kegelapan kepada terang. Injil adalah proses pencerahan, insight yang menyadarkan dan membangkitkan keyakinan iman umat Tuhan untuk menyadari dosa dan berani keluar dari dosanya. Itulah terang Injil yang membawa jemaat kepada terang sesungguhnya sehingga dapat melihat, berjumpa dan merasakan Tuhan dalam realitas pergumulan hidupnya.
Nilai panggilan mulia itulah yang sedang "dinyanyikan jemaat" dalam realitas panggilan imannya menghadapi besarnya tantangan hidup. Di media sosial, dalam pertemuan sesama jemaat bahkan dalam peluh kepedihan hidup rumah tangga, dalam pergumulan personalnya, ungkapan dan suara "nyanyian jemaat" itu nyaring terdengar. Dan pergumulan itu semakin kompleks pada realitas pandemi Covid-19.
Tentu saja, pergumulan hidup akan dapat menggoda dan membuat jemaat jatuh ke dalam dosa kegelapan, tidak lagi melihat, tidak lagi berjumpa dan tidak merasakan Tuhan. Dalam realitas itulah para penerima tahbisan, pemberita Injil agar berani, kreatif memberi solusi-solusi yang menguatkan iman. Sehingga jemaat akan merasakan kasih sayang Tuhan. Jemaat dapat memahami makna "valentine".
Bahkan dengan pelayanan demikian, jemaat akan dapat mengimani bahwa kehadiran hamba Tuhan yang setia, pelayan Tuhan yang setia adalah kado pemberian kasih sayang, kado valentine Tuhan setiap saat. Sehingga jemaat tetap kuat karena merasakan ada Tuhan yang menemani dalam kondisi sesulit apapun. Ada Tuhan sebagai benteng pertahanan hidup sebagaimana nilai nama Minggu Estomihi bahwa Tuhan Allah adalah benteng yang kuat dalam kehidupanku.
Nilai panggilan itu jugalah yang bergema saat ini dalam realitas adanya para penerima tahbisan mengalami hidup yang "mempermalukan Tuhan" sehingga gema nyanyian jemaat itu mengetuk hati dan membangkitkan kesadaran setiap orang. Nyanyian jemaat itu jugalah saat ini dimaknai sebagai suatu proteksi, menjaga agar para penerima tahbisan tidak tawar hati, tidak putus asa dalam realitas sulitnya kehidupan jemaat.
Kesadaran akan kemurahan Allah, itulah yang mentransformasi cara hidup menggereja, para pemberita Injil untuk berani menghadapi realitas pergulatan global saat ini. Passion itu jugalah yang menempatkan kualitas kesadaran para penerima tahbisan pada sebuah nilai kerja dan nilai pelayanan bahwa melayani dengan setulus hati karena kemurahan Allah sehingga berhasil tuntas dan berkualitas. Itulah makna Kado Valentine Hamba Tuhan, Pelayan Tuhan Setia. Amin. (c)
Sumber
: Hariansib edisi cetak